Suaramubalighah.com, Tanya Jawab – Tanya: Bagaimana pandangan Islam terkait pandangan bahwa seorang ibu bisa menjadi wali nikah yang menikahkan anak perempuannya, dengan alasan ibu itu telah menjadi single parent, berjuang sendirian tanpa peran sedikit pun dari seorang ayah dalam membesarkan, mendidik, dan menafkahi anaknya? Lalu dinilai sangat tidak adil jika seorang ayah yang telah menelantarkan anaknya, tiba-tiba datang sebagai wali nikah bagi anak perempuannya. Mohon penjelasannya. (Nurani Pasaribu-Lampung)
Jawab:
Pernikahan dalam Islam merupakan ibadah yang bertujuan untuk melangsungkan dan menjaga keturunan, sebagai salah satu tujuan dari maqashid al-syariah.
Sebagai ibadah, pernikahan harus terlaksana sesuai perintah Allah SWT atas petunjuk Rasul-Nya ﷺ, yakni terpenuhinya rukun dan syarat nikah. Salah satu rukun nikah yaitu adanya wali nikah, selain empat rukun lainnya, yakni ada calon mempelai laki-laki, ada calon mempelai perempuan, ada dua saksi laki-laki, serta ada ijab dan qabul.
Secara etimologi, wali adalah orang yang memiliki kekuasaan (shâhib al-sultah), sedangkan dalam istilah fiqh sendiri, wali adalah orang yang memiliki kekuasaan untuk melakukan tasharuf tanpa tergantung kepada orang lain. Menurut ‘Abd al-Rahman Al-Jazairy mengungkapkan makna wali dalam Al-Fiqh ‘ala Mazâhib Al-Arba’ah sebagai berikut:
الولى فى النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه
“Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya dia (wali)”.
Di kalangan para ulama fiqh, memang terjadi perbedaan pendapat tentang kedudukan wali dalam pernikahan. Jumhur ulama berpendapat bahwa wali merupakan rukun nikah yang harus dipenuhi, sehingga pernikahan tanpa wali dianggap batil (tidak sah). Syekh Ahmad Ruslan dalam kitab Zubad berkata, “Akad nikah tidak sah kecuali adanya wali nikah, dan dua saksi.”
Dalil bahwa pernikahan tanpa adanya wali nikah tidak sah adalah hadis Nabi ﷺ:
وَعَنْ أَبي بُرْدةَ بنِ أبي موسى عَنْ أَبيهِ رضيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قالَ: قالَ رسولُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: “لا نكاح إلا بوَليَ”
Dari Abiy Burdah bin Abiy Musa dari Bapaknya radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali.” (HR Abu Dâwud, At-Tirmidziy, Ibnu Mâjah, hadis ini shahih menurut al-Suyuthiy)
Jumhur ulama memandang la nafiy di dalam hadîs ini menunjukkan nafiy al-shihah. Artinya dengan tidak adanya wali di dalam pernikahan mengakibatkan tidak sahnya pernikahan tersebut. Di antara para sahabat dan ulama mutaqaddimin yang berpendapat seperti ini adalah ‘Ali, ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abiy Hurairah, Hasan Al-Bashriy, Ibn Musyayyab, Syubrumah, Ahmad, dan Syafi’i. Mereka mengatakan tidak sah aqad nikah tanpa adanya wali
(لا يصحالعقد بدو ن ولي)
Bahkan Ibnu Mundzir mengungkapkan bahwa ia tidak mengetahui seorang sahabat pun yang pendapatnya berbeda dengan pendapat ini. Sedangkan sikap Aisyah yang mengharuskan adanya wali di dalam pernikahan tergambar di dalam riwayat ‘Abd Al-Rahmân Ibn Qasim dari bapaknya, bahwa salah seorang perempuan dari keluarga ‘Aisyah pernah dipinang lewat beliau, maka ketika beliau telah menerima pinangan tersebut dan akan dilakukan akad nikah, maka beliau menyuruh keluarga dari perempuan tersebut untuk menikahkannya dan mengatakan bahwa wanita tidak berhak untuk melaksanakan akad nikah. Pendapat Jumhur ulama ini juga dipegangi oleh Al-Suyuthiy. Sedangkan Abu Hanifah menilai bahway la nafiy dalam hadîs ini bermakna nafi al-kamal. Baginya dengan tidak adanya wali, maka nikah tidaklah sempurna, namun tetap sah.
Wali nikah haruslah seorang laki-laki, tidak boleh perempuan. Dikutip dari Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb:
ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط: الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة
“Wali dan dua saksi membutuhkan kepada enam persyaratan: Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil”.
Dalil bahwa perempuan tidak boleh menjadi wali nikah merujuk pada hadis Nabi ﷺ:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: “لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا”
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan, dan perempuan tidak boleh menikahkan dirinya.” (HR Ibnu Mâjah dan Ad-Daruquthni, dengan sanad yang tsiqah menurut al-Shan’aniy)
Hadîs ini menjadi dalil bahwa seorang perempuan tidak dapat menjadi wali pernikahan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi perempuan lain, ijab maupun qabul, diberi izin atau tidak diberi izin oleh wali. Ini adalah pendapat dari jumhur ulama. Sedangkan di dalam riwayat At-Thabrâniy terdapat penambahan lafaz yaitu: التي تزوجها نفسها هي الزانية (perempuan yang menikahkan dirinya adalah pezina). Menurut Al-Hafizh lafaz ini merupakan penambahan dari perkataan Abiy Hurairah.
Dari pemaparan di atas, bisa dipahami bahwa wali dalam pernikahan haruslah seorang laki-laki. Dengan persyaratan ini, maka pernikahan dianggap batil (tidak sah) apabila wali nikah adalah perempuan atau seorang waria yang berkelamin ganda.
Mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, Imam Abu Suja’ dalam Matan Al-Ghâyah wa Taqrîb menjelaskannya sebagai berikut:
وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم
“Wali paling utama ialah ayah, kemudian kakek (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu (kandung), kemudian saudara lelaki seayah, kemudian anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), kemudian anak lelaki saudara lelaki seayah, kemudian paman dari pihak ayah, kemudian anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.”
Dari semua penjelasan di atas, tentunya menyalahi pendapat jumhur ulama terkait pandangan mubadalah bahwa seorang ibu bisa menjadi wali nikah yang menikahkan anak perempuannya, dengan alasan ibu itu telah menjadi single parent, berjuang sendirian tanpa peran sedikit pun seorang ayah dalam membesarkan, mendidik, dan menafkahi anaknya. Lalu dinilai sangat tidak adil jika seorang ayah yang telah menelantarkan anaknya, tiba-tiba datang sebagai wali nikah bagi anak perempuannya. Pandangan mereka berdasarkan pada pendapat Imam Abu Hanifah dan beberapa hadis yang mereka tafsirkan sesuai dengan kehendaknya. Dengan pandangannya ini, mubadalah mengusulkan untuk merevisi UU perkawinan No. 1 tahun 1974 agar perempuan bisa menjadi wali nikah karena UU tersebut dinilai bias gender karena mewajibkan wali nikah haruslah seorang laki-laki.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. [SM/Ln]