Perempuan Berpolitik karena Kewajiban, Bukan Kesetaraan Gender

  • Opini

Oleh: Mutiara Aini

Suaramubalighah.com, Opini – Menjelang tahun politik pasti ramai terkait keterlibatan perempuan dalam politik. Isu kesetaraan gender menjadi “jualan” dalam politik demokrasi.   Perasaan tertindas dan berkeinginan untuk membuktikan pada dunia, bahwa perempuan tak selamanya berada di bawah. Perempuan bukan barang yang hanya dipakai jika dibutuhkan, tetapi perempuan mampu berperan layaknya laki-laki dalam ranah kepemimpinan.

Ide kesetaraan gender ini pun dianggap akan membawa nama perempuan melambung tinggi. Sehingga muncullah perempuan-perempuan “terpelajar” yang berani menampakkan taringnya. Mereka berjuang atas nama “emansipasi wanita”. Bahkan mereka rela menghabiskan waktunya di luar rumah demi mendapatkan pengakuan “wanita setara dengan pria”, bahkan hingga ke kancah legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.

Tak dimungkiri, politik yang ditekuni para perempuan saat ini hanya berkutat pada kekuasaan. Dengan dalih kesetaraan gender, perempuan tak melulu harus berada di rumah, melainkan ia harus bisa menjadi pemimpin yang dibutuhkan rakyat. Dalam ranah legislatif, perempuan mendapat jatah 30% kursi untuk diduduki. Maka hingga saat ini, perjuangan para perempuan kian terbuka lebar bagi perempuan yang ingin menjadi kepala daerah maupun kepala negara.

Melansir dari bandungbergerak.id (20/8/2023), Keterwakilan perempuan di parlemen menjadi sangat penting bagi Kota Bandung yang jumlah penduduknya kebanyakan perempuan, yakni 50,53 persen, berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) 2023. Ketua DPC Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kota Bandung Rieke Suryaningsih mengatakan keterwakilan perempuan merupakan fondasi penting dalam masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

Benarkah demikian? Tidak berkorelasi positif antara keterlibatan perempuan dalam parlemen dengan nasib perempuan itu sendiri. Rieke Suryaningsih mengungkapkan masih banyak kebijakan yang jauh dari perspektif perempuan. Seperti rancangan undang-undang pekerja rumah tangga yang belum kunjung disahkan atau peraturan turunan undang-undang pencegahan kekerasan seksual.

Hal ini disebabkan karena sistem demokrasi dikendalikan oleh sistem kapitalisme. Artinya pemilik modal berkuasa dan mengendalikan regulasi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Selama sistemnya masih demokrasi kapitalisme, nasib perempuan jauh dari kata sejahtera, aman, dan bahagia. Ide kesetaraan gender merupakan alat penjajahan kapitalisme untuk menjauhkan perempuan pada tugas utamanya sebagai ummun warabbatul bait.

Meluruskan Paradigma Perempuan Berpolitik

Perempuan dalam Islam diwajibkan untuk berpolitik. Namun perlu digarisbawahi, bahwa pengertian politik dalam konsep Islam bukan sekadar kekuasaan, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam maupun luar negeri, menyangkut aspek negara maupun umat. Dalam hal ini, negara bertindak langsung dalam mengatur urusan umat, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi kebijakan yang dilaksanakan oleh negara apabila terdapat ketimpangan dalam penerapan aturan sekaligus menyadarkan umat pada kewajiban mereka berislam secara kaffah.

Berpolitik dalam Islam bagian dari amar makruf nahi mungkar yang diwajibkan oleh Allah SWT, baik oleh individu maupun partai politik. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 104 ,

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Perempuan berpolitik dan didengar aspirasinya tidak harus menunggu kuota 30%. Karena suara seorang perempuan, jika itu hukum Allah SWT maka bisa mengubah kebijakan negara. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, ketika ada seorang wanita yang berani mengingatkan Umar saat beliau berniat menentukan jumlah mahar, dan khalifah menerima pendapatnya.

Kisah ini diabadikan dalam kitab tafsir Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur karya Syekh Jalaluddin As-Suyuthi. Kisah itu dikutip pada bab penjelasan surah An-Nisa ayat 20.

Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”

Usai berpidato, Khalifah Umar turun dari mimbar. Seketika, seorang wanita berdiri dan memprotes Khalifah Umar. “Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu.

“Ya,” jawab Khalifah Umar. “Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 surah An-Nisa),” kata wanita itu. Protes itu disambut hangat oleh Khalifah Umar. Dia lalu beristighfar dan mengatakan, “Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.” Khalifah Umar lalu kembali naik ke mimbar dan berpidato lagi. “Wahai khalayak, tadi aku larang kalian memberikan mahar kepada istri melebihi 400 dirham. Sekarang silakan siapa pun memberikan harta (sebagai mahar) menurut kehendaknya,” ucap Khalifah Umar.

Peran politik perempuan yang lain adalah berbaiat terhadap khalifah. Perempuan juga memiliki hak memilih dan dipilih dalam Majelis Umat. Majelis Umat merupakan sebuah majelis yang akan menyampaikan aspirasi umat pada penguasa (khalifah). Sebagai perempuan yang sadar politik, maka wajib terjun untuk memperjuangkan kepengurusan umat semampunya agar sesuai dengan aturan Ilahi.

Begitu juga terjunnya perempuan dalam ranah politik seharusnya bukan sekadar status atau hanya ingin diakui publik. Tetapi semata-mata karena kewajiban atas dorongan keimanan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).

Ayat di atas menegaskan bahwa perempuan juga berkewajiban untuk beramar makruf nahi mungkar. Dalam perannya tersebut, perempuan dapat aktif menjadi anggota suatu partai politik yang berlandaskan Islam dan memiliki visi-misi Islam.

Berkaca pada Shahabiyat

Islam memberikan bagian antara laki-laki dan perempuan sesuai fitrahnya. Laki-laki diciptakan sebagai pemimpin, sedangkan perempuan adalah sebagai manajer rumah tangga dan pendidik generasi. Maka, atas dorongan keimananlah, baik laki-laki maupun perempuan akan menerima satu sama lain. Bahkan ketika Allah memutuskan perempuan tidak boleh menjadi penguasa yang bertugas mengurusi urusan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita.” (HR Al-Bukhari).

Akan tetapi, harus dipahami bahwa hakikat dari aktivitas politik perempuan adalah sebagai bagian dari kewajibannya yang datang dari Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslim, ia bukanlah termasuk di antara mereka.  Siapa saja yang bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslim, ia bukanlah golongan mereka.” (HR Ath-Thabari).

Sejak kehadirannya, Islam tidak pernah mengesampingkan kaum perempuan dari aktivitas politik. Seperti istri-istri nabi dan para shahabiyat yang selalu setia mendampingi dan mengobarkan semangat perjuangan bagi Rasulullah saw.. Mereka tidak segan-segan melakukan koreksi terhadap Amirulmukminin Umar bin Khaththab. Mereka adalah para perempuan yang memiliki pengaruh besar dalam peran politik.

Islam memandang bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki. Keduanya diciptakan dengan mengemban tanggung jawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah SWT.

Seorang muslimah harus menyadari bahwa Islam sangat menjaga kemuliaan dan ketinggian martabat perempuan. Semua itu semata-mata karena Allah SWT sangat memahami apa saja yang terbaik bagi manusia, baik laki-laki dan perempuan. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]