Oleh: Kartinah Taheer
Suaramubalighah.com, Telaah Al-Qur’an – Allah SWT berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian,” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali-Imran: 31)
Ibnu katsir dalam Tafsir Al-Qur’ân Al-Adzhīm menyatakan bahwa ayat yang mulia ini menilai setiap orang yang mengakui dirinya cinta kepada Allah, sedangkan sepak terjangnya bukan pada jalan yang telah dirintis oleh Nabi Muhammad saw., maka sesungguhnya dia adalah orang yang dusta dalam pengakuannya, sebelum ia mengikuti syariat Nabi saw. dan agama yang dibawanya dalam semua ucapan dan perbuatannya. Sebagaimana dalam hadis dinyatakan , bahwa Rasulullah saw. bersabda,
«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
“Barang siapa yang melakukan suatu amal perbuatan yang bukan termasuk tuntunan kami, maka amalnya itu ditolak”
Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian. (Ali Imran: 31)
Yakni kalian akan memperoleh balasan yang lebih daripada apa yang dianjurkan kepada kalian agar kalian mencintai-Nya, yaitu Dia (Allah) mencintai kalian. Kecintaan Allah kepada kalian dinilai lebih besar daripada yang pertama, yaitu kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama yang bijak, bahwa duduk perkaranya bukanlah bertujuan agar kamu mencintai, melainkan yang sebenarnya ialah bagaimana supaya kamu dicintai.
Al-Hasan Al-Basri dan lain-lainnya dari kalangan ulama salaf mengatakan bahwa ada segolongan kaum yang menduga bahwa dirinya mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian.” (QS Ali Imran: 31)
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الطَّنافِسي، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى بْنِ أَعْيَنَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “وَهَلِ الدِّينُ إِلَّا الْحُبُّ والْبُغْضُ؟ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Musa ibnu Abdul A’la ibnu A’yun, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Urwah, dari Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Tiada lain (ajaran) agama itu melainkan cinta karena Allah dan benci karena Allah. Allah SWT berfirman: Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran: 31)
Kemudian Allah SWT berfirman,
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali Imran: 31)
Yakni karena kalian mengikuti Rasul saw., maka kalian memperoleh karunia itu berkat perantaraannya.
Sedangkan Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain menyatakan,(Katakanlah) kepada mereka hai Muhammad! (“Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu) dengan arti bahwa Dia memberimu pahala (dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun) terhadap orang yang mengikutiku, mengenai dosa-dosanya yang telah terjadi sebelum itu (lagi Maha Penyayang”) kepadanya.
Karena itu berdasarkan penjelasan para mufasir, Ittiba’ kepada Nabi adalah bukti cinta kepada Allah. Sedangkan ittiba’ kepada Nabi meniscayakan untuk meneladani beliau dalam seluruh aspek kehidupan. Meneladani Beliau tidak cukup hanya membatasi pada pribadi Beliau sebagai manusia yang memiliki akhlak yang mulia. Atau dalam kehidupan keluarga beliau. Tetapi mengikuti Nabi dalam semua aktivitas Beliau. Termasuk bagaimana dakwah Beliau. Meneladani dakwah Nabi selain dari sisi kesabaran dan istikamah, yang perlu diperhatikan adalah target apa yang harus diraih dalam dakwah, bagaimana thariqah beliau dalam berdakwah untuk meraih tujuan tersebut.
Dakwah nabi tidak sebatas memperbaiki akhlak. Dakwah nabi adalah untuk melangsungkan kehidupan Islam dalam sebuah daulah atau negara Islam. Karena itu Nabi saw. juga sebagai kepala negara, memimpin perang, mengirim para utusan ke berbagai negeri, mengangkat para wali dan amil. Nabi juga sebagai Al-Hakim yang memutuskan perkara di antara manusia berdasarkan wahyu.
Inilah yang kemudian diteruskan oleh para sahabat sepeninggal beliau, yakni melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia dangan dakwah dan jihad dalam institusi yang bernama Khilafah sebagai pengganti kepemimpinan Nabi dalam mengatur manusia dengan syariat Islam. Inilah konsep bernegara yang harus diikuti oleh umat Islam hari ini, bukan demokrasi yang penggagasnya adalah orang atheis.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.”(HR Bukhari no. 3093, Muslim no. 1759, dan Abu Daud no. 2970)
Karena itu mestinya hari ini menjadi kewajiban manusia yang mengaku sebagai umatnya Nabi Muhammad saw. dan berharap syafaatnya untuk ittiba’ secara keseluruhan tidak membatasi diri hanya pribadi Beliau yang agung. Apalagi hanya seremonial peringatan maulid minus ittiba’, bahkan malah memusuhi perjuangan untuk menerapkan risalah Nabi. Naudzubillahimindzalika. Waalahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]