Oleh: Qisthi Yetty
Suaramubalighah.com, Opini – Arah dari moderasi beragama kian samar. Semakin masif sosialisasi moderasi beragama, namun persoalan bangsa ini semakin ruwet. Konsep pendekatan moderasi beragama terhadap kearifan lokal diharapkan mampu menyelesaikan persoalan bangsa terutama persolan kekerasan dan antitoleransi. Mungkinkah?
Tenaga Ahli Menteri Agama, Mahmoed Syaltut menjelaskan bahwa saat ini narasi Moderasi Beragama (MB) sudah digencarkan di lingkungan Kementerian Agama, meski masih harus dilakukan secara massif lagi agar dipahami dengan baik oleh publik. Sosialisasi sangat penting untuk terus dilakukan karena ruang publik juga banyak diisi dengan pemberitaan terkait isu kekerasan dan antitoleransi.
“Ini menjadi tantangan kita bersama, agar konsep Moderasi Beragama menjadi topik utama setiap pemberitaan di ruang publik atau media sosial,” kata Mahmoed Syaltut saat menjadi pemateri pada Orientasi Pelopor Moderasi Beragama yang diselenggarakan Kanwil Kemenag Provinsi Maluku melalui Sub Bagian Organisasi Tata Laksana dan Kerukunan Umat Beragama (KUB). Orientasi ini berlangsung selama empat hari, 27 – 30 November 2023.
Syaltut melihat bahwa berkembangnya kemajemukan di Maluku sudah terbina dengan bagus dan itu tidak terlepas dari terbinanya kearifan lokal yang ada. “Kearifan lokal Pela Gandong harus lebih banyak mengisi ruang-ruang publik, untuk mencegah maraknya isu intoleransi dan radikalisme,” tandas Syaltut. (kemenag[dot]go[dot]id)
Pela Gandong merupakan salah satu hukum adat yang berkembang di masyarakat Maluku. Pela Gandong atau Pela dan Gandong tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat (suku) Ambon yang mendiami daerah Maluku Tengah. Sistem sosial ini lahir dari pluralitas dan keberagaman masyarakat Maluku Tengah yang dulu ditandai dengan perebutan lahan dan peperangan yang tiada berkesudahan. Pela Gandong muncul sebagai bentuk rekonsiliasi atas kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak-pihak yang berkonflik. Pela Gandong diikrarkan sebagai pernyataan atau ucapan gencatan senjata.
Hukum adat sendiri diakui di Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (2) yakni negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang ini.
Dari sini jelas, bahwa Pela Gandong merupakan kearifan lokal yang muncul dengan filosofi dan menjadi jawaban atas persoalan yang muncul di zamannya. Sementara terkait kekerasan akibat konflik perebutan lahan antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah seperti kasus Rempang Eco City, persoalan kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan lainnya, kearifan lokal (adat istiadat dan budaya) tidak dipakai bahkan diabaikan. Konflik tanah ulayat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Indonesia, adalah hasil dari berbagai faktor yang telah ada selama beberapa tahun. Salah satu pemicu utama konflik ini adalah pemberian Hak Pengusahaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta pada tahun 2004 untuk pembangunan Rempang Eco City.
Oleh karenanya Moderasi Beragama yang sejak awal memang tak jelas bentuknya, mencari-cari cara agar diterima oleh publik dengan mengambil hati masyarakat melalui adopsi kearifan lokal, yang pemanfaatannya sendiri tak dipahami. Begitu pula tak diperhatikan sejalan atau tidaknya dengan ajaran agama.
Hal ini semakin menunjukkan bahwa Moderasi Beragama merupakan upaya ‘suntik paksa ajaran pluralisme’ ke dalam tubuh umat ini. Bukan membuat ketenangan, namun justru membuat umat gelisah. Saling memindai antara satu dengan yang lain.
Atas nama Moderasi Beragama, kearifan lokal (adat, tradisi, budaya) menjadi hal yang dipertimbangkan dalam beragama dan menyelesaikan konflik di masyarakat, semisal budaya Pela Gandong di Maluku, maka cara beragama dan menyelesaikan konflik menjadi tidak jelas .
Tidak semua kearifan lokal (adat, tradisi/ budaya) sesuai dengan syariat Islam. Maka ketika kearifan lokal menjadi basis menyelesaikan konflik (persoalan) akan berpeluang besar untuk mencampuradukkan syariat dengan budaya/ adat istiadat tersebut. Menjadikan budaya sebagai legitimasi sebuah keyakinan yang bertentangan dengan agama (syariat Islam) jelas sebuah kesalahan.
Posisi adat/ budaya telah sangat jelas dalam pandangan Islam. Jika adat/ budaya tersebut menyalahi syariat, syariat datang untuk membersihkan atau mengubahnya. Contoh yang sangat nyata adalah budaya pada masa jahiliah, yakni membunuh atau mengubur anak perempuan hidup-hidup. Ketika Islam datang, perbuatan ini pun dicela dan Allah melarangnya.
Allah SWT berfirman dalam QS At-Takwir: 8—9,
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ * بِأيّ ذَنْبٍ قُتلَتْ
“Dan tatkala bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh?”
Di antara tugas syariat adalah mengubah adat/ budaya rusak, bukan memeliharanya. Sedangkan jika adat/ budaya tersebut tidak menyalahi syariat, hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil dan ‘illat syariat, bukan berdasarkan budaya itu sendiri. Syariatlah yang menjadi patokan adat/budaya, bukan sebaliknya.
Jika adat/ budaya tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam, boleh saja untuk kita ambil dan amalkan. Sebaliknya, adat/ budaya yang bertentangan dengan Islam dan/atau lahir dari akidah serta hukum non-Islam, Allah SWT melarang kaum muslim untuk mengambil maupun menerapkannya.
Allah SWT berfirman :
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Barang siapa mencari din (agama dan sistem hidup) selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima apa pun darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran: 85)
Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini yang tidak ada dasar darinya, maka itu tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Secara faktual, budaya hanya meredam konflik bersifat sementara yang sewaktu-waktu bisa meletus kembali, dan negara berlepas tangan karena penyelesaian masalah diserahkan pada masyarakat seperti kasus di Ambon tahun 1999 yang lalu. Sementara jika konflik itu muncul dari pengusaha atau pemerintah, seperti perebutan lahan misalnya, maka budaya (kearifan lokal) tidak berlaku.
Dengan demikian Moderasi Beragama bukan cara pandang yang benar dalam beragama, karena dalam beragama harus bersandar pada nash-nash syar’i (Al-Qur’an dan hadis) bukan adat istiadat. Dan tidak benar (tidak tepat) menjadikan adat/ budaya sebagai solusi problem (konflik) masyarakat, karena setiap problem/ konflik penyelesaiannya harus dikembalikan pada masyarakat dan negara wajib hadir untuk menyelesaikan sesuai syariat Islam.
Wallahu a’lam. [SM/ Ah]