Oleh: Hj. Padliyati Siregar, ST
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Peradaban kapitalisme demokrasi yang diterapkan saat ini, telah banyak menciptakan persoalan yang multidimensi, politik, ekonomi, sosial hingga dekadensi moral. Negara pun tak mampu lagi menopang arus kerusakan masyarakat terutama masalah keluarga dan generasi. Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (KPRK MUI) berupaya untuk menyelesaikan persoalan ini dengan menggelar Seminar Ketahanan Keluarga di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat, Rabu (8-11-2023).
Dalam kegiatan yang bertajuk “Ketahanan Keluarga dalam Membangun Peradaban” menerangkan bahwa peran keluarga dapat membentuk individu yang memiliki karakter kuat dan sehat. Keluarga juga dapat membentuk karakter individu yang salih dan salihah, karena keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat dan bangsa. Selama sistem kapitalisme demokrasi yang sekuler menjadi landasannya, mampukah keluarga mewujudkan peradaban yang mulia dan cemerlang?
Program Penguatan Ketahanan Keluarga Bukan Solusi
Melihat persoalan umat yang begitu banyak, kita harus mengurai dari akar masalahnya. Ketidakmampuan negara sekuler kapitalis mengatur masyarakat disebabkan karena basisnya bukan pelayanan rakyat, tetapi untung rugi. Tanpa landasan keimanan dan tatanan syariat Islam sangat sulit jika persoalan yang multidimensi dibebankan penyelesaian pada keluarga.
Program penguatan ketahanan keluarga tidak akan bisa menjadi solusi jika tidak dibarengi dengan perbaikan sistem politik, ekonomi , sosial budaya , dan sebagainya. Ketahanan keluarga hanya salah satu faktor dari pembangunan peradaban. Maka dibutuhkan politik yang bersih serta ekonomi yang menyejahterakan.
Pengelolaan model sistem kapitalisme yang mengeksploitasi perempuan, seperti melibatkan perempuan untuk mendapatkan penghasilan, justru akan memunculkan banyak persoalan baru. Tatkala para ibu sibuk menambah penghasilan keluarga, anak-anak terabaikan. Fungsi utama dan pertama perempuan sebagai ummu wa rabbatul bait tidak berjalan secara optimal. Terbukti, fakta mengerikan anak-anak pada hari-hari belakangan (narkoba, free seks, kekerasan pada generasi seperti tawuran, begal anak, klithih, dan sebagainya) disebabkan kurang perhatian dari orang tuanya.
Maraknya anak yang terjebak perundungan hingga depresi, bahkan sebagian lagi tumbuh sebagai para pelaku perundungan yang tidak lagi punya nurani, buah dari pendidikan yang sekuler. Data survei Reckitt Benckiser Indonesia pada 2019 menyebutkan, 33% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seksual. (Kumparan, 18-11-2021). Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyatakan, anak 11—14 tahun yang sudah melakukan hubungan seksual mencapai 6%. Sebanyak 74% anak laki-laki dan 59% anak perempuan pada usia 15—19 tahun mengaku sudah pernah melakukannya. (Antaranews, 07-1-2022).
Apabila ayah dan ibu terbebani kerja sekaligus pengasuhan, pendidikan, dan pengawasan anak sebagaimana ide para pejuang gender, jelas akan menciptakan tekanan tersendiri bagi masing-masing mereka dan memecah konsentrasi dalam bekerja. Apalagi ketika orang tua sendiri jauh dari pemahaman agama. Semua ini membuktikan bahwa ketahanan keluarga tanpa dukungan sistem itu, sangat rapuh.
Solusi atas masalah ini tak bisa diserahkan hanya pada keluarga, sebab keluarga sudah memiliki beban yang sangat berat. Butuh solusi integral-sistemis yaitu dimulai dari mengubah asas kehidupan kita yang demikian sekuler-liberal, ketika agama dimaknai hanya sebagai aktivitas ritual. Manusia berpikir dan bertindak, melibatkan otak dan informasi yang diterimanya, maka akidah Islam haruslah dijadikan sebagai asas berpikir dan bertindak.
Selanjutnya, keluarga dikembalikan posisinya sesuai tatanan syariat Islam, bahwa keluarga adalah kepemimpinan terkecil. Ayah bertanggung jawab atas amanah sebagai pemimpin (qawam), ibu bertanggung jawab atas posisi sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummu wa robbatul bait), dan anak bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan juga wajib taat pada orang tua (selama tidak maksiat).
Ironisnya, sistem Islam yang demikian sempurna dalam mewujudkan ketahanan keluarga, justru ditolak oleh kalangan aktivis feminis. Mereka menolak RUU Ketahanan Keluarga dengan alasan negara turut campur dalam urusan keluarga yang menurut mereka bersifat privat. Untuk itu sebuah peradaban memang tidak bisa terukur hanya dengan menciptakan ketahanan keluarga, namun, yang lebih penting adalah bagaimana sebuah negara membangun peradaban manusia yang berkarakter baik, cerdas, dan berkepribadian mulia.
Maju dan mundurnya peradaban sebuah negara sejatinya bisa kita lihat dari ideologi apa yang mereka anut. Jika menganut ideologi kapitalisme sekuler maka bisa dipastikan kemajuannya hanyalah semu karena gagal membangun peradaban yang menghasilkan masyarakat yang berbudi luhur dan bermoral tinggi.
Negara Maju dengan Peradaban Islam
Peradaban (al-hadharah) secara umum dimengerti sebagai metode kehidupan tertentu (thariqah mu’ayyanah fi al ‘aisy) yaitu suatu cara atau gaya hidup yang khas dalam kehidupan bermasyarakat (Al-Qashash, 1995). Jika ditinjau lebih mendalam, cara hidup yang khas ini sebenarnya lahir dari pandangan hidup (mafahim ‘an al-hayah) yang khas, sebab cara hidup manusia tergantung sepenuhnya kepada pandangan hidup yang dianutnya. Karena itu, secara lebih spesifik, peradaban dapat didefinisikan pula sebagai sekumpulan pandangan tentang kehidupan (majmu’ al mafahim ‘an al-hayah). (An-Nabhani, 1953).
Pandangan hidup inilah yang kemudian diwujudkan oleh manusia dalam kehidupannya, yakni dalam berbagai interaksi yang dilakukannya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya. Dari sini dapat dipahami bahwa pandangan hidup yang khas dengan sendirinya akan melahirkan peradaban yang khas pula, yang berbeda dengan peradaban lainnya. Peradaban barat misalnya, akan berbeda dengan peradaban Islam dan akan berbeda pula dengan peradaban sosialisme.
Syekh Taqiyyuddin an-Nabhani (1953) menyebutkan peradaban Islam yang khas ini dalam Nizham Al-Islam meringkas pokok-pokoknya dengan menguraikan tiga unsur utamanya, yaitu (1) akidah (pemikiran dasar); (2) tolok ukur perbuatan (miqyas al a’mal), yaitu perintah dan larangan Allah SWT dengan kata lain gambaran kehidupan dalam peradaban Islam adalah halal dan haram; dan (3) makna kebahagiaan (ma’na as sa’adah) adalah mendapatkan rida Allah SWT.
Dengan kata lain, kebahagiaan adalah ketenangan yang sifatnya abadi, yang tidak bisa diraih kecuali dengan rida-Nya. Nah, tiga perkara itulah yang merupakan metode kehidupan dalam Islam, yang menjadikan kaum muslimin merasakan kebahagiaan di dalamnya. Mereka selalu berusaha untuk meraihnya dan berjalan di atas manhajnya. Tentu saja, setiap keluarga muslim sangat menginginkan kehidupan seperti itu, kehidupan yang diridai oleh Allah SWT, karena keluarga muslim ini selalu berupaya hidup dengan metode yang telah digariskan oleh Islam. Keluarga-keluarga ini adalah keluarga yang mencintai peradaban Islam
Maka jika ingin menjadi negara maju dan berperadaban mulia, maka negeri ini haruslah hanya berharap kepada Islam. Karena Islamlah satu-satunya ideologi yang mampu mengakomodir setiap kebutuhan dan harapan bagi umat manusia, yaitu mewujudkan nilai keadilan, kesejahteraan, keharmonisan, kecerdasan, dan ketinggian moral. Belum pernah ada peradaban manapun yang menyamai kegemilangan dan kesuksesan Islam sebagai peradaban yang berkuasa selama 13 abad lamanya.
Mewujudkan Ketahanan Keluarga untuk peradaban mulia
Memang bukan hal mudah bagi kita untuk mewujudkan keluarga yang mencintai peradaban Islam, bahkan merindukan untuk kembalinya peradaban Islam. Kita pun hidup di negeri sekuler kapitalistik yang sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan peradaban Islam yang mulia. Terlebih, banyak pihak cenderung menghalangi kembalinya peradaban Islam yang mulia.
Namun, ada beberapa upaya yang bisa kita lakukan, di antaranya:
1. Meyakini dan memahami bahwa Allah adalah Al-Khaliq Al-Mudabbir. Artinya, mengenal Allah SWT bukan sekadar bahwa Allah itu ada, tetapi sekaligus meyakini bahwa Allah SWT sebagai pencipta manusia (Al-Khaliq) beserta dengan nama dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Selain itu, memahami bahwa hanya Allahlah yang berhak membuat aturan untuk manusia, sedangkan manusia berkewajiban untuk taat dan melaksanakan semua aturan-Nya. Karenanya, setiap anggota keluarga tidak boleh mengambil hukum-hukum yang bukan berasal dari-Nya.
2. Setiap anggota keluarga memahami tujuan hidupnya, yang tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, sehingga Allah rida kepada mereka (QS Adz-Adzariyat: 56; QS Al-Bayyinah: 8) dan di akhirat mereka mendapat kebahagiaan sejati, yaitu masuk surga bersama-sama (lihat QS Az-Zuhruf: 70—71)
3. Setiap anggota keluarga mengenal hukum-hukum Allah, memahaminya, dan mengamalkannya, baik yang termaktub dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Di sinilah pentingnya setiap anggota keluarga membina diri dengan tsaqafah Islam, sehingga mereka bisa menjadikan halal dan haram sebagai standar kehidupan mereka.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami atau ayah memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, sehingga seluruh anggota keluarga terjaga dari api neraka (QS At-Tahrim: 6). Demikian juga seorang istri dan ibu, berperan sebagai pendamping suami dan juga menjadi pengasuh dan pendidik utama bagi anak-anaknya.
4. Setiap anggota keluarga juga penting untuk memahami wajibnya penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan sebagai solusi bagi seluruh permasalahan manusia (QS An-Nahl: 89). Harus dipahami juga bahwa penerapan syariat Islam secara kaffah mustahil diwujudkan kecuali dalam wadah Khilafah. Oleh karena itu, memperjuangkan tegaknya Khilafah menjadi bagian dari bentuk kepedulian kita terhadap permasalahan yang menimpa umat Islam.
5. Saling mendukung sebagai sebuah tim dakwah terkecil dan saling memberi nasihat yang satu dengan yang lain. Memadukan antara tugas dalam keluarga dengan dakwah akan terasa berat jika tidak saling mendukung bahkan membantu. Karenanya, setiap anggota keluarga harus terus saling menguatkan yang satu dengan yang lainnya agar aktivitas dakwah berjalan dengan baik. Di samping itu, saling meringankan pekerjaan di antara anggota keluarga, sehingga ketika harus keluar rumah untuk berdakwah, pengelolaan rumah tangga atau keluarga tidak ada yang terlalaikan.
Allah SWT berfirman, “Saling bantulah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan dan jangan saling tolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (QS Al-Maidah [5]: 2)
6. Senantiasa menambah wawasan dan pemahaman tentang bagaimana sosok negara Islam dan masyarakat Islam pada masa Rasulullah saw. dan masa Kekhilafahan Islam, dengan mengikuti kajian-kajian atau membaca buku-buku dan kitab-kitab tepercaya, sehingga pemahaman kita dan anggota keluarga tentang peradaban Islam yang mulia makin utuh dan sempurna, tentang penerapan Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam, kehidupan bermasyarakatnya, sosok pemimpinnya, termasuk aktivitas jihad yang dilakukan oleh kaum muslimin pada masa Islam berjaya.
Ini semua tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga akan menambah keimanan dan kesungguhan untuk menerapkan Islam secara kaffah. Selanjutnya makin cinta akan peradaban Islam dan muncul kerinduan akan kembali tegaknya peradaban Islam di muka bumi ini. Hingga akhirnya semangat dan perjuangan untuk kembali berada dalam peradaban Islam yang mulia menjadi hal yang niscaya.
Demikianlah beberapa upaya dan langkah yang bisa dilakukan para keluarga muslim dalam mewujudkan ketahanan keluarga yang cinta peradaban Islam. Semoga dengan upaya yang maksimal dari keluarga muslim yang selalu berada dalam barisan pejuang dakwah Islam, bisa menyegerakan kembali datangnya peradaban Islam yang mulia di muka bumi ini. [SM/Ln]