Penulis: Kholishoh Dzikri
Suaramubalighah.com, Opini – Lanjut Usia (Lansia) adalah fase kehidupan manusia. Wajar jika manusia akan tiba pada usia tua, yakni masa ada perubahan terhadap aspek biologis, mental, dan psikisnya. Tahapan akhir dari usia manusia ini disebut sebagai lansia.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, lansia adalah setiap orang yang telah berusia 60 tahun (ke atas), baik masih produktif (masih bekerja) maupun tidak. Hal ini dipertegas dalam UU 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menjelaskan bahwa yang disebut lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita.
Pada masa ini, manusia mengalami penurunan fungsi organ tubuh karena sel tubuh mengalami penuaan. Sel menjadi makin besar dan tua, tetapi kehilangan kemampuan pembelahan dan perkembangbiakan secara normal. Akibatnya, kemampuan sel menurun sehingga menimbulkan berbagai perubahan fisik dan meningkatnya risiko terkena gangguan kesehatan.
Dengan kondisi fisik yang mulai melemah, tidak bisa dimungkiri jika produktivitas kerja lansia pun mulai menurun. Meski masih ada lansia yang masih mampu bekerja atau menghasilkan barang dan jasa, tetapi secara umum, lansia akan menjadi tanggungan orang lain karena sudah tidak mandiri.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik 2021, penduduk lansia mencapai 29,3 juta atau setara 10,82% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 273,87 juta jiwa pada akhir 2021. Jika dilihat dari status ekonomi, sebanyak 43,29% penduduk lansia berasal dari rumah tangga dengan status ekonomi termiskin, 37,4% dari rumah tangga miskin, dan hanya 19,31% dari rumah tangga menengah atas.
Penduduk lansia ini dinilai akan menjadi beban bagi keluarga, terlebih mayoritas lansia dari keluarga miskin, dan juga akan menjadi beban bagi negara ketika tidak mandiri dan produktif. Atas dasar ini, ada upaya serius dari berbagai pihak untuk mewujudkan lansia yang produktif sehingga bisa mandiri dan berkontribusi dalam pembangunan.
Bonus Demografi Kedua?
Sejak 2015, Indonesia telah memasuki bonus demografi pertama, yakni jumlah angkatan kerja usia produktif lebih banyak dari lansia dan anak-anak. Bonus demografi pertama ini diprediksi akan berakhir pada 2035. Di sisi lain, sejak 2021, Indonesia telah memasuki struktur penduduk tua atau yang dikenal sebagai “ageing population”, yakni populasi penduduk tua mengalami peningkatan secara progresif.
Data BPS menunjukkan bahwa proporsi dan jumlah lansia di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat dari hanya 4,5% (1971) menjadi 10,48% (2022). Angka tersebut diproyeksikan akan terus meningkat hingga mencapai kurang lebih 20% pada 2045. Angka ini menggambarkan bahwa pada 2045, Indonesia akan “kebanjiran” lansia.
Fenomena ageing population akan menjadi bonus demografi kedua (silver economy) apabila kelompok penduduk lansia masih produktif, mandiri, tidak bergantung pada kelompok usia muda, dan memberikan sumbangsih bagi perekonomian negara.
Dalam silver economy, sistem produksi, distribusi, serta konsumsi barang dan jasa akan digerakkan dengan memanfaatkan kemampuan dan potensi penduduk lansia. Oleh karena itu, berbagai program dan strategi responsif harus disiapkan sedini mungkin agar jumlah penduduk lansia menjadi “bonus demografi kedua” agar penuaan penduduk tidak menjadi beban pada kemudian hari.
Sebagai bentuk aksi nyata untuk mewujudkan lansia yang berdaya, produktif, bahagia, dan sejahtera, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meluncurkan Program Sekolah Lansia Tangguh (Selantang). Lansia tangguh sendiri didefinisikan sebagai lansia yang SMART (sehat, mandiri, aktif, produktif, dan bermanfaat) melalui penerapan tujuh dimensi, yaitu spiritual, intelektual, fisik, emosional, sosial kemasyarakatan, profesional vokasional, dan lingkungan. (Sumber: Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan, 2021). Program ini telah direalisasikan di hampir semua kabupaten/kota dengan berbagai program, di antaranya membekali lansia untuk bertani, berwirausaha, senam, menari, menjahit, merajut, dan program produktif lainnya.
Selain Program Selantang, di beberapa daerah juga telah terlaksana pemberdayaan ekonomi lansia agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya tanpa bergantung pada anggota keluarga. Dalam program Bina Keluarga Lansia, para lansia mendapatkan bantuan modal dan binaan untuk usaha mandiri, seperti pertanian, perikanan, anyaman mendong, anyaman bambu, pembuatan tempe, pembuatan kasur dari kapas, aneka makanan, minuman, kerajinan, dan lain-lain.
Untuk mendapatkan bonus demografi kedua, lansia harus dipersiapkan agar mandiri dan tetap produktif untuk menghasilkan sesuatu sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan negara. Sebaliknya, lansia diharapkan mampu berkontribusi dalam pembangunan ekonomi negara.
Kapitalisme Mengeksploitasi Lansia
Lanjut usia adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia yang tidak dapat terhindarkan. Dalam fase ini, tidak bisa dimungkiri fungsi tubuh akan berkurang sehingga menyebabkan tubuh rentan terkena penyakit. Risiko penyakit degeratif pada lansia pun meningkat, seperti hipertensi, artritis sendi, diabetes, jantung, kanker, strok, hingga penurunan fungsi penglihatan. Sementara itu, layanan kesehatan tidak mudah dijangkau oleh lansia yang mayoritas dari kalangan keluarga tidak mampu.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak lansia dari kalangan tidak mampu masih harus bekerja untuk menopang kehidupannya. Tidak sedikit pula dari mereka yang ikut menopang kehidupan ekonomi anak-anaknya yang telah dewasa karena kemiskinannya, bahkan yang telah berumah tangga.
Salah satu kesejahteraan lansia juga ditentukan oleh tempat tinggal yang dihuni. Namun kenyataannya, hingga saat ini, ada 35,72% lansia tidak tinggal di hunian yang memadai (Sumber: Data Susenas 2022)
Perhatian pemerintah terhadap kelompok lansia ini juga sangat kurang. Selain layanan kesehatan yang tidak mudah didapatkan, bantuan sosial bagi lansia miskin juga sangat minim, hanya Rp600.000 tiap bulan. Itu pun akan didapatkan oleh lansia yang tinggal bersama keluarga miskin penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Apabila keluarga miskin yang lansia tinggal bersamanya tidak mendapatkan bantuan program PKH, lansia tersebut juga tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.
Jumlah lansia yang cukup besar dengan kondisi mayoritas miskin menjadi beban bagi pemerintah. Namun, di sisi lain, pemerintah berharap jumlah lansia yang cukup besar tersebut bisa berkontribusi dalam peningkatan perekonomian negara sebagai bonus demografi kedua. Oleh karenanya, berbagai upaya telah dilakukan dengan harapan lansia bisa mandiri dan produktif sehingga tidak lagi menjadi beban, tetapi sebaliknya, bisa berkontribusi untuk meningkatkan perekonomian negara.
Dalam sistem sekuler kapitalisme yang diadopsi pemerintah saat ini, semua kalangan rakyat, termasuk lansia, harus berkontribusi dalam pembangunan. Rakyat harus berjuang sendiri untuk bisa hidup, bahkan dituntut menjadi mesin penggerak ekonomi di dalam sistem ini. Peran negara yang seharusnya mengatur urusan rakyat, menjadi sangat minimalis dan nyaris hilang karena fungsi negara pada sistem ini hanya sebagai regulator, bukan pelayan rakyat (raa’in).
Seharusnya, pemerintah menjadi pelayan (raa’in) bagi rakyatnya agar terpenuhi semua kebutuhannya, termasuk terhadap para lansia. Masa lansia juga mestinya mendapat perhatian lebih karena fisik mereka yang sudah melemah serta kesejahterannya terjamin karena tubuh rentanya yang tidak mampu lagi mencari nafkah.
Oleh karenanya, pemerintah menuntut lansia untuk mandiri dan produktif, tetapi di sisi lain minimalis, bahkan nyaris berlepas tangan dalam pengurusan dan pelayanan lansia. Ini sesungguhnya merupakan bentuk eksploitasi dan kezaliman terhadap lansia.
Lansia Sejahtera dalam Islam
Islam memandang lansia dengan pandangan yang mulia. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya, termasuk dalam pengagungan terhadap Allah Taala adalah memuliakan orang-orang lanjut usia yang muslim.” (HR Abu Dawud No. 4843).
Bagi seorang anak, orang tua yang lanjut usia adalah tanggung jawabnya untuk mengurus dan menafkahi mereka. Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak ….” (QS An-Nisâ’: 36)
Di antara perbuatan baik seorang anak terhadap orang tuanya adalah memberinya nafkah secara makruf ketika orang tuanya tidak memiliki nafkah. Jabir bin Abdullah berkata, “Seseorang lelaki berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan anak, sedangkan ayahku juga membutuhkan hartaku.’ Maka beliau saw. bersabda, ‘Engkau dan hartamu milik ayahmu.’” (HR Ibnu Majah).
Ketika anak laki-lakinya tidak memiliki kemampuan menafkahi orang tuanya karena ia fakir atau miskin, kewajiban nafkah itu akan beralih ke negara atau khalifah.
Persoalan lansia tidak sebatas tanggung jawab anak terhadap orang tuanya yang sudah lanjut usia, melainkan juga tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (imam/khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Alhasil, meskipun lansia sudah tidak produktif, negara tetap wajib mengurusinya. Layanan kesehatan menjadi kebutuhan yang wajib diberikan negara kepada lansia karena penurunan fungsi tubuh menjadikan lansia rentan terkena penyakit. Di samping itu, negara juga wajib memastikan lansia terpenuhi akan kebutuhan pokoknya secara layak, baik pangan, sandang, dan papan.
Bahkan, negara harus menyediakan panti jompo dengan para perawatnya bagi lansia yang tidak ada keluarganya. Negara juga perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi lansia agar mereka bisa hidup bahagia dan sejahtera sampai akhir hayatnya.
Mekanisme Islam dalam mengurus lansia adalah dengan memastikan lansia terpenuhi akan segala kebutuhannya tanpa harus berkontribusi kepada negara (Khilafah). Pada masa tuanya, lansia akan difokuskan untuk memperbanyak beribadah kepada Allah Ta’ala. Alhasil, ketika ajal menjemput, ia akan menghadap Allah dengan husnul khatimah dan mendapatkan tempat surga terbaik kelak di akhirat, Insyaallah. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: Muslimahnews.net
[SM/Ln]