Predator Seksual Mengancam Anak Laki-laki, Islam Solusinya

Oleh: Bunda Nurul Husna

Suramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga Kejahatan seksual kini menjadi salah satu ancaman besar bagi anak-anak di negeri ini. Termasuk pada anak laki-laki. Sebagaimana yang diberitakan bahwa sebanyak 30 anak di Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, diduga menjadi korban pencabulan pemuda berinisial HCP. Terduga predator seksual tersebut saat ini sedang diburu oleh polisi. (kompas.com, 23/11/2023).

Hal itu bukanlah satu-satunya kasus pencabulan oleh predator anak. Banyak sekali kejahatan serupa telah terjadi sebelumnya. Pada September 2023 lalu, personel Unit Satuan Reserse Kriminal Polsek Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, telah menangkap seorang pria yang diduga telah melakukan pencabulan terhadap 40 anak di Kecamatan Bathin Solapan, Riau. (liputan6.com, 25-9-2023).

Mirisnya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak, baik anak perempuan maupun laki-laki, sangat banyak. Selama 2023 ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima sekitar 2.739 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan 2022 lalu. Ironisnya justru sebagian besar pelakunya (52%) adalah orang terdekat dalam lingkup keluarga, seperti ayah kandung, ayah tiri, kakek, kakak, paman, dan teman dekat. (Kompas, 31-7-2023).

Dan yang penting dicatat adalah, aksi kejahatan para predator seksual tersebut tidak hanya menyasar anak perempuan saja, tapi juga mengancam anak laki-laki. Artinya, anak-anak negeri ini telah kehilangan jaminan keamanannya, termasuk di rumah dan lingkup sekolah mereka sekalipun.

Deretan panjang kasus kejahatan predator seksual yang menyasar anak di negeri ini, sungguh menyisakan tanya. Ada apa dengan negeri ini? Mengapa bangsa besar yang mayoritas penduduknya muslim, justru banyak mencatat kasus asusila yang tidak dibenarkan oleh hukum syarak?

Kapitalisme Sekuler Suburkan Predator Seksual                  

Mencermati kian maraknya kejahatan seksual yang menyasar anak-anak, termasuk anak laki-laki, tampaknya negeri ini sedang darurat predator seksual. Kasusnya tidak hanya terjadi di satu atau dua kota. Bahkan catatan peristiwanya terus berulang dan kian meningkat tiap tahunnya. Anak-anak negeri ini sungguh dalam bahaya. Seolah tak ada lagi jaminan keamanan bagi mereka, baik di rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Beberapa program dan kampanye antikekerasan seksual anak sebenarnya sudah dilakukan. Sejumlah peraturan dan undang-undang juga telah ditetapkan, sebagai payung hukum terkait perlindungan anak. Seperti UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, atau UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU PA Nomor 23 Tahun 2002. Namun nyatanya, belum mampu menghentikan kejahatan seksual yang mengorbankan anak-anak generasi pembangun peradaban bangsa ini.

Oleh karenanya negeri ini harus melihat masalah tersebut secara lebih holistik dan komprehensif, yaitu dikaji dari berbagai aspek secara menyeluruh. Negeri ini butuh mengevaluasi ulang efektivitas beberapa kebijakan yang telah ditelurkan, terkait upaya penghentian kejahatan seksual. Karena sesungguhnya masalah kejahatan predator seksual bukan semata soal hukuman bagi sang predator anak, atau nasib anak sebagai korban. Tapi ini adalah problem serius yang butuh solusi tuntas. Maka negara harus menemukan akar masalah yang sesungguhnya. Agar segera dapat merumuskan dan melakukan berbagai langkah strategis yang dapat menyolusi secara tuntas problem kejahatan predator seksual pada anak.

Marak dan berulangnya aksi kejahatan predator seksual pada anak, sejatinya buah dari kehidupan negeri ini yang makin bebas (liberal). Kebebasan yang lahir dari akidah sekularisme kapitalistik, yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan dan bernegara. Sekularisme telah mengarahkan masyarakat bertingkah laku bebas tanpa terikat lagi pada norma agama. Tak lagi peduli batasan halal-haram. Agama dimandulkan dan hanya diizinkan mengatur ibadah ritual, itu pun dikerdilkan perannya.

Kehidupan liberal bahkan telah masuk ke lingkungan keluarga. Memengaruhi cara pandang masyarakat tentang kehidupan. Individu masyarakat makin kehilangan rasa takutnya untuk bermaksiat, karena memang ketakwaannya kian terkikis. Masyarakat pun kian abai pada fungsi kontrol sosialnya, cenderung individualistis dan cuek pada lingkungan sekitarnya. Mereka mulai meninggalkan budaya amar makruf nahi munkar, yang sejatinya menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga kebersihan dan kesucian perilaku masyarakat agar selalu terikat pada aturan agama.

Sementara negara kian abai pada fungsi strategisnya sebagai pengatur (raa’in) urusan rakyat dan sebagai perisai (junnah) bagi masyarakat. Harusnya negara hadir sebagai pelindung utama bagi rakyatnya termasuk anak. Negara mestinya menjamin keamanan setiap warganya. Melindungi anak dari segala kekerasan dan kejahatan predator seksual, serta seluruh hal yang mengancam kerusakan akal, moral dan jiwa anak.

Jika mau, negara sebenarnya mampu membatasi akses media yang mengandung konten asusila, bahkan membersihkan seluruh media dari konten amoral yang merusak generasi, dan menodai kebersihan pergaulan sosial masyarakat. Namun sayangnya, fungsi tersebut makin terabaikan. Berganti dengan suasana kehidupan sosial yang liberal, akibat pembiaran dari pihak negara. Itulah hakikat dari kehidupan liberal yang sekuler. Dan itulah yang kini benar-benar terjadi di negeri ini.

Solusi Islam

Islam sebagai agama sempurna sekaligus sebagai way of life, memiliki serangkaian pengaturan sistemik dalam mengatasi persoalan kejahatan predator seksual termasuk pada anak. Solusi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

Pertama, aspek pencegahan (preventif). Secara detil, Islam menetapkan sejumlah aturan hukum syarak tentang pergaulan laki-laki dan perempuan, yaitu (1) mewajibkan perempuan menutup aurat secara sempurna saat beraktivitas di area publik atau saat berhadapan dengan laki-laki nonmahram. Yaitu dengan memakai jilbab (berupa pakaian luar yang panjang, longgar dan tidak tipis, seperti gamis atau jubah), serta kerudung (khimar) yang menutupi kepala hingga terhampar menutupi dada; (2) kewajiban menundukkan pandangan (ghaddul bashar) bagi laki-laki dan perempuan; (3) Larangan ber-khalwat (bersepi-sepi atau berinteraksi khusus berdua saja dengan laki-laki nonmahram; (4) larangan perempuan untuk tabarruj (berhias berlebihan di hadapan nonmahram); (5) larangan bagi laki-laki dan perempuan untuk mendekati zina (seperti pacaran, teman  tapi mesra dan lain-lain), juga larangan berzina; (6) memerintahkan perempuan didampingi mahram saat melakukan safar (perjalanan lebih dari sehari semalam) dalam rangka menjaga kehormatannya; dan; (7) memerintahkan untuk memisahkan tempat tidur anak jika telah berusia 10 tahun; (8) Islam mewajibkan setiap mukmin untuk mengikatkan seluruh perbuatan hamba dengan hukum syarak, serta menanamkan sikap muraqabah (selalu merasa dalam pengawasan Allah) sehingga menumbuhkan rasa takut bermaksiat (termasuk tidak berani mengakses konten porno dan sebagainya yang bertentangan dengan Islam), meski sedang sendiri, dan sebagainya.

Kedua, aspek penanganan (kuratif). Yaitu berupa penegakan sistem sanksi Islam oleh pihak negara. Terdapat dua fungsi hukum dan sistem sanksi dalam Islam, yakni sebagai zawajir (memberikan efek jera) dan jawabir (penebus dosa) bagi pelaku tindak kejahatan, jika dia rida terhadap pelaksanaan sanksi tersebut dan benar-benar bertaubat pada Rabb-nya. Hukum sanksi Islam tersebut berlaku sama dan adil bagi setiap warga negaranya, tanpa pandang bulu.

Ketiga, aspek pendidikan dan pembinaan (edukatif) oleh negara. Yaitu melalui pemberlakuan sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam. Individu dan masyarakat akan terbina dengan Islam, sehingga menjadikan syariat Islam sebagai standar perbuatan. Bukan liberal. Ketika individu bertakwa, masyarakat peka dan peduli pada lingkungan sekitarnya, aktif berdakwah, menghidupkan amar makruf nahi munkar, maka kejahatan dan kriminalitas bisa terminimalisasi dengan baik, termasuk aksi kejahatan predator seksual yang mengancam anak-anak negeri ini.

Keempat, peran negara. Semua aspek tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa peran negara. Karena negaralah pihak yang paling bertanggung jawab melaksanakan dan mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi rakyatnya termasuk anak. Sistem pendidikan dan tata pergaulan Islam pun tidak bisa terlaksana tanpa kehadiran negara sebagai penerap syariat secara kaffah. Negara juga yang mampu melakukan kontrol penuh terhadap media massa, membersihkan media dari konten pornografi, kekerasan, dan konten lainnya yang merusak akhlak dan bertentangan dengan Islam, serta mensterilkan media dari setiap propaganda liberal sekuler yang merusak moral generasi. Karena memang negara yang dapat menghentikan itu semua.

Demikianlah solusi tuntas terhadap problem kejahatan predator seksual yang dituntunkan oleh Islam. Ketika semua aspek perlindungan, pencegahan, penanganan, edukasi, dan sistem sanksi dijalankan secara utuh oleh negara, maka negara akan mampu mengakhiri segala bentuk kekerasan dan kejahatan predator seksual tersebut. Untuk menjalankan itu semua, butuh adanya negara yang bervisi kuat, yang menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat) dengan asas ideologi Islam. Negara yang menerapkan Islam kaffah di seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Maka butuh adanya aktifitas dakwah Islam politik yang diemban secara berjamaah dan terarah menuju terwujudnya masyarakat Islam dalam naungan negara Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]