Oleh: Bunda Nurul Husna
Suramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Setiap manusia yang diberi umur panjang akan tiba pada masa tua, karena menjadi tua adalah kepastian. Sebuah fase kehidupan alami manusia yang ditandai dengan beberapa perubahan aspek biologis, mental dan psikisnya. Fase kehidupan tahap akhir ini disebut lansia.
Menurut KBBI, lanjut usia (lansia) diartikan sebagai tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batasan usia 60 tahun ke atas. Dalam UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Bab 1 Pasal 1 Ayat 2), disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita. Sementara menurut Kementerian Kesehatan RI, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik masih produktif (masih bekerja) maupun tidak.
Sejak 2020, Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengingatkan negara-negara di Asia termasuk Indonesia untuk belajar dari pengalaman Jepang, dan bertindak lebih awal untuk mengatasi populasi yang menua dengan cepat. Indonesia dipandang sebagai kawasan bersiko, karena akan menghadapi tantangan khusus adanya proses penuaan yang cepat. Maka Indonesia harus mampu mengantisipasi dan menempatkan proses penuaan sebagai tantangan khusus karena terjadi pada situasi tingkat pendapatan yang relatif rendah. Harusnya Indonesia Jangan Menjadi Tua Sebelum Kaya, sebagaimana tagline peringatan Hari Lanjut Usia Internasional (HLUIN) yang diselenggarakan oleh BKKBN tiap 1 Oktober. (bkkbn.go.id, 22-10-2020).
Sementara pada peringatan HLUIN 2023 yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI, mengusung agenda utama Senam Lansia Bugar bersama Bapak Menko PMK RI, pemeriksaan kesehatan, serta diskusi interaktif dengan tema Penguatan Kesehatan Mental Lansia Indonesia sebagai Upaya Mempersiapkan Bonus Demografi Kedua (Silver Economy) 2045. Pada acara tersebut Bapak Menko PMK menginstruksikan pembentukan “Sekretariat Lansia” sebagai basecamp lansia agar mereka memiliki rumah kedua atau tempat ngumpul para lansia dari berbagai wilayah. Basecamp tersebut diharapkan menjadi wadah diskusi terkait kehidupan lansia, dari masalah duit sampai penyakit, dari fisik sampai politik, dari ekspresi sampai emosi. (golantang.bkkbn.go.id, 23-10-2023)
Indonesia memang sedang menikmati bonus demografi sejak 2015 dan akan berakhir sekitar 2035-2038. Dan pada rentang 2020-2024, BPS memperkirakan terjadi window of opportunity (jendela peluang) yang semestinya dapat dimanfaatkan potensi bonus demografinya, dan dapat mengurangi segala hal yang merugikan akibat pengaruh penuaan. Termasuk juga mengantisipasi peningkatan jumlah lansia yang akan menciptakan beban demografis (demographic tax) atas pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan, jumlah lansia di Indonesia pada 2020 mencapai 9,78%, dan 10,48% pada 2022, serta diprediksi akan terus meningkat sekitar 15,8% pada 2035, hingga 20% pada 2045. Ini artinya pada 2045 Indonesia akan “kebanjiran” lansia.
Karena tidak semua lansia beruntung dapat hidup sehat dan mandiri, maka perlu dukungan sistem informasi kelanjutusiaan dan program holistik komprehensif yang menyertainya. Hal ini akan menentukan posisi lansia, apakah sebagai beban atau aset pembangunan. Maka butuh penanganan serius problem lansia ini, demi mewujudkan lansia SMART (sehat, mandiri, aktif, produktif, bermartabat). Yaitu agar lansia dapat terus aktif dan menjadi potensi bagi pembangunan bangsa, bahkan dapat menjadi subyek dalam pembangunan.
Memasuki Ageing Population
Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa sejak 2021 Indonesia telah memasuki struktur penduduk tua (ageing population). Sebuah kondisi penuaan penduduk dimana populasi penduduk tua mengalami peningkataan progresif. Hal ini terlihat dari persentase penduduk berumur 60 tahun ke atas (lansia) yang sudah melampaui 10% sejak 2021 lalu. Oleh karena itu Indonesia mulai menjalankan beberapa program untuk menghadapi tantangan periode Ageing Population tersebut.
Untuk meningkatkan produktivitas lansia agar menjadi lansia SMART, di beberapa kecamatan di Jember dibentuk Sekolah Lansia Tangguh (Selantang). Pengembangan Selantang menjadi sarana bagi lansia untuk menimba ilmu, terutama tentang kesehatan. Sebab masalah kesehatan rentan dialami di masa tua. Selama mengikuti Selantang, lansia akan diberikan banyak pengetahuan menjaga kesehatan, juga menangani penyakit. Kegiatan lain yang diajarkan yaitu tentang kesenian seperti seni tari, pertanian, dan beberapa keterampilan lainnya. Ini diajarkan dan dibiasakan sehingga para lansia memiliki keterampilan dan pengalaman sebagai stimulan agar tetap produktif di usia senjanya.
Dan dalam rangka penguatan Layanan Ramah Lansia, BKKBN Jawa Barat juga melaksanakan kegiatan Peningkatan Kapasitas Pengelola Program Kelanjutusiaan di Jawa Barat. Hal ini dalam rangka meningkatkan kualitas hidup lansia melalui program Lansia Tangguh dan pembentukan Sekolah Lansia. Semua program itu diarahkan untuk membentuk lansia yang SMART. Karena memang lansia SMART menjadi sebuah keharusan dan harapan untuk menghadapi tantangan bonus demografi tahap kedua. Untuk itu, lansia perlu diberdayakan agar bisa tetap produktif demi memetik bonus demografi tahap kedua (silver economy) pada 2045.
Eksploitasi Lansia
Kondisi ageing population akan menjadi bonus demografi kedua (silver economy) jika kelompok penduduk lansia tetap produktif, mandiri, tidak bergantung pada kelompok usia muda, dan dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan ekonomi negara. Karena memang dalam silver economy, sistem produksi serta konsumsi barang dan jasa yang dijalankan oleh negara akan digerakkan dengan memberdayakan pula potensi penduduk lansia.
Padahal secara alami, penduduk lansia akan mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan tubuh rentan terkena penyakit. Resiko penyakit degeneratif pada lansia cenderung meningkat, seperti hipertensi, artritis sendi, diabetes, jantung, kanker, strok, hingga penurunan fungsi penglihatan. Lansia juga cenderung kurang produktif sehingga mengalami penurunan bahkan kehilangan pendapatan. Kondisi tersebut tentu menjadikan lansia rentan terhadap berbagai guncangan, khususnya secara sosial ekonomi.
Terlebih banyak lansia di negeri ini yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam statistik Indonesia 2022, tercatat setidaknya ada sekitar 29,65 juta penduduk berusia 60 tahun ke atas. Namun data Susenas Maret 2022 mencatat sebanyak 41,11% dari jumlah tersebut (12,18 juta lansia) tergolong miskin dan rentan miskin. Sementara layanan kesehatan yang dibutuhkan oleh kelompok lansia (karena rentannya mereka terkena penyakit), justru tidak mudah dijangkau oleh lansia yang mayoritasnya dari kalangan tidak mampu.
Dari sisi ketersediaan hunian bagi lansia pun, masih menjadi problem negeri ini. Data Susenas 2022, ada 35,72% lansia tidak tinggal di hunian yang memadai. Meski sejak 2016 pemerintah telah memasukkan lansia sebagai penerima manfaat PKH (Program Keluarga Harapan) sebesar Rp2,4 juta per tahun (Rp200.000 per bulan), namun jumlah lansia penerima manfaat PKH masih rendah. Menurut data Kemensos, pada 2019 lansia penerima PKH sebanyak 1,1 juta orang, atau sekitar 2% saja dari total lansia yang ada saat itu. (smeru.or.id). Sementara tidak sedikit dari para lansia yang justru harus ikut menopang kehidupan ekonomi anak dan keluarganya akibat kemiskinan struktural yang terus berlangsung di negeri ini. Jika demikian, terwujudnya kesejahteraan hidup lansia masih menjadi problem serius negeri ini.
Melihat cukup besarnya jumlah lansia dengan kondisi miskin saat ini, tentu menjadi tantangan bagi negara. Jumlah lansia yang besar, alih-alih bisa berkontribusi bagi ekonomi negara dalam perspektif bonus demografi kedua, justru menjadi beban tersendiri bagi negara. Di titik ini, aroma kapitalisme sekuler begitu kuat meliputi perspektif yang dibangun dalam menyolusi tantangan meraih bonus demografi kedua terkait lansia. Dalam pandangan kapitalisme sekuler, perkara baik itu adalah yang dapat memberi manfaat secara ekonomi (uang). Semua rakyat termasuk wanita dan lansia, harus berkontribusi dalam pembangunan. Maka wajar jika dalam masyarakat kapitalis sekuler, lansia harus benar-benar diberdayakan untuk kepentingan ekonomi, dan mampu mandiri di usia senjanya sehingga tidak menjadi beban bagi generasi muda, keluarga dan negara. Karena yang tidak dapat menghasilkan uang dianggap tak berdaya bahkan jadi beban.
Ini sungguh ironi. Potensi lansia terus diarahkan untuk berkontribusi bagi ekonomi negara dan pembangunan. Lansia didorong untuk terus berkarya menghasilkan uang supaya bisa mandiri secara finansial dan tidak jadi beban keluarga dan negara. Sementara faktanya, negara belum benar-benar mampu menghadirkan kehidupan layak yang jauh di atas garis kemiskinan, akses layanan kesehatan yang mudah dan murah, rumah hunian yang sehat dan layak, serta ketenangan hidup lansia secara sosial dan sebagainya. Rakyat dan lansia dibiarkan berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kalaupun mendapatkan akses pekerjaan, umumnya rakyat hanya diarahkan menjadi sekrup-sekrup mesin penggerak bisnisnya pemodal besar. Pendapatan mereka pun sekedar untuk bertahan hidup saja, sangat jauh dari standar sejahtera.
Kondisi ini wajar terjadi dalam masyarakat yang diatur dengan sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang menjadikan negara hanya sebagai regulator saja, cenderung abai dari mengurusi langsung kemaslahatan rakyatnya. Negara absen dari fungsi utamanya sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Padahal seharusnya, negara benar-benar hadir sebagai pelayan rakyat yang menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok individu dan kolektif rakyatnya, termasuk lansia. Negara harusnya memberikan perhatian khusus pada para lansia. Mengingat kondisi umum fisik mereka yang melemah, dan kurangnya produktifitas mereka akibat tubuh rentanya yang tidak lagi mampu mencari nafkah. Maka, jika negara tetap menuntut lansia mandiri, produktif dan berdaya secara ekonomi atas nama sumbangsih pada pembangunan, sementara jaminan kesejahteraan bagi lansia yang masih jauh kelayakannya, sesungguhnya ini merupakan bentuk kezaliman dan eksploitasi lansia atas nama capaian bonus demografi kedua.
Islam Menjamin Kesejahteraan Lansia
Sebagai agama sekaligus way of life yang sahih, Islam memiliki pandangan istimewa dan rinci tentang lansia. Islam memandang lansia dengan penuh kemuliaan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya termasuk dalam pengagungan terhadap Allah Taala adalah memuliakan orang-orang lanjut usia yang muslim” (HR Abu Dawud No. 4843).
Sementara dalam hadis yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami mereka yang tidak menghormati orang-orang lanjut usia di antara kami” (HR Ahmad No. 6937 dan Tirmidzi No.1920)
Saat kapitalisme sekuler tidak mampu menyejahterakan lansia, Islam justru memiliki mekanisme hebat melindungi, menyejahterakan, membahagiakan lansia hingga menghantarkannya meraih kemuliaan dengan balasan surga-Nya. Seluruh mekanisme itu tercakup detil dalam serangkaian hukum syarak, antara lain:
Pertama, Islam mewajibkan setiap anak untuk berbuat baik (birrul walidaini) pada orang tuanya. Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapakmu…” (QS An-Nisa/4: 36).
Juga firman Allah SWT, “Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah satu di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik” (QS Al-Isra’/17: 23).
Ini adalah jaminan bagi lansia untuk mendapatkan perlakuan baik dari anak-anak dan keluarganya.
Dan melalui mekanisme sistem pendidikan Islam serta berbagai arahan intensif, negara akan memastikan setiap anak dan keluarga paham tentang kewajibannya terhadap orang tua. Paham tentang hak-hak orang tua yang harus mereka penuhi dalam keluarga, berupa perlakuan baik, memuliakannya, merawat dan menjaganya, membahagiakannya, serta menemaninya dalam melakukan berbagai amal salih terbaik demi bekalnya menuju surga Allah Ta’ala. Bahkan negara dapat memberikan sanksi bagi anak atau keluarga yang sengaja membuang orang tuanya atau abai terhadap kewajibannya untuk merawat dan melindungi orang tua mereka.
Kedua, Islam menetapkan bahwa orang tua yang sudah lanjut usia, menjadi tanggung jawab anaknya untuk mengurusi dan menafkahi mereka secara makruf jika orang tuanya tidak memiliki cukup harta.
Dalam hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ia berkata, “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan anak, sedangkan ayahku juga membutuhkan hartaku.’ Maka Beliau saw bersabda, ‘Engkau dan hartamu milik ayahmu.’” (HR Ibnu Majah)
Namun jika anak laki-lakinya juga tidak mampu, maka kewajiban nafkah tersebut beralih pada keluarga besar dan kerabatnya. Dan jika mereka semua tidak mampu juga, maka tanggung jawab tersebut beralih pada negara melalui mekanisme baitul maal (kas negara).
Ketiga, bagi lansia yang tidak memiliki anak dan keluarga yang dapat merawat dan menjaganya, maka negara wajib menyediakan tempat tinggal yang layak dan sehat bagi lansia semacam panti jompo. Sekaligus dengan para perawat dan seluruh fasilitas yang dibutuhkan oleh lansia dalam menjalani masa tuanya dengan baik, sejahtera dan tenang. Apalagi jika lansia tersebut tidak memiliki cukup harta untuk nafkah dirinya, negara wajib menjamin nafkah mereka. Sehingga para lansia dapat melanjutkan hidupnya hingga akhir hayatnya dalam suasana yang menyenangkan dan baik bagi kesehatan mental dan psikisnya. Maka lansia pun dapat fokus beribadah demi menyiapkan kehidupan yang husnul khatimah menuju surga-Nya.
Oleh karena itu, problem lansia bukan hanya menjadi tanggung jawab anak dan keluarga. Masyarakat pun harus mengaktifkan kontrol sosialnya melalui amar makruf nahi munkar, saling menasihati jika ada keluarga yang menyia-nyiakan orang tuanya. Dan negara juga ikut bertanggung jawab terhadap pengurusan lansia tersebut, karena lansia adalah bagian dari rakyatnya. Bahkan dalam Islam, negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab mengurusi lansia sebagai rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (imam/khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya itu” (HR Bukhari dan Muslim)
Meskipun lansia sudah melemah fisiknya, kurang bahkan tidak produktif lagi secara ekonomi, dalam sistem Islam, negara tetap wajib mengurusinya. Negara tidak boleh menganggapnya sebagai beban. Negara harus memastikan lansia mendapatkan perlakuan baik di tengah keluarganya, memastikan setiap anak paham bagaimana ketentuan syariat tentang birrul walidaini dan memuliakan orang tua. Bahkan negara wajib memastikan seluruh hak dan kebutuhan pokok lansia terpenuhi, tanpa harus membebani lansia untuk berkontribusi bagi ekonomi negara atas nama target capaian bonus demografi. Sehingga para lansia bisa hidup tenang dan sejahtera serta dapat lebih fokus beribadah demi menyiapkan dirinya meraih kemuliaan surga-Nya dengan husnul khatimah.
Dan agar seluruh mekanisme penataan kehidupan lansia tersebut terwujud sempurna, butuh hadirnya sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Satu-satunya negara yang mampu melaksanakan semua tuntunan syariat yang mulia tersebut, karena kehadirannya secara nyata sebagai raa’in (pengurus urusan) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya termasuk lansia. Untuk itu dibutuhkan aktivitas dakwah Islam politik yang diemban secara berjamaah dan terarah oleh kelompok dakwah ideologis, demi menjemput pertolongan Allah SWT berupa kemenangan Islam dengan hadirnya kembali masyarakat Islam kaffah yang penuh barakah. Semoga kita semua termasuk hamba-hamba Allah yang terpilih, yang ikut memperjuangkannya. [SM/Ln]