Oleh: Ummu Habib (Mubalighah)
Suaramubalighah.com, Opini – Baru-baru ini, Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Tengah (Jateng) menyampaikan penolakannya terhadap rencana pertemuan tahunan Majelis Ansharullah Indonesia yang akan digelar pada 17-19 November 2023 di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah. Majelis Ansharullah Indonesia adalah bagian dari kegiatan tahunan Ahmadiyah di bawah bendera organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Penolakan terhadap agenda yang diklaim melibatkan massa 1500 orang tersebut disampaikan melalui surat resmi Kemenag Wilayah Jateng nomor: 20.036/Kw.11.7/2/BA.00/10/2023 tertanggal 20 Oktober 2023. Isi surat tersebut menyebutkan bahwa Kemenag Jateng tidak dapat memberikan rekomendasi kegiatan pertemuan tahunan Majelis Ansharullah Indonesia Jawa Tengah.
Adapun alasan Kemenag tidak memberikan rekomendasi untuk acara tersebut, merujuk pada rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari surat nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang aliran Ahmadiyah. Selain itu, Kemenag juga merujuk pada SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 03 Tahun 2008, Nomor: KEP-036/A/JA/4/2008, Nomor : 172 Tahun 2008, tentang Perintah dan Peringatan Keras Kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus JAI.
Meskipun acara tersebut batal karena mengalami penolakan, pihak Ahmadiyah menyatakan bahwa acara tersebut akan digelar, namun di lokasi yang berbeda. Menurut pengurusnya, Ahmadiyah sendiri sebenarnya kerap menggelar acara di Jateng. Namun, baru kali ini mengalami penolakan saat meminta rekomendasi izin. (jateng.solopos.com/1777430)
Selang beberapa hari kemudian, dilansir dari news.detik.com, Kepala Kanwil Kemenag Jateng Musta’in Ahmad telah melakukan audiensi dengan perwakilan JAI di Semarang pada hari Rabu (25/10/2023). Musta’in menyatakan bahwa kegiatan itu sedang diproses perizinannya dan kemudian oleh Kanwil Kemenag Jateng belum bisa diterbitkan rekomendasinya karena pertimbangan beberapa hal baik itu dari unsur pemerintahan, instansi-instansi pemerintah terkait maupun dari tokoh atau ormas-ormas keagamaan. Dari pertemuan tersebut, disepakati bahwa agenda tersebut akan ditunda atau ditiadakan. Rencananya, pihaknya akan mengajak pihak JAI berkomunikasi dengan tokoh atau ormas keagamaan agar ke depan acara-acara JAI bisa terlaksana.
Demikianlah, meski Ahmadiyah sudah dilarang melalui fatwa MUI dan SKB 3 menteri, namun sebagaimana yang dinyatakan pengurusnya, aktivitas Ahmadiyah tetap berjalan seperti biasa. Kantor-kantor sekretariat di setiap daerah masih ada. Papan namanya pun masih terpampang di mana-mana. Saluran opini maupun website-nya tetap aktif. Bahkan pertemuan rutin tahunan yang diselenggarakan di tiap daerah juga tetap berlangsung.
Padahal, kesesatan Ahmadiyah begitu jelas, yakni meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sementara itu, Islam mengajarkan bahwa tidak ada nabi setelah nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ajaran Ahmadiyah ini jelas menyimpang dari akidah Islam yang lurus. Karena itu, mengikuti ajaran Ahmadiyah menjadi sebuah kesesatan yang tidak boleh dibiarkan. Namun anehnya, meski menolak memberikan rekomendasi, Kemenag Jateng justru menjanjikan pendampingan agar Ahmadiyah dapat diterima masyarakat, sehingga agenda acara JAI dapat terlaksana di masa depan.
Langkah Kemenag tersebut menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Inilah yang menjadi sebab, mengapa kelompok sesat sulit diberantas. Di satu sisi, fatwa MUI dan SKB 3 menteri melarang Ahmadiyah, namun di sisi lain justru Kemenag Jateng memberinya ruang kehidupan. Semua ini menunjukkan ketidaktegasan dan ketidakseriusan pemerintah dalam menegakkan hukum, khususnya dalam memberantas aliran sesat Ahmadiyah. Mengapa demikian?
Apabila diperhatikan, semua kebijakan yang diambil negara ini, dipengaruhi oleh ideologi yang diemban saat ini, yakni kapitalisme. Kapitalisme yang dibangun di atas landasan sekularisme, telah memisahkan agama dari kehidupan, sehingga manusia diberikan kebebasan dalam hidupnya. Artinya, manusia tidak diikat dengan aturan agama dalam menjalani kehidupannya. Bahkan, pilar kebebasan telah membebaskan manusia dalam beragama, termasuk bebas dalam beragama maupun tanpa agama.
Lebih parah lagi, atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) dan proyek moderasi beragama, perlindungan negara terhadap kelompok minoritas menjadikan Ahmadiyah semakin eksis. Alih-alih menindak tegas dan menghentikan semua kegiatan dan melarang penyebaran ajarannya baik offline maupun online melalui media sosial (website). Pemerintah malah justru memfasilitasi eksistensinya.
Dalam Islam, segala sesuatu yang dapat membahayakan akidah umat, akan diperhatikan dengan sangat serius. Kasus Musailamah Al-Kadzab pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khaththab misalnya, menjadi contoh bagaimana Islam merespon seseorang yang mengaku sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad saw. wafat.
Tak butuh waktu lama, Musailamah dan para pengikutnya diberikan pembinaan agar mau kembali kepada akidah Islam. Bagi yang bertaubat, diterima kembali keimanan mereka. Sementara bagi yang tidak mau bertaubat, diberikan hukuman mati, karena dianggap telah murtad (keluar dari agama Islam) akibat menyimpang dari akidah Islam yang lurus. Pasalnya, tidak ada pilihan lain bagi orang murtad selain kembali masuk Islam atau diperangi.
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alaih)
Hadis ini memberikan makna bahwa keberadaan seorang al-imâm atau khalifah itu akan menjadikan umat Islam memiliki junnah atau perisai yang melindungi umat Islam dari berbagai marabahaya, keburukan, kemudaratan, kezaliman, dan sejenisnya.
Dengan demikian, eksistensi aliran sesat apapun, termasuk Ahmadiyah yang jelas-jelas membahayakan akidah umat, wajib ditindak tegas oleh negara. Namun negara yang dimaksud bukanlah negara bangsa yang berideologi kapitalisme seperti sekarang ini, melainkan negara yang dipimpin oleh seorang khalifah, yakni Khilafah. Wallahu a’lam.
[SM/Ln]