Mewaspadai SE 9/2023, Alat Membungkam Dakwah Islam Kaffah

  • Opini

Oleh: Hayyin Thohiro

Suaramubalighah.com, Opini — Mengapa takut dengan ceramah agama? Mungkin ini pertanyaan yang tebersit dalam benak para penceramah merespons diterbitkannya kembali Surat Edaran (SE) Menteri Agama No. 9/2023 tentang Pedoman Ceramah Keagamaan (pada 27 September 2023 lalu) yang menyatakan bahwa penceramah tidak boleh memprovokasi dan menyampaikan kampanye politik praktis.

Dikatakan bahwa SE ini mengambil pijakan pada prinsip bahwa kerukunan umat beragama adalah fondasi penting dari kerukunan nasional untuk mempertahankan dan memajukan persatuan dan kesatuan yang merupakan modal utama memajukan bangsa ke depan. Pedoman ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, memberikan panduan jelas bagi penceramah agama dalam memberikan ceramah keagamaan. Kedua, memberikan panduan bagi pengurus dan pengelola rumah ibadah dalam memfasilitasi pelaksanaan ceramah keagamaan.

SE 9/2023 menggarisbawahi perlunya penceramah agama memiliki pengetahuan dan cara pandang serta sikap moderat dalam beragama, berwawasan kebangsaan, toleran, menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, serta sikap santun dan keteladanan. Materi ceramah juga diamanatkan untuk bersifat mendidik, mencerahkan, dan konstruktif dengan tujuan meningkatkan keimanan, memperkuat hubungan antarumat beragama, serta menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Dalam materi tersebut juga diwajibkan untuk menghormati dan mematuhi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Juga menghindari konflik berbasis suku, agama, ras, dan golongan, serta menghindari konten yang dapat memicu intoleransi, diskriminasi, anarki, atau kampanye politik praktis.

SE ini secara khusus juga mengimbau aktor-aktor layanan keagamaan, seperti penyuluh agama Islam, dai/ daiah, majelis taklim, qari/ qariah, hingga lembaga seni dan budaya Islam, agar benar-benar mengindahkan pedoman ceramah di lingkungan atau jemaahnya masing-masing. Para aktor layanan keagamaan ini memiliki basis yang loyal, jadi bisa mengajak secara bersama-sama untuk menyemai masyarakat dengan ceramah keagamaan yang melahirkan benih-benih yang dapat memperkuat kerukunan umat.

Ceramah Agama, Perlukah Dibatasi?

Menag tidak seharusnya membatasi ulama pada setiap penyampaian ceramah dalam rangka menyebarkan syariat Islam. Pemerintah tidak memiliki hak atas konten yang akan disampaikan oleh para ulama. Para ulama sudah punya pedoman sendiri, yakni Al-Qur’an dan Hadis sehingga negara tidak perlu ikut campur dalam urusan tersebut. Khatib, mubalig, dan mubaligah pun sudah paham isi ceramah yang baik dan patut disampaikan. Jangan sampai dengan adanya SE atau apa pun yang semisal, malah membatasi isi ceramah dan mengarah pada arogansi.

Wajar jika terdapat isi ceramah yang mengkritik kebijakan pemerintah. Misalnya, ada suatu ketakadilan, terjadi penggusuran yang tidak sesuai dengan aturan hukum, ataupun kebijakan lain yang tidak memihak rakyat. Sudah seharusnya semua itu disampaikan karena agama bukan hanya menganjurkan kebaikan, tetapi juga mencegah terjadinya kejahatan dan kemungkaran.

Salah satu dari tujuh kriteria SE tersebut menyatakan bahwa ceramah agama dilarang bermuatan kampanye politik praktis. Semestinya, Menag Yaqut Cholil Qoumas bisa mencontohkan larangan kampanye politik praktis yang dimaksud, bukan justru menerbitkan SE 9/2023 tentang Pedoman Ceramah Keagamaan. Perintah itu harus disertai contoh. Jangan melarang orang, tetapi beliau sendiri melakukannya. Tidak perlu juga ada larangan selama tidak melanggar konstitusi ataupun UU. Apalagi jika jelas-jelas sejalan dengan tuntunan syariat, selama menyerukan kebaikan, seharusnya tidak ada masalah.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Muhyiddin Junaidi menjelaskan bahwa agama Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan aturan jelas dan tegas. “Aspek akidah dan ibadah tidak bisa diubah atau dimodifikasi dengan alasan apa pun karena memang sudah pemberian dari Allah. Sedangkan aspek muamalah sangat lentur dan fleksibel karena manusia adalah makhluk sosial dan biologi,” jelasnya. Ia menyebut Menag Yaqut semestinya berfokus pada pelayanan ibadah haji dan umrah, serta pelayanan publik dalam ibadah haji lainnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pencerahan kepada publik di masjid-masjid dan majelis taklim tentang kriteria calon pemimpin, justru sangat dianjurkan agar umat bisa diselamatkan dengan tidak memilih calon pemimpin korup, intoleran, dan cacat moral.

Mustahil Islam bisa dipisahkan dari politik mengingat tujuan berpolitik adalah mengatur urusan negara dan menjaga agama. Dalam Islam, landasan berpolitik adalah moralitas agama demi terhindarnya para politikus dari perilaku tidak terpuji. Jika menilik sejarah empat khalifah Rasulullah saw., mereka juga diangkat dan sumpahnya diambil di masjid. Oleh karenanya, membahas kriteria pemimpin bisa dilakukan secara bebas kapan saja dan di mana saja, termasuk di masjid, lebih-lebih dalam suasana hendak memasuki tahun politik.

Upaya Membungkam Dakwah Islam Kaffah

Alih-alih mengatur dan menyelesaikan masalah, SE 9/2023 justru memunculkan sikap saling curiga dan menimbulkan masalah baru. Adanya ketentuan perlunya penceramah agama memiliki pengetahuan dan cara pandang serta sikap yang moderat dalam beragama, berwawasan kebangsaan, sikap toleransi, serta melarang dakwah politik dan hanya membatasi pada ranah ibadah ritual, sejatinya merupakan bentuk sekularisasi agama, yakni memisahkan agama dari urusan politik dan negara. Sementara itu, Islam adalah agama yang diturunkan secara kafah mengatur seluruh aspek kehidupan, menjadikan umatnya pun sebagai umat terbaik dengan Islam kaffah-nya.

Dengan demikian, dakwah Islam tidak boleh dibatasi hanya pada urusan ibadah dan ruhiah, ataupun sekadar menyeru pada yang makruf, sedangkan minus aspek politik (siyasi) dan mencegah dari yang mungkar. Pengemban dakwahnya juga harus menjadi pribadi yang ber-syakhsiyah Islam kaffah, bukan moderat.

Allah SWT berfirman,

كُنتُمْ خَيرَ أُمَّةٍ أُخرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأمُرُونَ بِٱلمَعرُوْفِ وَتَنهَوْنَ عَنِ ٱلمُنْكَرِ وَتُؤمِنُوْنَ بِٱللَّهِ

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110).

Aktivitas muhasabah (mengoreksi kesalahan) adalah tanda peduli umat agar para pemimpin tetap pada aturan Sang Pencipta alam semesta, Allah Ta’ala. Muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) atas kebijakannya yang melanggar syarak adalah amar makruf nahi mungkar yang terbesar. Nabi saw. menyebut hal ini sebagai jihad yang paling utama.

Beliau saw. bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa zalim.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Dailami).

Beliau saw. pun menyebutkan kedudukannya yang mulia di akhirat. Beliau saw. bersabda,

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muththalib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintah (dengan hal makruf) dan melarang (dari kemungkaran) penguasa tersebut, kemudian penguasa itu membunuh dirinya.” (HR Al-Hakim dan Ath-Thabarani).

Justru menjadi hal yang sangat berbahaya apabila aktivitas amar makruf nahi mungkar tersebut tidak dilaksanakan, terlebih lagi dalam mengoreksi kebijakan penguasa. Rasulullah saw. bersabda bahwa hal ini bisa menyebabkan terhalangnya doa dan munculnya pemimpin yang jahat.

لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ ثُمَّ لَيَدْعُوَنَّ خِيَارُكُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ

“Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa dan doa mereka tidak dikabulkan.” (HR Al-Bazzar).

Dengan begitu, pelarangan dakwah politik sejatinya adalah untuk membungkam dakwah secara nyata. Ini pun menunjukkan sikap pemerintah yang antikritik. Menghalangi amar makruf nahi mungkar adalah bentuk kemungkaran itu sendiri. Ini tentu sarat dimanfaatkan untuk kepentingan para pemangku kekuasaan yang secara jelas kebijakannya menzalimi dan merampas hak-hak rakyat.

Lebih jauh, pelarangan dakwah politik kepada umat Islam menjadikan penguasa memata-matai umat Islam/ rakyatnya sendiri, padahal telah jelas keharaman memata-matai.

Nabi saw. bersabda,

«إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا»

“Jauhilah oleh kalian prasangka karena sungguh prasangka itu ujaran yang paling dusta. Jangan pula kalian melakukan tahassus, tajassus (mematai-matai), saling hasad, saling membelakangi dan saling membenci.“ (HR Al-Bukhari). Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]