Membangun Ketahanan Keluarga, Tak Cukup dengan Bimbingan Perkawinan

Oleh: Bunda Nurul Husna

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Setiap insan pasti mendambakan kehidupan rumah tangga yang ideal dan harmonis, sakinah mawaddah wa rahmah, penuh ketenangan dan kasih sayang antar anggota keluarga. Namun kini, keinginan itu kian sulit diwujudkan. Faktanya, banyak kehidupan rumah tangga yang berantakan dan penuh kebencian, jauh dari ketenangan. Tidak sedikit pula yang justru gagal mempertahankan biduk rumah tangganya, dan berakhir dengan perceraian. Ditambah lagi dengan kesempitan hidup dan kemiskinan sistemik akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik liberal, menjadikan kehidupan keluarga yang tenang, harmonis dan sejahtera seolah hanya mimpi.

Inilah kehidupan masyarakat yang sekuler. Masyarakat yang meminggirkan peran agama dalam membangun berbagai relasi kehidupannya. Akidah sekularisme memang mengarahkan masyarakat berpikir dan hidup secara liberal tanpa batasan halal-haram, serta melemahkan fungsi Islam kaffah sebagai pemecah berbagai persoalan hidup (mualajah musykilah). Ironi memang, meski masyarakat negeri ini mayoritasnya muslim, namun Islam kaffah tidak bisa eksis sebagai problem solving bagi hidup mereka. Tergeser oleh sistem hidup liberal yang sekuleristik. Sehingga kehidupan keluarga pun jauh dari ketaatan, lemah dalam menghadapi persoalan, dan tidak mampu mewujudkan kehidupan keluarga yang harmonis, penuh ketenangan dan kebahagiaan.

Walhasil, masyarakat harus menerima kenyataan hidup yang penuh dengan persoalan. Kemiskinan, rumah tempat tinggal yang sangat tidak layak, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, tingginya angka pengangguran, maraknya KDRT dan perselingkuhan, tingginya angka perceraian, pembunuhan, anak durhaka pada orang tuanya, orang tua abai  terhadap pengasuhan dan pendidikan anaknya, kekerasan seksual, hingga problem kesehatan anak, stunting dan sebagainya. Intinya, ketahanan keluarga yang ada di negeri ini kian rapuh dan butuh solusi tuntas.

Dalam rangka memperkuat ketahanan keluarga, Kementerian Agama RI menargetkan bimbingan perkawinan menjadi program wajib di 2024. Selain itu akan ada Peraturan Menteri yang dibuat agar semua pasangan yang akan menikah ditraining terlebih dahulu. Langkah ini dimaksudkan untuk menciptakan generasi yang berpendidikan, produktif dan sehat, bebas stunting sebagaimana yang diamanatkan Presiden RI. Pengentasan stunting melalui Bimwin (Bimbingan Perkawinan) ini penting agar calon pengantin bisa tahu apa yang harus disiapkan sebelum menikah dan hamil. Menurut Presiden Jokowi, belum tentu semua pengantin memiliki pengetahuan tentang pengentasan stunting. Sehingga lanjutnya, ini perlu pendampingan calon-calon pengantin agar setelah menikah, bisa tahu apa yang harus dilakukan, berkaitan dengan gizi anak. Program Bimwin bagi pasangan calon pengantin merupakan langkah strategis untuk memperkuat ketahanan keluarga. (Kompas.com, 27-10-2023).

Tidak Cukup dengan Bimwin

Menurut KBBI, ketahanan keluarga bermakna kondisi dinamis suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta kemampuan fisik dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, serta mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Dengan kata lain, ketahanan keluarga adalah kemampuan menghadapi dan mengelola masalah dalam situasi sulit agar fungsi keluarga tetap berjalan harmonis, untuk meraih kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.

Dan faktanya, persoalan ketahanan keluarga tidak hanya berkaitan dengan masalah stunting. Stunting itu hanya salah satu saja dari sekian banyak tantangan yang harus diselesaikan oleh negeri ini guna membangun dan memperkuat ketahanan keluarga rakyatnya. Terlebih stunting berkaitan erat dengan problem kemiskinan ekstrem, sebagaimana yang pernah diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Bapak Muhadjir Effendy. Beliau mengungkapkan bahwa permasalahan kemiskinan ekstrem dan stunting saling beririsan, dimana irisan tersebut mencapai angka 60 persen. Menurutnya, penyebab stunting dilatarbelakangi oleh fenomena kemiskinan ekstrem seperti kendala dalam mengakses kebutuhan dasar, akses air bersih, fasilitas sanitasi dan lainnya. Padahal, Presiden Jokowi telah menargetkan masalah kemiskinan ekstrem nasional di 2024 tuntas menjadi 0 persen dan masalah stunting turun menjadi 14 persen. (Republika.co.id, 14-1-2023).

Stunting yang salah satu penyebabnya adalah gizi buruk, justru karena orang tua tidak mampu menyediakan makanan bergizi untuk anaknya, akibat kemiskinan dan pengangguran yang mereka alami. Sementara pada saat yang sama biaya hidup makin mahal. Pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan pokok kolektif rakyat misalnya, yang seharusnya disediakan pelayanannya secara gratis oleh negara, kini pun berbayar. Di sisi lain, banyak keluarga yang terpaksa merelakan sang ibu bekerja menjadi TKW, dan harus meninggalkan anak-anaknya. Sehingga anak-anak itu relatif tak diperhatikan kecukupan gizi dan nutrisi terbaiknya bagi tumbuh kembang mereka. Dari sini jelaslah bahwa problem stunting tidak berdiri sendiri. Ia sangat berkaitan erat dengan kemiskinan ekstrem negeri ini.

Maka solusi persoalan stunting demi menguatkan ketahanan keluarga, tentu tidak cukup dengan program bimwin saja. Apalagi jika program bimwin tersebut hanya sebatas bimbingan normatif saja, berupa teori-teori yang berisi imbauan dan nasihat semata, tentu tidak akan memberi pengaruh nyata. Sementara dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya, keluarga-keluarga tersebut dibiarkan berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa support system dari negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab bagi pemenuhan kebutuhan pokok individu dan kolektif seluruh rakyatnya. Sehingga mewajibkan bimwin dalam kondisi belum tuntasnya kemiskinan ekstrem dan berbagai problem sistemik lainnya, sungguh tidak tepat. Justru akan mendistorsi peran utama negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam membangun dan mengokohkan ketahan keluarga.

Kapitalisme Penyebab Rapuhnya Ketahanan Keluarga

Kemiskinan ekstrem di Indonesia sungguh menjadi sebuah ironi. Mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam berlimpah serta keragaman hayati dan sumber pangan yang luar biasa. Jika semua itu dikelola dengan amanah, benar, dan serius oleh negara, memanfaatkannya secara optimal untuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya, disertai dengan berjalannya mekanisme distribusi kekayaan dan bahan pangan kebutuhan rakyat, maka penyelesaian problem stunting dan kemiskinan akan jauh lebih mudah. Dan untuk itu semua membutuhkan peran nyata negara sebagai pelindung (junnah) bagi rakyatnya, perkara yang mustahil terwujud dalam sistem kapitalisme sekuler liberal.

Sayangnya, bangsa ini justru mengadopsi sistem kapitalisme sekuler tersebut, dan menjadikannya sebagai asas dalam pengelolaan kehidupan bernegaranya. Dan nyatanya, dunia kini tengah dikuasai oleh sistem kapitalisme global yang sekuler ini. Sistem ekonomi kapitalisme, dengan mekanisme pasar bebasnya, telah melegalkan hukum rimba dalam masyarakatnya. Jurang pemisah antara kaya dan miskin demikian dalam. Yang kuat akan makin kaya, yang lemah makin miskin dan terpinggirkan. Artinya, kapitalismelah yang telah menciptakan kemiskinan ekstrem dan sistemik di masyarakat.

Kapitalisme meniscayakan negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam milik rakyatnya secara zalim pada pihak swasta bahkan asing. Negara akan tega melakukan hal itu atas nama investasi, tanpa memandang bahwa hal tersebut dapat memiskinkan rakyatnya, merugikan negara dan dilarang oleh agama. Karenanya, mustahil masalah kemiskinan bisa selesai selama negara masih mengadopsi sistem kapitalisme sekuler. Sehingga problem stunting dan ketahanan keluarga pun sulit diatasi. Dengan kata lain, sistem hidup kapitalisme sekuler itulah penyebab mendasar dari rapuhnya ketahanan keluarga dan seluruh problem yang melingkupinya.

Islam Kaffah Menguatkan Ketahanan Keluarga

Sesungguhnya, ketahanan keluarga adalah cerminan sebuah peradaban. Karena ketahanan keluarga adalah buah dari penerapan sistem hidup dalam masyarakat dan negara. Maka untuk membangun ketahanan keluarga, tidak cukup dengan sebatas imbauan, kampanye perubahan perilaku, jargon tentang kemudahan akses makanan bergizi dan kecukupan nutrisi bagi semua, atau training-training singkat semisal bimbingan perkawinan (bimwin) yang digagas oleh Kemenag RI. Membangun ketahanan keluarga yang kuat dan tangguh harus dibingkai dengan upaya membangun sistem hidup masyarakat yang didasarkan pada asas akidah Islam.

Adapun masyarakat Islam, hanya akan terwujud jika tegak di atas pilar-pilar pengokohnya, yaitu ketakwaan individu rakyat, kontrol masyarakat, dan penerapan syariat oleh negara. Pertama, adanya ketakwaan individu dapat menjadi self control bagi setiap rakyat. Individu yang paham Islam kaffah akan selalu menjadikan syariat Islam sebagai solusi bagi problem hidupnya. Sementara di keluarga, individu bertakwa tersebut akan menyempurnakan penunaian hak dan kewajiban masing-masing yang telah mereka pahami dari syariat Islam. Yakni syariat yang terkait dengan kewajiban suami, istri, anak, dan orangtua. Termasuk misalnya kewajiban orang tua dalam mengasuh anak-anaknya serta mencukupi kebutuhan anak akan makanan bergizi dan nutrisi terbaik, demi men-support optimalisasi tumbuh kembang anak. Orang tua juga akan bersemangat mencari tahu berbagai informasi penting terkait tumbuh kembang anak, dan hal-hal penting lainnya bagi kokohnya ketahanan keluarga mereka. Semua ini mereka lakukan karena dorongan takwa, sehingga siap taat pada perintah Allah SWT dalam seluruh tanggung jawabnya itu. Walhasil, ketahanan keluarga akan dapat terwujud, karena dengan ketakwaannya, mereka akan mampu menyelesaikan seluruh problem hidupnya dengan Islam.

Kedua, aktifitas amar makruf nahi munkar dapat menjadi social control dalam masyarakat Islam. Sikap aware dan peka masyarakat terhadap berbagai masalah yang terjadi, tentu saja lahir dari sikap takwa yang mengharuskan mereka taat pada tuntunan syariat. Menghidupkan amal dakwah demi memastikan kehidupan masyarakat sesuai dengan syariat. Dengan begitu, setiap anggota masyarakat selalu berada pada suasana takwa dan taat, jauh dari kehendak untuk bermaksiat pada Allah. Segala problem masyarakat segera terdeteksi untuk diselesaikan secepat mungkin sesuai syariat, termasuk masalah stunting atau problem lainnya yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka ketahanan keluarga pun dapat terwujud, karena dinamisnya kontrol sosial masyarakat Islam akan menjadi penjaga keluarga dari pengabaian tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, dan melindungi mereka dari ketergelincirannya pada maksiat.

Ketiga, penerapan syariat Islam oleh negara akan mengokohkan ketakwaan, dan menjadi jaminan terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh rakyat. Negara benar-benar hadir menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Seluruh kebutuhan pokok individu dan kebutuhan pokok kolektif rakyat akan dijamin pemenuhannya oleh negara sesuai tuntunan syariat. Sementara penerapan sistem ekonomi Islam secara total, baitul maal (kas negara) akan mendapatkan pemasukan yang sangat memadai untuk menjalankan tugasnya sebagai raa’in dan junnah tersebut. Sehingga kemiskinan ekstrem pun bisa segera dituntaskan. Dan masyarakat pun dapat meraih kesejahteraan, kebahagiaan dan keberkahan hidup yang sempurna.

Dalam masyarakat Islam seperti itulah, ketahanan keluarga akan benar-benar terwujud. Ketahanan keluarga yang kokoh dan tangguh, seperti yang telah terbukti eksis selama belasan abad lamanya, dalam kehidupan peradaban Islam dalam naungan Khilafah. Maka membangun ketahanan keluarga harus dibingkai oleh upaya menghadirkan kembali kehidupan masyarakat Islam yang menerapkan seluruh syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan keluarga, masyarakat dan negara. Untuk itu, harus ada aktivitas dakwah politik ideologis yang diemban oleh sebuah jamaah dakwah Islam secara istikamah dan terarah, untuk menghadirkan kembali kehidupan masyarakat Islam kaffah dalam naungan Khilafah, demi terwujudnya ketahanan keluarga yang tangguh. [SM/Ln].