Oleh: Siti Murlina
SuaraMubalighah.com, Telaah Hadis – Bagi setiap muslim mencintai Rasulullah saw. merupakan bagian dari ibadah dan akan mendapatkan pahala berlimpah dari Allah SWT. Maka menjadi kewajiban pula sebagai konsekuensi dari cinta tersebut untuk menjadikan Rasulullah saw. sebagai suri tauladan yang melandasi pola pikir dan pola sikap seorang muslim seluruh aspek kehidupan.
Dan orientasi cinta itu juga menjadikan Rasulullah saw. sebagai satu-satunya yang wajib dicintai melebihi cinta kepada apapun dan kepada siapapun di dunia ini. Sebagaimana dinyatakan dalam sabda-Nya:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya:
“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya”. (HR Muslim no.44)
Dan dalam hadis lain, dari Anas ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ِ،
Artinya:
“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya…“. (HR Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Berdasarkan hadis di atas, maka mencintai Rasulullah saw. adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah. Sebab mencintai Rasulullah saw. adalah mengikuti kewajiban dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah saw. merupakan implementasi cinta kepada Allah SWT.
Sebagaimana juga dinyatakan oleh Ibnul Qayyim bahwa “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah saw. sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang mengutusnya. Umatnya mencintai beliau saw. karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah”.
Mengenai kata yang dimaksud dalam hadis tadi yakni “perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman” bisa kita ambil mafhum dari pernyataan Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, menyatakan terkait makna cinta. Menurutnya, cinta merupakan kecenderungan tabiat kepada sesuatu disebabkan sesuatu itu mempunyai nikmat. Setiap kali kenikmatan sesuatu bertambah, maka semakin besar pula cinta kepada sesuatu itu. Wujudnya bisa fisik ataupun nonfisik.
Lebih lanjut Imam Ghazali menyatakan hakikat cinta yang sejati adalah kenikmatan cinta yang berasal dari penglihatan nonfisik (batin), yakni kenikmatan hati. Kenikmatan hati yang disebabkan telah mengetahui perkara-perkara Ilahiah yang mulia dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera merupakan sesuatu yang lebih mulia, lebih sempurna, dan lebih besar kenikmatannya.
Jadi hakikat mencintai Rasulullah saw. mengharuskan adanya penghormatan, ketundukan dan keteladanan kepadanya. Mencintai Rasulullah saw yakni ittiba’ kepada Beliau saw. sekaligus menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT. Meneladani Rasulullah sebagai bentuk cinta wajib secara keseluruhan, sebab Rasulullah adalah satu-satunya teladan bagi setiap mukmin. Di antara keteladanan Nabi saw. yang wajib ditiru adalah kepemimpinan beliau atas umat manusia. Rasulullah saw bukan sekadar pemimpin spiritual, tetapi juga Kepala Negara Islam pertama.
Para sahabat ra. telah menunjukkan bentuk cinta mereka kepada Rasulullah saw. di antaranya adalah hadis berikut, dari Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi saw. dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab ra. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi saw berkata,
لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَر ُ رواه البخاري
Artinya:
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi saw. berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna)”. (HR Bukhari no.6632)
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi saw: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi saw. Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR Bukhari no.3688)
Urwah bin Mas’ud berkata kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke Kisra, kaisar dan raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang rajapun yang diagungkan oleh segenap rakyatnya melebihi pengagungan para Sahabat ra. kepada Muhammad saw. Demi Allah, mereka tidak memandang dengan tajam kepada beliau sebagai bentuk pengagungan mereka kepadanya saw, serta tidaklah beliau berdahak kecuali ditadah dengan telapak tangan salah seorang dari mereka, kemudian dilumurkan pada wajah dan dadanya. Lalu tatkala beliau saw. berwudhu’, maka hampir saja mereka saling membunuh karena berebut sisa air bekas wudhu’ beliau saw.” (HR Bukhari no.2731)
Begitulah keadaan para sahabat ra. dalam mengekspresikan cinta mereka kepada Rasulullah saw. Sangat berbeda halnya keadaan kaum muslimin yang hidup dalam sistem kapitalis sekuler saat ini. Makna cinta yang hakiki mulai hilang dan kabur. Ekspresi mereka dalam mencintai Nabi saw. setiap bulan maulid (Rabiul awal) mereka semarakkan dengan berbagai kegiatan. Sayangnya yang mereka lakukan itu hanya sebatas seremonial tahunan belaka, tidak ada pengaruhnya ketika ritual selesai baik dari pola pikir maupun pola sikap. Malah sebenarnya eforia seremoni tersebut telah menipu perasaan mereka sendiri pada sosok yang semestinya menjadi panutan bagi mereka dalam seluruh aspek kehidupan.
Rasulullah saw hanya sebatas sebutan di bibir saja, mereka banyak disibukkan pada kegiatan seremoni yang hanya sekedar baca shalawat, zikir dan tausiah singkat hanya dalam bentuk biografi sejarah. Syariat dan risalah yang dibawa dan diperjuangkan oleh Rasulullah saw. dicampakkan dan hanya sebatas nyanyian shalawat saja. Mereka mencontoh Rasulullah Saw hanya pada ibadah mahdhah saja, tapi dalam hal pakaian, akhlak, politik, ekonomi, pendidikan, pergaulan dan lainnya tidak perlu diambil dan diamalkan.
Wajar saja, pelecehan terhadap syariat, Al-Qur’an dan bahkan terhadap pribadi Rasulullah saw. sering terjadi dan terus berulang, menjadi hal yang biasa dan tidak ada efek jera. Dikarenakan kaum muslimin telah abai dan perasaan cinta mereka telah tumpul. Padahal dalam cinta yang hakiki wujudnya adalah dengan mengikuti seluruh apa yang disenangi oleh orang dicintai dan membenci apa yang dia benci serta berupaya untuk membelanya dari siapapun yang melecehkannya.
Semestinya, dalam mewujudkan rasa cinta tersebut adalah dengan belajar terus-menerus agar pola pikir dan pola sikap kita terus terkoneksi dengan profil panutan kita dan mendakwahkan serta memperjuangkan risalah yang dibawa oleh beliau. Maka kecintaan kita kepada Rasulullah saw. mesti diekspresikan dengan kerinduan, ketaatan, pembelaan dan perjuangan Islam sebagaimana Rasulullah juga memperjuangkan Islam agar menjadi pandangan hidup manusia, demi keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]