Bolehkah Memilih Pemimpin yang Lebih Sedikit Kejelekannya?

Oleh: Ummu Zahwa Salsabila

SuaraMubalighah.com, Tanya Jawab Tanya: Belum lama ini ada pejabat negara yang mengajak masyarakat untuk ikut memilih dalam pesta demokrasi dan mengimbau untuk memilih pemimpin yang sedikit kejelekannya dibandingkan pemimpin lainnya. Alasan yang diungkapkan, pemilu itu bukan mencari pemimpin yang baik, tapi untuk menghalangi orang yang lebih jahat untuk menjadi pemimpin. Bagaimana menyikapi terkait hal ini? (Syarifa Zahwa)

Jawab:

Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memiliki aturan dan tata cara bagaimana memilih pemimpin, termasuk memilih pemimpin negara atau pemimpin dalam pemerintahan (penguasa) yang benar sesuai syariat Islam. Dalam sistem politik Islam yang menerapkan sistem pemerintahan Khilafah, akidah menjadi hal mendasar dalam menentukan kelayakan seseorang untuk dipilih menjadi pemimpin dalam pemerintahan (penguasa), baik pemimpin negara (khalifah), pemimpin setingkat provinsi (wali), maupun pemimpin setingkat kabupaten atau kota (amil).

Dalam sistem politik Islam syarat menjadi khalifah, wali, ataupun amil meliputi dua perkara. Pertama, syarat in’iqad (syarat wajib), yakni Islam, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasik), merdeka, dan mampu. Kedua, syarat afdaliyyah (keutamaan), di antaranya seorang mujtahid, ahli di bidang kemiliteran atau strategi perang, dan sebagainya. Syarat afdaliyyah ini tidak wajib, tapi lebih utama jika dimiliki oleh pemimpin dalam pemerintahan.

Adapun berkaitan dengan memilih pemimpin dalam pemilu demokrasi, hakikatnya adalah memilih pemimpin yang akan menjalankan sistem pemerintahan demokrasi kapitalis yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, atau meletakkan kewenangan membuat hukum di tangan manusia. Hal ini jelas bertentangan dengan sistem pemerintahan dalam Islam yang meletakkan kedaulatan di tangan Asy-Syaari’ (Allah Ta’ala), atau meletakkan kewenangan membuat hukum di tangan Allah. Dari sini, memilih pemimpin negara dalam pesta pemilu demokrasi, diperlukan pencermatan secara mendalam terhadap setiap calon pemimpin tersebut, wajib betul-betul diketahui syarat orang yang boleh dipilih, yaitu:

Pertama, calon memenuhi syarat in’iqad yang tujuh, yaitu Islam, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasik), merdeka, dan mampu.

Kedua, harus berasal dari latar belakang Islami, dan bukan dari partai sekuler. Dan dalam proses pencalonan ia tidak boleh menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan, dan penyuapan. Ia juga tidak boleh berkoalisi dengan orang-orang sekuler.

Ketiga, calon tersebut wajib mengatakan tujuan pencalonannya secara terang-terangan, yaitu untuk menegakkan sistem Islam Khilafah, menghentikan sistem sekuler, melawan dominasi asing, dan membebaskan negeri dari pengaruh asing.

Keempat, di dalam kampanyenya, wajib bagi calon itu menyampaikan ide-ide dan program-program yang Islami saja.

Kelima, wajib bagi calon itu terikat dengan syarat-syarat tersebut secara terus menerus dan konsisten.

Jika ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi dari kelima syarat di atas, maka tidak boleh kita memilih calon pemimpin tersebut, karena dengan kita tetap memilihnya, maka hakikatnya kita memilih pemimpin yang akan kian mengokohkan sistem sekuler demokrasi kapitalis. Dalam hal ini tidak bisa diberlakukan kaidah, ‘Memilih yang paling sedikit kejelekannya untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar’. Hal ini karena sistem demokrasi kapitalis yang diterapkan saat ini dengan asas kedaulatan di tangan rakyat (yang faktanya di tangan para pemilik modal atau oligarki), justru telah menjadi sumber kerusakan dan kemudharatan terbesar dalam kehidupan umat manusia saat ini. Dan tentu yang harus kita lakukan justru menghilangkan sumber kerusakan dan kemudharatan terbesar ini, dan menggantinya dengan hukum Islam yang bersumber dari Allah Ta’ala.

Adapun memilih pemimpin yang paling sedikit kejelekannya agar orang yang lebih jahat tidak berkuasa, dengan mengambil salah satu kaidah yang sering dipakai saat ini sebagai dalil, di antaranya kaidah ‘Ahwan asy-syarrayn’ (keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan), tentu harus dipahami secara benar, apakah tepat penggunaan kaidah tersebut terhadap fakta memilih pemimpin yang paling sedikit kejelekannya dalam pemilu demokrasi ini.

Makna kaidah ini, dengan redaksi yang berbeda-beda, menurut ulama yang mengadopsinya adalah bolehnya mengambil salah satu dari dua perkara haram yang lebih sedikit keharamannya atau lebih sedikit keburukan atau mafsadatnya. Menurut Imam As-Suyuthi, kaidah ini adalah cabang dari kaidah ‘Adh-Dharar yuzâlu (bahaya harus dihilangkan).’ Lalu dari kaidah ini lahir kaidah ‘Adh-Dharar lâ yuzâlu bi adh-dharar (bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain).’

Hanya saja, jika dua bahaya atau mudharat bertemu dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus, dengan kata lain salah satunya harus dijalani, maka bahaya atau mudharat yang lebih besar harus dihilangkan (dihindari) dengan mengambil bahaya atau mudharat yang lebih kecil. Menurut Imam As-Suyuthi redaksi lengkapnya adalah:

إِذَا تَعَارَضَا مَفْسَدَتَانٍ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِاِرْتِكَابِ أَخَفِهِمَا

Jika dua bahaya bertentangan maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan.

Kaidah ini populer dengan istilah: ‘Ahwan asy-syarrayn (memilih keburukan yang paling ringan di antara dua keburukan); Aqalu adh-dhararayn (memilih bahaya yang lebih kecil di antara dua bahaya); Akhafu al-mafsadatayn (memilih kemafsadatan yang lebih ringan di antara dua kemafsadatan); Aar’ al-mafsadah al-akbar bi al-mafsadah al-ashghar (menangkal mafsadat yang lebih besar dengan memilih mafsadat yang lebih kecil), Yukhtâr ahwan asy-syarrayn aw akhafu adh-dhararayn (dipilih keburukan yang lebih kecil atau bahaya yang lebih ringan); Adh-dharar al-asyadd yuzâl bi adh-dharar al-akhafu (bahaya yang lebih serius dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan).’

Menurut Imam As-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan Al-Qarafi, kaidah ini hanya diterapkan dalam kondisi ‘emergensi’ (darurat atau terpaksa). Sebab, kaidah ini merupakan cabang dari kaidah ‘Adh-dhararu yuzâlu (bahaya harus dihilangkan)’. Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah: segala kemudharatan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus, maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.

Di antara dalil kaidah ini, menurut Imam Shalahudiin Al-‘Ala’i adalah Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu Nabi saw. menyetujui klausul: jika ada dari penduduk Makkah datang kepada Nabi saw. dalam keadaan beriman maka ia akan dikembalikan ke Makkah. Jika ada kaum muslim dari Madinah datang ke Makkah maka mereka tidak harus dikembalikan ke Madinah. Nabi saw. menyetujuinya, meski bisa membahayakan (yaitu melemahkan posisi kaum muslim dan agama Islam) untuk menghindari bahaya yang jauh lebih besar (yaitu akan terbunuhnya kaum muslim yang tinggal di Makkah).

Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam mengetengahkan dalil kaidah ini. Beliau menyatakan bahwa, Namimah adalah mafsadat yang diharamkan, tetapi boleh dilakukan atau diperintahkan jika mengatakannya mengandung maslahat yang lebih besar bagi orang yang diberitahunya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah QS Al-Qashash [28]: 20, berita yang disampaikan kepada Nabi saw. oleh para sahabat tentang kaum munafik adalah juga dalil tentang hal ini.

Menurut pengarang kitab ‘Nazhm Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah’, di antara dalil kaidah ini adalah QS Al-Baqarah: 173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai.

Syarat Penerapan Kaidah

Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan, kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diberlakungan secara serampangan. Kaidah ini hanya diberlakukan pada dua kondisi:

1. Tidak bisa menghindari dua perkara yang diharamkan atau yang mengandung bahaya (dharar), kecuali dengan melakukan salah satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita.

2. Bisa menghindari dua perkara yang diharamkan (berbahaya) itu, tetapi jika keduanya dihindari, akan terjadi keharaman lain yang lebih besar lagi.

Hanya saja, penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syariah. Sebab, selain menjelaskan halal dan haram, syariat juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya.

Dalam konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata, “Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan).”

Adapun contoh penerapan kaidah Ahwan asy-Syarrayn yang tepat sesuai dengan syarat-syaratnya adalah jika ada seorang ibu yang hamil atau sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janinnya sekaligus, sementara harus segera diputuskan antara: menyelamatkan ibu, tetapi akan mengakibatkan kematian janin; atau menyelamatkan janin, tetapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan, ia akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar, yaitu keduanya akan mati. Berdasarkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn, harus diputuskan menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin.

Jadi, penerapan kaidah harus memenuhi ketentuan, syarat dan batasan yang telah dijelaskan oleh para ulama ushul. Penggunaan kaidah tersebut untuk membolehkan perkara yang haram, seperti yang belakangan ini terjadi, sebenarnya hanya memperalat kaidah tersebut, menyalahi syariat dan tidak pernah dikatakan oleh para ulama yang jujur.

Misal: pendapat yang mengatakan (tentang pemilu), “Kita harus memilih si A meski sekular, jangan memilih si B; karena si A mendukung kita dan lebih sedikit kejelekannya, sedangkan si B tidak,” atau semisalnya. Pendapat ini secara syar’i tertolak. Yang harus dikatakan dalam masalah ini adalah kedua pilihan adalah perkara yang diharamkan. Kita tidak boleh memilih orang yang sekular dan menjadikannya sebagai pemimpin bagi kaum muslim dalam menjalankan pemerintahan, karena ia tidak terikat dengan Islam dan karena ia melakukan perkara-perkara yang diharamkan, yang tidak boleh dilakukan oleh pemimpin dalam Islam seperti: membuat dan menjalankan hukum (tasyrî, legislasi) sekuler; menjalankan program-program yang diharamkan; menuntut, menerima dan melakukan perkara yang diharamkan. Karena itu, kita tidak boleh memilih kedua-duanya; karena memilih si A atau si B sama saja haramnya dan karena tidak memilih si A atau si B masih ada dalam batas kemampuan kita. Lebih dari itu, masih ada pilihan aktivitas lainnya yang bahkan hukumnya wajib, yaitu mengubah sistem demokrasi kapitalis ini dengan sistem Islam Khilafah dengan dakwah yang mengikuti metode kenabian Jadi dalam hal ini kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diamalkan.

Dalam konteks ini tidak bisa dikatakan: jika kita tidak memilih si A atau si B maka nanti akan terpilih orang yang tidak berpihak kepada kita, yang akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi. Hal itu sebagaimana kita tidak boleh mengatakan jika kita tidak memanfaatkan bar yang menjual khamr, maka bar itu akan dimanfaatkan oleh orang lain yang tidak berpihak kepada kita. Yang harus dilakukan adalah meninggalkan dua perkara haram tersebut dan mengajak orang lain untuk meninggalkannya.

Imam At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ

Sesungguhnya jika manusia melihat kemungkaran, tetapi mereka tidak mengubahnya maka Allah akan menimpakan siksa atas mereka secara umum.

Bisa jadi ada yang berkata: kalau kita tidak memilih salah satunya, berarti kita berdiam diri, tidak melakukan apapun. Jawabannya, “Seandainya kita diminta memilih dua perkara, yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan apapun tidak ada pilihan ketiga, yakni melakukan yang baik maka yang wajib dilakukan adalah kita harus berdiam diri dan menjaga diri dari melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, dan kita harus menjaga lisan dari mengubah agama Allah. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam.”

Dalam konteks ini kita harus meninggalkan keduanya dan melakukan pilihan ketiga yang bahkan adalah wajib bagi kita, yaitu kita harus menggencarkan dakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, berusaha mewujudkan orang yang layak untuk dipilih sebagai pemimpin dan berusaha mengubah kondisi yang ada secara menyeluruh melalui dakwah. Sebab, yang wajib adalah kita tidak boleh menghukumi atau dihukumi, kecuali dengan Islam.

Kondisi tersebut sama seperti kondisi saat kepada seseorang disodorkan dua jenis makanan: bangkai dan daging babi. Apakah serta-merta ia boleh menerapkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn? Tentu tidak. Yang harus ia lakukan adalah meninggalkan keduanya dan bersungguh-sungguh mencari makanan yang halal, serta bersabar tidak memakan keduanya, kecuali jika sampai taraf darurat yang jika tidak memakan salah satunya ia akan binasa. Wallâhu a’lam bi ash-shawab. [SM/Ln]