Oleh: Idea Suciati, M.AP
Suaramubalighah.com, Opini – Beredarnya terjemahan Kitab Irsyadul Bilad Ila Sabili Rasyad (Petunjuk Ke Jalan Yg Lurus) menuai protes dari Kejaksaan Agung yg melayangkan surat ke Kementrian Agama mengenai isi kitab tersebut yg dinilai berisikan ujaran kebencian terhadap Instansi Bea Cukai terutama pada bab: Mencela Pegawai Bea Cukai yang menyertakan beberapa hadis berisi peringatan keras terhadap pegawai bea cukai.
Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (PLKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Moh. Isom, menyampaikan bahwa buku terjemahan tersebut dikategorikan sebagai buku umum keagamaan. Sebab, buku itu dicetak untuk konsumsi publik. Dia menjelaskan bahwa bea cukai dalam ilmu ekonomi Islam disebut dengan istilah ‘usyur, dan bea cukai terhadap keluar masuknya barang yang melalui wilayah pabean Indonesia adalah sah dan dapat dibenarkan menurut Islam, dengan syarat ditujukan untuk kepentingan umum (kemaslahatan umat). Praktik bea cukai menjadi ilegal jika pihak terkait melakukan pungutan secara liar atau zalim (semena-mena), dan tidak berkeadilan.
Moh. Isom menjelaskan bahwa konten buku pada bab: Mencela Pegawai Bea Cukai (yang pungli) yang menyertakan beberapa hadis berisi peringatan keras terhadap pegawai bea cukai, itu tidak berlaku secara umum. Hal itu hanya ditujukan kepada oknum yang melanggar peraturan perundangan-undangan dalam melaksanakan tugasnya, yaitu melakukan pungutan liar.
Kemudian disepakati Puslitbang LKKMO dan Kejaksaan RI akan membangun komitmen, sinergi, dan koordinasi yang lebih intensif dalam merespons peredaran buku agama maupun konteks keagamaan yang dianggap bermasalah atau meresahkan masyarakat, baik yang bersifat cetak maupun elektronik (digital). (www.kemenag.go.id, 20-12-2023)
Pemberangusan Kitab Turats
Penilaian Kejagung tentang adanya ujaran kebencian dalam penjelasan salah satu kitab turats berkaitan dengan bea cukai sangat disayangkan sekaligus perlu dikritisi.
Pertama, tidak sepatutnya kitab turats dinilai mengandung ujaran kebencian. Kitab turats adalah kitab karya ulama salaf yang berisi tsaqafah Islam yg bersumber dari Al-Qur’an, As-sunah, Ijma’, dan Qiyas. Sering disebut kitab kuning, karena kertas yang digunakan untuk menulis berwarna kuning. Disebut juga kitab gundul, karena ditulis dalam Bahasa Arab tanpa syakkal (fathah, damah, kasroh dsb). Kitab turats banyak bahkan beberapa dijadikan kitab yang wajib dikaji oleh para pelajar dan santri-santri di pondok pesantren.
Permohonan agar buku-buku keagamaan termasuk kitab turats diperiksa agar tidak mengandung ujaran kebencian yang meresahkan adalah perbuatan yang tidak menghormati para ulama salafush shalih yang menulisnya. Apalagi jika hal ini dilakukan hanya karena tidak sesuai dengan kepentingan tertentu ataupun udang-undang yang berlaku saat ini.
Alangkah baiknya yang muncul justru sikap kritis ketika menyaksikan hukum atas fakta saat ini tidak sesuai dengan kita-kitab turats yang jelas-jelas ditulis ulama para salafush shalih. Bukan justru memaksakan atau mencari pembenaran untuk fakta. Jika sikap ini yang dikedepankan dikhawatirkan justru akan memberangus tsaqafah-tsaqafah Islam agung dalam kitab-kitab turats.
Selain itu, ini menunjukan kesan seolah-olah kitab turats dan pemikiran Islam tidak lagi sesuai dengan fakta zaman sekarang. Padahal, memang benar bahwa fakta yg dihukumi adalah fakta yang terjadi pada saat itu, namun realitanya fakta yang terjadi saat ini tidak berbeda dengan fakta masa lalu. Yang berbeda hanya penyebutan atau istilah dan kemasannya saja, termasuk bea cukai saat ini realitanya sama dengan cukai pada masa lalu. Artinya, hukum syariat tidak pernah berubah mengikuti zaman, waktu atau tempat. Seharusnya zamanlah yang mengikuti syariat.
Kedua, celaan terhadap pengambil pajak (termasuk cukai) memang benar terdapat dalam dalil hadis yang sahih. Pajak atau yang dalam Bahasa Arab disebut dengan al-muksu adalah salah satu pungutan yang diharamkan, dan bahkan pelakunya diancam dengan siksa neraka:
إِنَّ صَاحِبَ المُكْسِ فِي النَّارِ. رواه أحمد والطبراني في الكبير من رواية رويفع بن ثابت رضي الله عنه ، وصححه الألباني
“Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka.” (Riwayat Ahmad dan Ath-Thabrany dalam Kitab Al-Mu’jam Al-Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi’ bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, oleh Al-Albany dinyatakan sebagai hadis sahih.)
Keharaman berlaku ketika pajak diambil dari seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti saat ini. Saat ini pajak diambil untuk hampir semua keperluan, makan di restoran kena pajak, jual beli barang kena pajak, termasuk membawa barang dari luar negeri. Ini adalah pajak yang zalim menurut Islam.
Adapun khusus cukai, dalam Islam disebut
Al-‘Usyur atau usful ‘usyur, al-‘usyur (atau 1/10) adalah pungutan atas pedagang ahlul harb (orang kafir yang berdomisili di negeri kafir dan tidak terjalin perjanjian damai dengan negara Islam atau bahkan negara kafir yang memerangi negara Islam), dipungut dari mereka sepersepuluh dari total perniagaannya di negeri Islam. Sedangkan nisful ‘usyur (1/20) adalah pungutan atas para pedagang ahlu dzimmah, orang kafir yang menghuni negeri Islam.
Islam membedakan penduduknya berdasarkan agamanya, umat Islam dipungut zakat jiwa dan zakat harta kekayaan, termasuk zakat perniagaan, sedangkan nonmuslim dipungut al-jizyah, al-kharaj dan al-‘usyur atau nisful-‘usyur. Sementara saat ini, ‘usyur (cukai) diberlakukan umum, termasuk bagi umat Islam. Hal ini jelas menyalahi syariat. Artinya penjelasan dalam kitab turats seharusnya dipahami untuk mendapat kebenaran, bukan mencari pembenaran. Bukan pula dikontekstualisasi agar sesuai dengan kondisi zaman, atau undang-undang.
Bahaya Moderasi Agama
Upaya kontekstualisasi kitab kuning memang terus digencarkan. Salah satunya dilakukan oleh PBNU dalam Halaqah Fiqh Peradaban yg merupakan program unggulan PBNU. Halaqah Peradaban 2023 terbaru diselenggarakan dengan pada jum’at 22 Desember 2023 di Jakarta dengan tema ‘Ijtihad Ulama NU dalam Bidang Sosial-Politik untuk Peradaban yang Berkeadilan Gender’.
Ketua PBNU, Ulil Absar Abdala mengatakan bahwa sekarang kita bergerak pada realitas baru, maka sudah seharusnya kitab-kitab kuning dan pemahaman keislaman yang terkandung di dalamnya itu dibaca ulang karena kitab-kitab tersebut umumnya ditulis pada masa sebelum era modern, ketika realitas yang ada saat itu sangat mempengaruhi isi kitab. Karena ituHalaqah Fiqh Peradaban menjadi sangat penting utk membangun kesadaran akan perlunya kontekstualisasi kitab dan ini adalah sebuah langkah penting untuk mengubah paradigma tanpa langkah ini akan menjadi rumit untuk mengubah paradigma para kyai.
Ulil Absar mencontohkan salah satu momen monumental dalam sejarah pemikiran NU, yakni Musyawarah Nasional Alim Ulama 2019 di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Banjar, Jawa Barat dengan keputusannya mengenai tidak ada pembedaan konsep warga negara muslim dan kafir sehingga penyebutan nonmuslim pada warga negara tidak relevan pada kondisi saat ini. (Jateng[dot]nu[dot]or[dot]id)
Upaya kontekstualisasi kitab turats atau kuning dengan kondisi zaman sekarang perlu diwaspadai. Upaya ini dapat memberangus kitab turats itu sendiri. Karena sama dengan menghilangkan atau mengubah hukum syara’ yang tidak sesuai dengan kehendak hawa nafsu penguasa atau musuh Islam saat ini. Hal ini sangat berbahaya karena menjauhkan umat dari pemahaman syariat Islam yg benar dan legitimasi atas sistem kehidupan yang sesat (sekularisme).
Karena kontekstualisasi syariat Islam (termasuk kitab turats) hakikatnya adalah menempatkan syariat Islam sebagai objek yang diatur bahkan jika perlu disesuaikan. Karena diposisikan sebagai obyek, maka syariat Islam bisa ditekuk-tekuk, fleksibel, sesuai kepentingan-kepentingan tertentu. Padahal, seharusnya yang menjadi obyek adalah fakta. Fakta yang ada harus dihukumi dan disesuaikan dengan syariat Islam.
Dunia memang berubah, lebih canggih dengan berbagai wasilah baru, istilah-istilah baru. Misalnya di zaman Rasulullah saw. belum ada istilah kartu kredit, bank, MLM, dan sebagainya. Namun, dalam penggalian hukum terhadap fakta (barang maupun perbuatan) Islam telah menjadikan Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber hukum yang tetap. Dengan ijtihad syar’i akan selalu ditemukan hukum bagi setiap fakta-fakta yang baru sekalipun.
Kontekstualisasi ajaran Islam, baik terhadap Al-Qur’an, hadis dan termasuk kitab turats adalah bagian dari program besar moderasi beragama. Moderasi beragama sendiri adalah program yang dirancang barat untuk mengadu domba umat islam, melemahkan umat, menimbulkan keraguan umat terhadap syariat. Seolah syariat ketinggalan zaman, tidak bisa menjadi solusi kecuali harus disesuaikan dengan zaman. Program moderasi beragama dan turunannya ini harus dilawan dan dihentikan.
Yang diperlukan bukanlah kontekstualisasi kitab turats, melainkan aktualisasi atau penerapan ajaran-ajaran islam secara praktis. Karena kitab-kitab turats yang berisi kekayaan tsaqafah Islam itu tidak akan memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat bangsa dan negara, kecuali dengan diterapkan pada fakta-fakta yang ada di zaman sekarang. Bukankahkitab-kita turats mengajarkan berbagai macam fikih untuk mengatur kehidupan dunia ini?
Di sinilah dibutuhkan: Pertama, para ulama faqih fiddin atau mujtahid yang mampu menggali atau memahami hukum-hukum syariat termasuk dalam kitab turats untuk menyelesaikan problematika umat. Kedua, institusi negara yang akan menerapkan pemahaman atau hasil-hasil ijtihad tersebut secara praktis. Institusi ini adalah Khilafah Islamiyah. Karena hanya Khilafah yang menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan. Khilafah sendiri bagian dari ajaran Islam yang banyak dijelaskan dalam kitab turats.
Walhasil, upaya kontekstualisasi kitab turats, yang sejalan dengan program moderasi beragama, tidak dibutuhkan. Bahkan harus dihentikan karena akan memberangus ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Umat Islam harus jernih memahami kitab turats sekaligus ikut serta dalam perjuangan penegakan Khilafah Islamiyah. Karena syariat Islam, baik tsaqafah dan hukum-hukumnya, ibarat obat yang pasti akan menyembuhkan berbagai penyakit atau kerusakan. Tapi jika obat ini hanya dipelajari saja tanpa dipakai maka tidak akan memberikan efek apa-apa. Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya metode agar obat (syariat Islam) ini bisa diterapkan secara sempurna. Agar terwujud rahmatan lil alamin. Mari bersama-sama mewujudkannya. Allahu Akbar!
Wallahu a’lam bishshawab
[SM/Ln]