Moderasi Beragama Mengalihkan Kiblat Pesantren ke Negara Sekuler

  • Opini
Oleh: Mahganipatra

Suaramubalighah.com, Opini – Dalam rangka penguatan dan pengembangan wawasan dalam moderasi beragama, Kementerian Agama (Kemenag) RI telah membuka program beasiswa nongelar bagi sivitas pesantren ke Jerman selama dua pekan.  Program  ini ditujukan bagi para pengasuh pondok pesantren seperti kiai dan ibu nyai dalam bentuk ‘Pelatihan dan Pengembangan Wawasan Internasional tentang Moderasi Beragama’. Kemudian di negara tersebut, secara khusus mereka akan belajar di Universitas Marburg dan Universitas Frankfurt am Main selama dua pekan.

Adapun tujuan diselenggarakan program beasiswa ini menurut Kemenag RI adalah untuk memperkuat sikap Islam moderat di kalangan para pengasuh pondok pesantren. Dengan harapan setelah mengikuti program ini, mereka akan menjadi bagian dari agen moderasi beragama bagi kalangan santri dan  masyarakat di sekitarnya. Sehingga akhirnya dengan kapasitas keilmuan dan pendidikan keagamaan yang mereka miliki secara mendalam, mereka akan mampu dan rida menjadi amplifyer bagi umat dalam menyampaikan dan mendidik umat dengan gagasan atau ide Islam moderat ala Barat. Dilansir dari nuonline.or.id, 14/11/2023.

Jadi sudah jelas bahwa program ini dilatarbelakangi oleh penguatan program ‘Moderasi Beragama’ yang digagas oleh pemerintah berdasarkan proyek Barat. Kemudian, agar seluruh program ini berhasil dan tercapai secara sempurna, maka Kemenag RI telah menetapkan empat indikator keberhasilan sebagai tolok ukurnya, yaitu: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan terhadap tradisi dan budaya lokal  yang akan mengakar kuat dalam pandangan dan sikap masyarakat Indonesia.

Waspada, Pengalihan Arah Kiblat Pesantren ke Negara Sekuler

Upaya Kemenag RI melalui program beasiswa dengan menetapkan Jerman sebagai negara tujuan pelatihan bagi para pengasuh pondok pesantren patut diwaspadai. Walaupun Jerman dianggap telah berhasil sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan oleh Kemenag RI karena 4 alasan.

Di antaranya  adalah:

Pertama, karena Jerman memiliki banyak universitas yang menawarkan studi agama dan menekankan relasi harmonis antar umat beragama yang sesuai dengan tujuan program moderasi beragama.

Kedua, universitas di Jerman memiliki pusat studi Islam dan Institute of Islamic Theology yang mencetak lulusan pengajar Islam di sekolah-sekolah di Jerman sehingga memiliki keahlian yang relevan.

Ketiga, Jerman memiliki komunitas agama yang beragam dan memungkinkan pemuka agama dari berbagai latar belakang untuk berdialog tentang isu-isu sosial keagamaan bersama.

Dan keempat, Jerman memiliki situs-situs sejarah keagamaan dan budaya menarik yang dapat menambah wawasan tentang keberagaman dan persatuan antar umat beragama dalam konteks global.

Namun jika kita telaah lebih mendalam, keberhasilan ini tidak dapat dijadikan acuan bagi sivitas pondok pesantren untuk mengambil Jerman sebagai negara tujuan dalam pelatihan maupun percontohan. Sebab secara fakta walaupun Jerman memiliki banyak universitas namun sampai hari ini belum ditemukan lembaga pendidikan setara dengan pondok-pondok pesantren.

Apalagi ketika menimbang perbedaan karaktetistik dan pola pendidikan universitas-universitas di Jerman dengan pola kehidupan santri di pondok pesantren. Di pondok pesantren pola kehidupan dan sistem pengajaran maupun pendidikannya bersifat khas. Dengan menjadikan akidah dan tsaqafah Islam sebagai rujukan dan dasar dalam sistem pendidikannya. Sementara sistem pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan di universitas-universitas di Jerman menggunakan dasar pendidikan berbasis pada sistem pendidikan sekuler yang memberikan ruang untuk berkembangnya sikap individu masyarakat yang hedonis dan materialistik.

Sebab layaknya negara-negara penganut sistem  kapitalisme-sekuler, maka Jerman telah mengadopsi nilai-nilai kebebasan dan sekularisme sebagai standarisasi pendidikan. Hingga akhirnya melahirkan masyarakat yang cenderung bersikap pragmatis dan menganut pola hidup berdasarkan kepentingan dan tujuan ideologi kapitalisme-sekuler. Salah satunya adalah terus berupaya dengan sungguh-sungguh dan serius untuk meredam pergolakan kebangkitan Islam demi mempertahankan hegemoninya di negeri-negeri muslim. 

Selain itu jika merujuk pada alasan serta pertimbangan, mengapa Jerman menetapkan pendidikan Islam masuk ke dalam kurikulum pendidikannya, salah satu alasannya adalah karena jumlah penduduk muslim di Jerman terus meningkat setiap saat. Baik anak-anak maupun kaum muda yang memeluk Islam pun sangat tinggi.  Sehingga untuk mengontrolnya, maka pemerintah Jerman membentuk program-program pendidikan Islam yang sesuai dengan kepentingan Jerman, yaitu menyelenggarakan dan memfasilitasi program  pendidikan yang bertujuan secara halus untuk mengendalikan keyakinan umat muslim.

Sehingga keyakinan yang diajarkan kepada populasi muslim akan berkembang lebih adaptif dan mampu berintergrasi secara penuh dengan sistem pemerintahan Jerman, dengan membingkai umat muslim dan kaum muda muslim Jerman untuk bersikap moderat ala Barat dalam memahami Islam. Itu berarti metode pengajaran dan pendidikan Islam yang berkembang di universitas-universitas Jerman adalah bentuk upaya Jerman dalam sekularisasi pendidikan agar sesuai dengan tujuan Barat secara umum. Yaitu membentuk  pribadi-pribadi muslim agar lebih mampu beradaptasi dan mengikuti  seluruh budaya dan kepentingan masyarakat Barat yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler. 

Maka, menjadikan Jerman sebagai negara tujuan dan rujukan untuk menjadi percontohan dan pelatihan bagi para pengasuh pondok pesantren, untuk diadopsi di negeri ini, akan sangat berbahaya. Karena telah mengalihkan orientasi pendidikan pada peradaban Barat, serta tidak memiliki visi yang jelas untuk menghasilkan sumber daya manusia yang akan membangun dan memimpin peradaban Islam.

Terutama jika memperhatikan karakteristik dan kebudayaan bangsa Jerman serta unsur-unsur yang menopang eksistensi dari peradaban kapitalisme-sekuler yang  bertentangan dengan peradaban Islam. Hal ini justru akan semakin menjauhkan pondok pesantren dari tujuan-tujuan pendidikan Islam yang hakiki.

Tujuan Hakiki Pendidikan Islam di Bawah Naungan Khilafah

Salah satu persoalan yang dihadapi sivitas pendidikan saat ini adalah kaum intelektual lebih terpesona terhadap peradaban kapitalis-sekuler Barat. Sehingga tidak segan untuk mengirimkan duta atau kaum terpelajar mereka untuk melakukan studi banding ke wilayah-wilayah yang dianggap memiliki potensi  bagi kemajuan pendidikan kaum muslim. Padahal sistem pendidikan sekuler  telah nyata menyebarkan virus yang menginfeksikan nilai-nilai kebebasan dan sekularisme ke dalam tubuh umat. Dengan konsekuensi yang dihadapi adalah kaum terpelajar yang melakukan studi banding, saat mereka kembali akan menjadi orang-orang yang terpisah dari umat dan sulit untuk memahami persoalan umat. Karena mereka telah kehilangan identitas dan pemikiran politik Islam.

Oleh karena itu, manipulasi sistem pendidikan yang dilakukan oleh peradaban Barat terhadap kurikulum pendidikan kaum muslim harus segera dihentikan.  Sudah saatnya kaum muslim menerapkan metode dan sistem pendidikan Islam demi mewujudkan perubahan dunia ke arah yng lebih baik. Dan hal ini hanya akan diraih ketika umat Islam kembali menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam institusi negara Khilafah Islamiah. Hanya dalam naungan Khilafah, satu-satunya negara yang akan menjadikan pengetahuan dapat memenuhi tujuan hakiki bagi umat manusia. Seperti hujan yang menguntungkan bumi ini dan segala sesuatu di dalamnya. Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ

“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bish-shawab. [SM/Ln]