Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Perundungan (bullying) di dunia pendidikan kian meresahkan. Perundungan memang masih menjadi salah satu pekerjaan rumah yang belum tuntas di negeri ini. Perundungan makin marak terjadi hampir di semua usia dan jenjang pendidikan, mulai dari perguruan tinggi hingga sekolah dasar.
Beberapa waktu lalu, perundungan terjadi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dalam video yang diunggah di medsos, tampak tindakan bully yang dilakukan oleh seorang siswa SMP di Cimanggu dan disaksikan oleh beberapa temannya. Korban perundungan tersebut dipukul, ditendang, bahkan diseret oleh pelaku. Korban kini mengalami patah tulang rusuk dan terus mengeluh dadanya sesak. Pelaku bully juga nampak sangat bangga setelah memukul dan menendang korban hingga terjatuh di lapangan voli. (Detik News, 29/9/2023).
Perundungan serupa juga terjadi di Makassar, seorang siswi menjadi korban perundungan berujung kekerasan yang dilakukan oleh tujuh anggota geng perempuan dan pelaku perundungan. Sementara siswa kelas 6 SD di Pesanggrahan Jakarta Selatan meninggal dunia usai terjatuh dari lantai empat gedung sekolah. Ada dugaan siswa ini sengaja melompat dari lantai empat gedung sekolah, karena tidak tahan oleh perundungan dari teman-temannya. (Tribun News, 29/9/2023).
Penyebab perundungan sangat beragam bahkan bisa sangat sepele. Mulai dari ejekan sampai dugaan merebut pacar sang pelaku bully. Mirisnya, teman-teman yang menyaksikan aksi perundungan tersebut umumnya hanya diam saja dan tidak segera menolong. Bahkan beberapa kasus diketahui, aksi bully itu sengaja direkam dan videonya diunggah ke media sosial. Benar-benar parah.
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bapak Aries Adi Leksono, terkait maraknya kasus perundungan di dunia pendidikan, Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan terhadap anak. Selain di Cilacap dan Jakarta, peristiwa perundungan serupa terjadi pula di daerah lainnya yang belum terungkap. Aries meyakini bahwa fenomena bullying di negeri ini ibarat gunung es dan banyak yang belum terungkap. Menurut studi Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia bahkan menempati posisi kelima tertinggi dari 78 negara yang banyak mengalami kasus perundungan. Mirisnya, menurut Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kasus perundungan paling besar terjadi di lingkungan sekolah. (Katadata, 7/8/2023).
Hakikat Perundungan
Menurut KBBI, perundungan (bullying) berarti proses, cara, dan perbuatan merundung, yaitu mengganggu, menjahili terus menerus, membuat susah, menyakiti orang lain, baik berbentuk verbal, sosial, dan fisik secara terus menerus dan dari waktu ke waktu, baik di dunia nyata ataupun dunia maya, sehingga membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan, baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok.
Jadi, perundungan bisa dikelompokkan menjadi tiga jenis. Pertama, perundungan verbal, yaitu dengan kata-kata seperti mencemooh, mencaci, mengumpat penuh kebencian, menghina atau meremehkan kemampuan atau mencela fisik seseorang (body shaming), termasuk juga melaporkan korban berkali-kali ke sekolah agar korban mendapatkan sanksi. Kedua, perundungan fisik, seperti memukul, melempari kotoran, menendang, merobek buku, mempermalukan korban di depan kawan-kawannya, dan sebagainya. Ketiga, perundungan relasional, yaitu memutuskan pertemanan, mengucilkan korban, mengajak orang lain memusuhi korban, atau memberi perlakuan beda pada korban, dan sebagainya.
Menurut KPAI, ada beberapa penyebab tingginya angka kekerasan pada lingkungan satuan pendidikan termasuk bullying, yaitu karena terjadinya learning loss dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa Covid-19, pengaruh game online dan media sosial yang masih banyak menyajikan tayangan penuh kekerasan dan tidak ramah anak, sehingga karakter, akhlak, serta budi pekerti anak melemah. Juga karena adanya penyimpangan relasi kuasa antara pendidik dan peserta didik, atau antar sesama peserta didik (misal merasa menjadi kakak kelas dan merasa lebih kuat). Juga tersebab struktur kurikulum dan metode pembelajaran yang masih menitikberatkan pada capaian target kognitif saja, sehingga pendidikan penguatan karakter kurang mendapatkan perhatian. Ditambah lagi kontrol diri anak yang rendah, kehidupan keluarga yang tidak harmonis, serta kebijakan sekolah dalam menciptakan rasa aman dan ramah terhadap seluruh siswa dan pengawasan disiplin positif satuan pendidikan yang masih rendah. (Tribun News, 10/10/2023).
Dan sudah dimaklumi bahwa efek dari bullying ini tidaklah sepele. Ada sejumlah dampak negatif yang akan menimpa generasi, baik korban maupun pelaku bullying. Bagi korban, bullying bisa menyebabkan gangguan kesehatan mental, mulai dari stres, depresi hingga trauma, mengalami kesedihan, rendah diri, kesepian, hilang minat pada perkara yang disukai, perubahan pola makan dan tidur, trust issue (sulit percaya pada orang lain), menutup diri dan enggan bersosialisasi, mendorong berpikir bunuh diri, dan sulit berprestasi. Efek lainnya bisa menyebabkan gejala psikosomatis yang memicu gangguan kesehatan fisik, cedera fisik, bahkan ada yang berujung pada hilangnya nyawa.
Adapun bagi pelaku, bullying bisa menjadikannya tidak punya empati, tidak peduli pada perasaan orang lain, bahkan tidak peduli pada konsekuensi tindakannya, terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan sehingga sangat berpotensi mengalami masalah perilaku, gangguan kepribadian, sulit membangun relasi dengan orang lain, dan ini semua dapat mengganggu relasi sosialnya di masa depan. (Katadata, 21-9-2023).
Perundungan Tumbuh Subur dalam Masyarakat Sekuler
Maraknya kasus perundungan di dunia pendidikan sungguh memprihatinkan dan mengiris hati. Dunia pendidikan yang idealnya menjadi tempat mencetak manusia cerdas yang beradab, kini berubah menjadi biadab. Sederet kasus perundungan yang berakibat pada kerusakan dan cedera fisik atau psikis bahkan berujung maut, benar-benar telah mencoreng keagungan fungsi dan peran strategis pendidikan.
Dan dengan penelaahan mendalam terhadap problem perundungan ini, akan didapati bahwa maraknya bullying bermuara pada corak kehidupan masyarakat negeri ini yang bebas (liberal), dan jauh dari tuntunan agama. Agama tidak punya peran dalam membangun relasi kehidupan masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pelaku bullying merasa bebas berbuat dan berpendapat sekehendak hatinya, meski merugikan, menyakiti, membahayakan, mencederai bahkan menzalimi orang lain. Tidak peduli perasaan orang lain, yang penting ia senang dan puas. Artinya standar halal-haram, sama sekali tak punya tempat. Tergeser oleh asas manfaat, kepentingan sesaat dan kepuasan semu menurut akal manusia. Inilah kehidupan khas masyarakat sekuler. Masyarakat yang memisahkan agama dari kehidupan.
Maraknya perundungan di negeri ini bisa bermakna sebagai potret kegagalan sistem pendidikan generasi. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Komisioner KPAI, bahwa kurikulum pendidikan negeri ini lebih mengedepankan capaian target kognitif semata, tapi lemah dalam pembentukan karakter dan akhlak anak didik. Konten game online dan tayangan media sosial yang tidak ramah anak dan sarat dengan kekerasan, berpadu dengan disharmoni keluarga serta lemahnya pengawasan orang tua dan lembaga pendidikan, ikut berperan dalam memproduksi perilaku bullying di kalangan anak dan remaja. Ini dapat dipahami karena memang sistem pendidikan negeri ini bercorak sekuler, bukan Islam. Dengan kata lain, perundungan akan terus tumbuh subur dalam masyarakat sekuler kapitalistik yang liberal.
Sistem pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini, telah menjadikan lembaga sekolah fokus pada output pendidikan yang berorientasi pada capaian kerja dan standar duniawi saja, namun minus penanaman akidah yang kokoh. Muatan materi ajar yang digariskan dalam kurikulum pendidikan pun tidak menekankan pada pengaruh ilmu terhadap amal secara nyata, agar menjadi mafhum yang membekas dalam perilaku baik dan akhlak mulia. Itulah mengapa karakter generasi yang dihasilkan cenderung rapuh dan bermental lemah dalam mengarungi kehidupan. Tidak cukup lihai dalam mengendalikan emosi saat menghadapi persoalan. Akhirnya setiap problem dan tantangan hidup cenderung disikapi dengan kekerasan seperti aksi bullying.
Sementara keluarga yang diharapkan menjadi benteng terakhir generasi dalam menghadapi berbagai serangan pemikiran dan gaya hidup sekuler liberal, kini tak mampu lagi menjalankan peran strategisnya bagi perlindungan generasi. Orang tua sibuk dengan urusannya masing-masing, dan cenderung abai pada tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anaknya. Sebagian dari keluarga muslim ada yang terseret pada gaya hidup sekularisme yang menipu. Mereka terjebak pada standar sukses dan kebahagiaan semu, yang hanya didasarkan pada capaian fisik dan kekayaan materi (uang) semata. Mereka rela menghabiskan sebagian besar waktunya demi uang, karier dan jabatan, tapi melalaikan tugas pentingnya sebagai pencetak generasi tangguh.
Di sisi lain, ada keluarga muslim yang terjebak pada kesempitan ekonomi, sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang telah menciptakan kemiskinan sistemik. Hal ini membuat banyak orang tua terpaksa menghabiskan hampir seluruh waktu mereka untuk mengais rezeki demi bertahan hidup. Sehingga keluarga dan rumah ibarat terminal, hanya tempat anggota keluarga transit sesaat untuk kembali pada kesibukannya masing-masing. Suasana keluarga hangat, harmonis dan penuh sakinah mawaddah wa rahmah seolah jauh dari harapan. Ayah dan ibu tidak hadir seutuhnya bagi anak-anak mereka.
Maka anak-anak pun tumbuh besar dalam asuhan gadget, TV atau media sosial tanpa filter yang berarti. Walhasil, anak-anak tidak paham tentang makna berbuat baik, sikap beradab, empati, berakhlak mulia, atau cara benar dalam menghadapi masalah. Anak tidak terbiasa memecahkan problem dengan panduan syariat karena memang tidak diarahkan. Sehingga kekerasan seperti bullying menjadi pilihan bagi mereka dalam mengekspresikan kehendak atau menyelesaikan masalah.
Kondisi ini diperparah oleh abainya negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung rakyat dan generasi. Negara tidak segera menghentikan dan menutup semua media yang menayangkan konten berbahaya dan merusak generasi. Negara seolah membiarkannya, bahkan tampak kalah terhadap kekuatan kapitalis global sang pemilik bisnis media yang memuat konten kekerasan tidak ramah anak yang merusak akhlak generasi. Padahal jika negara mau, pastilah mampu mengambil tindakan tegas demi melindungi rakyatnya dan menyelamatkan masa depan generasinya.
Itulah kondisi yang tengah terjadi di negeri ini. Meski negeri ini mayoritas penduduknya muslim, tapi ironisnya Islam tidak diadopsi sebagai sistem hidup bermasyarakat dan bernegara. Syariat Islam dipinggirkan dari ranah kehidupan publik, termasuk dalam sistem pendidikan dan pola pengaturan sosial masyarakatnya. Padahal Islam sebagai sebuah ideologi (way of life) memiliki seperangkat aturan yang lengkap tentang semua persoalan hidup manusia, termasuk tentang problem perundungan tersebut.
Islam Solusi Problem Perundungan
Harus diakui bahwa kasus perundungan di negeri ini tidak sekadar kasuistik saja, bahkan ibarat fenomena gunung es. Kasus yang tak terlaporkan jauh lebih banyak lagi. KPAI mengistilahkan bahwa Indonesia sedang darurat bullying. Maka sebagai orang tua, pendidik dan bagian dari masyarakat bangsa yang besar ini, tentu tidak boleh berdiam diri saja. Pasalnya sistem pendidikan negeri ini sedang sakit. Dan masa depan generasinya tengah terancam. Apalagi bangsa ini sedang berjalan menuju visi besar Indonesia Emas 2045 sebagai negara yang maju, beradab, makmur, dan meraih lima besar kekuatan ekonomi dunia. Maka negeri ini wajib bergegas menyelesaikan PR besarnya tentang tingginya kasus perundungan di lembaga pendidikan.
Setiap individu, keluarga, lembaga pendidikan, para tokoh umat dan seluruh elemen masyarakat harus peduli, dan ikut mengambil peran dalam upaya menghentikan maraknya bullying di negeri ini. Dan negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas semuanya. Karena negaralah satu-satunya pihak yang terkumpul padanya seluruh potensi, kekuatan, sarana-prasarana, serta kendali utama pengelolaan SDM dan segala yang dibutuhkan untuk segera mengakhiri krisis kekerasan dan bullying yang ada. Dan untuk itu, negara pasti mampu, asal mau.
Sebagai sebuah agama sekaligus ideologi, Islam punya seperangkat aturan syariat yang dapat mengatasi problem maraknya perundungan, asalkan negara serius menjalankannya secara total. Pertama, setiap individu rakyat hendaknya dipastikan memiliki keimanan yang kuat dan ber-atsar, yang melahirkan kecintaan pada Allah SWT dan Rasul-Nya saw., siap taat dan tunduk patuh sepenuh hati pada syariat Islam. Iman yang menjadikan setiap individu keluarga selalu muraqabah (merasa diawasi oleh Allah SWT) dan tidak berani bermaksiat atau berbuat zalim pada orang lain seperti perundungan. Mereka juga selalu terdorong untuk meneladani semua perilaku dan akhlak mulia Rasulullah saw..
Salah satunya perintah Islam untuk berbuat baik pada sesama dan tidak menzalimi orang lain, sebagaimana hadis Nabi saw., “Jauhilah kezaliman, karena kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 2447, Muslim No. 2578). Beliau saw. juga bersabda, “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya.” (HR. Muslim No. 2564).
Kedua, memastikan setiap keluarga memahami panduan syariat terkait hak dan kewajiban suami-istri dalam keluarga dalam mewujudkan keluarga harmonis yang sakinah mawaddah wa rahmah. Setiap orang tua juga harus paham tugas utama dan strategisnya dalam mendidik anak-anak mereka.
Ayah-ibu harus benar-benar hadir dalam mengasuh, mendidik, mendampingi dan mengajarkan Islam kaffah pada anak-anaknya, demi mewujudkan generasi tangguh yang bertakwa, berkepribadian Islam (ber-syakhshiyyah Islamiyyah), berjiwa pemimpin, terdepan dalam kebaikan, lemah lembut dan penuh kasih sayang, jauh dari sikap kasar dan zalim pada orang lain. Sehingga terwujudlah keluarga tangguh yang mampu membentengi anak-anaknya dari berbagai pengaruh pemikiran dan lifestyle sekuler liberal yang merusak, termasuk tren kekerasan dan bullying yang tumbuh subur di sistem masyarakat sekuler saat ini.
Ketiga, sistem pendidikan yang diterapkan haruslah berasaskan Islam dan fokus pada pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah). Sehingga interaksi yang terjadi di lingkungan pendidikan selalu diliputi kebaikan dan berhias kemuliaan akhlak. Anak didik pun terdorong untuk saling menolong dan memudahkan, dan jauh dari orientasi merundung (bullying).
Keempat, sistem pengelolaan penerangan dan media haruslah berasaskan Islam, serta men-support suasana ketakwaan di tengah-tengah masyarakat. Media apa pun yang berpotensi membentuk karakter perundung harus segera ditindak tegas bahkan dihentikan eksistensinya, meskipun menguntungkan negara secara ekonomi. Pihak-pihak yang terlibat dalam produksi dan penyebaran konten media yang bercorak kekerasan dan bullying, serta pelaku perundungan harus ditindak tegas sesuai ketentuan sistem sanksi Islam yang diterapkan oleh negara.
Itulah serangkaian penataan syariat Islam untuk menyudahi maraknya perundungan di lingkungan pendidikan dan masyarakat umumnya. Untuk menjalankan itu semua, butuh adanya negara Khilafah yang bervisi kuat, yang menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat) dengan asas ideologi Islam. Negara yang menerapkan Islam kaffah di seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Maka butuh adanya aktifitas dakwah Islam politik yang diemban secara berjamaah dan terarah menuju terwujudnya masyarakat Islam dalam naungan negara Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]