Khilafah Wujud Relasi Agama dan Negara untuk Jalbu Al-Mashalih wa Dar’u Al-Mafasid

Oleh : Hayyin Thohiro

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar – Satu abad tanpa Khilafah. Banyak pihak memandang kepadanya. Tak ketinggalan adalah para penentang Khilafah. Mubadalah[dot]id mengupas tulisan Nadisyah Hosen: Islam Yes, Khilafah No menegaskan bahwa tegaknya Khilafah bukan jaminan semua persoalan akan terselesaikan, meski ada masa kejayaan Khilafah namun ada masa kelam yang menakutkan yang tidak boleh terulang.

Dengan melandaskan pandangan mengenai relasi antara agama dan negara, mereka berpandangan bahwa umat Islam di satu sisi percaya akan pentingnya prinsip Islam dalam kehidupan bernegara. Namun di sisi lain, tidak ada pandangan yang bersepakat tentang hubungan yang tepat antara agama dan negara dan bagaimana seharusnya Islam dan negara dapat dikaitkan. Karena itu jika dikerucutkan, maka titik temu relasi antara agama dan negara mengarah pada menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan (Jalbu Al-Mashalih wa Dar’ Al-Mafasid). Karena itu mereka menerima Islam tapi menolak Khilafah.

Lalu bagaimana seharusnya penggunaan kaidah ini dalam memahami relasi agama dan negara dengan baik dan benar?

A. Pengertian Kaidah Jalbu Al-Mashalih wa Dar’u Al-Mafasid

Jalbu Al-Mashalih wa Dar’u Al-Mafasid dalam penyebutan lain ada yang menyebutnya dengan Jalbu Al-Mashalih wa Dar’u Al-Mafasid, ini maknanya sama, yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan). Karena pada dasarnya manusia dalam sehari-hari tidak jauh dengan hal yangmaslahat dan mafsadat seperti yang dikatakan oleh Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya: Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’at itu adalah maslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, ada pula yang menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’at dan seluruh yang mafsadat dilarang.

 Kaidah Jalbu Al-Mashalih wa Dar’u Al-Mafasid

هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا

“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam  mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.

اين ما وجدت المسلحة فثم شرع الله

”Kapan saja ditemukan kemashlahatan, maka itu syari’at Allah”

Kerja manusia itu ada yang membawa kepada mashlahat, ada pula yang menyebabkan mafsadat. Baik maslahat maupun mafsadat, ada yang untuk kepentingan duniawiyah dan ada yang untuk kepentingan ukhrawiyah, dan ada juga yang untuk kepentingan duniawiyah sekaligus ukhrawiyah. Seluruh yang maslahat diperintahkan oleh syariat dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syariat. Setiap kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaatnya serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki tingkatan-tingkatannya dalam keburukan dan kemudaratannya.

Kemaslahatan dapat dibagi menjadi tiga bagian :

1. Kemaslahatan dari wajibat, setiap hal yang wajib pasti membawa kemaslahatan. Contohnya: salat fardu.

2. Kemaslahatan dari mandubat (tindakan yang sunah). Contohnya: salat sunah.

Semua hal yang wajibat maupun yang mandubat adalah sesuatu yang membawa kemaslahatan, apabila kita melaksanakan perintah Allah, maka kita termasuk orang yang bertakwa. Adapun Allah memberikan jaminan kepada orang yang bertakwa, di antaranya:

مَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS Ath-Thalaq: 2)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

”Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS Ath-Thalaq: 4)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS Ath-Thalaq: 5)

3. Kemaslahatan dari mubahat (tindakan yang jawaz), yang dimaksud mubah di sini adalah bukan sesuatu yang jika dikerjakan ataupun ditinggalkan tidak akan mendapat pahala ataupun berdosa. Tapi,  sesuatu yang jika sudah diperbuat maka akan menimbulkan dua kemungkinan yaitu akan jadi baik atau bahkan buruk. Jika hal mubah yang kita perbuat sesuai dengan syariat Islam maka insyaallah akan mendapat pahala dan sebaliknya. Contohnya,  makan dan minum.

Kemafsadatan juga dibagi menjadi dua bagian:

1. Kemafsadatan dari makruhat (tindakan yang makruh), contohnya, memakan hal-hal yang menyebabkan bau tidak nyaman, berkumur ketika berpuasa.

2. Kemafsadatan dari muharramat (tindakan yang haram), contohnya adalah berzina, minum khamr, berjudi, dan lain-lain.

B. Penerapan Jalbu Al-Mashalih wa Dar’u Al-Mafasid.

Sebagian besar kemaslahatan dunia dan mafsadatnya telah diketahui oleh akal. Melaksanakan kemaslahatan murni dan menolak kemafsadatan murni, merupakan perbuatan yang sangat terpuji bagi manusia. Demikian pula, dalam mendahulukan kemaslahatan yang lebih unggul dan menolak kemafsadatan yang lebih unggul, atau menolak kemafsadatan yang lebih unggul terlebih dahulu, kemudian mengerjakan kemaslahatan tingkat biasa atau mengerjakan kemaslahatan yang lebih unggul, kemudian menolak kemafsadatan tingkat  biasa, perihal tersebut sudah ada konsensus atas kebaikannya oleh ahli hukum.

Dalam syariat terdapat perbedaan mana yang harus didahulukan antara menolak kemafsadatan atau mengerjakan kemudaratan. Hal ini pada prinsipnya hanya berorientasi pada sulitnya mengetahui tingkat keunggulan masing-masing. Banyak manusia yang mengalami kebingungan, akhirnya mereka tidak mengerjakan kemaslahatan dan tidak memberantas kemafsadatan.

Ulama ushul membagi maslahat pada tiga bagian yaitu:

1. Jalbul Mashalih.

Apabila menghadapi maslahat pada waktu yang sama, dan harus dipilih salah satunya, maka pilihlah yang paling maslahat

فَبَشِّرْ عِبَادِالَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَه….

“….beri kabar gembiralah hamba-hambaku yang mendengarkan ucapan-ucapan orang dan mengambil jalan paling baik di antaranya….” (QS Az-Zumar: 17-18)

وَأْمُرقَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا….

“….perintahkanlah kepada umatmu untuk mengambil yang paling baik….” (QS Al-A’raaf: 145)

Dari kedua ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ketika ada dua perkara yang baik, maka ambillah perkara yang paling baik di antara keduanya. Sebagai contoh, menghormati tamu adalah suatu yang maslahat, wiridan setelah salat juga maslahat. Lalu ketika kita sehabis salat dan ada seorang tamu yang datang, maka temuilah tamu itu dan tinggalkanlah wiridan karena menghormati tamu, adalah sesuatu yang membawa maslahat bagi kita pribadi juga bagi sang tamu sendiri. Sedangkan maslahat dari wiridan adalah hanya untuk diri kita sendiri.

2. Mashlahah dar’ul mafasid (maslahah dharuraat).

Apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang sama, maka cara memilih untuk meninggalkannya adalah dahulukan yang paling buruk akibatnya karena pada hakikatnya mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan mafsadat berarti mengejar maslahat.

 وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ

Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (QS Al-Baqarah: 11)

Contohnya: seorang ibu yang sedang hamil mengalami kontraksi yang sangat parah, sampai akhirnya dokter memberikan pilihan kepada keluarga tersebut untuk memilih salah satu jiwa yang harus dikorbankan. Dalam kasus ini maka yang harus dikorbankan adalah sang anak. Karena ketika menyelamatkan seorang ibu kemungkinan sang ibu bisa hamil kembali. Tapi ketika yang diselamatkan sang anak, anak tersebut hanya akan dibesarkan oleh sang ayah seorang.

Contoh lain juga terdapat pada surat An-Nisa: 148

لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

”Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terang-terangan kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nisa: 148)

Perkataan yang buruk adalah suatu hal yang tidak baik, sedangkan zalim ke pada orang lain juga termasuk perbuatan tercela. Alah SWT tidak menyukai perkataan, dengan demikian perkataan yang buruk adalah hal yang mafsadat karena segala sesuatu yang makruh adalah mafsadat, tapi jika ada orang yang zalim kepada kita maka kita diperbolehkan mengucapkan perkataan yang buruk itu karena untuk menangkal kerusakan yang lebih besar bisa dilakukan dengan kerusakan yang lebih kecil.

3. Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.

Apabila terkumpul antara maslahat dan mafsadat dan antara maslahat dan mafsadatnya sama-sama kuat, maka menolak mafsadat lebih utama dari pada meraih maslahat.

Contohnya, pada suasana panas, tidak berkumur dalam wudhu ketika berpuasa. Berkumur ketika berwudhu adalah suatu hal yang sunah, namun ketika melakukan kumur-kumur ketika berwudhu dikhawatirkan akan membatalkan puasa, maka lebih baik tinggalkanlah kumur-kumur tersebut.

Tapi apabila mafsadatnya lebih besar maka yang harus dipilih adalah yang maslahatnya. Sebagai contoh:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS Al-Baqarah: 219)

Ayat di atas menjelaskan bahwa khamr memiliki maslahat dan juga mafsadat. Tapi menurut ayat di atas, mafsadat dari khamr lebih banyak dari pada maslahatnya. Maka dari itu tinggalkanlah khamr.

A. Kesimpulan

Dari penjelasan penggunaan kaidah jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid tersebut dapat disimpulkan bahwa, jargon “Islam Yes, Khilafah No” adalah sesat dan menyesatkan. Sebab Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Jargon ini menolak sebagian syariat Islam bahkan syariat Islam yang paling utama karena tanpa Khilafah mayoritas syariat Islam tidak bisa diterapkan (khilafah sebagai tajul furudl).

Syariat diterapkan untuk memberikan rahmat. Rahmat bisa diartikan sebagai jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid, yakni menghasilkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Yaitu terpenuhinya semua yang menjadi kemaslahatan umat seluruhnya, muslim ataupun nonmuslim, serta menjauhkan mereka dari segala kemudaratan, yang bentuk kongkritnya adalah terjaganya agama, terjaganya akal, keturunan, harta, kehormatan, keamanan dan terjaganya negara, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Asy Syatibi sebagai maqashidusy syariat.

Tidak bisa dibenarkan menolak Islam kaffah dan Khilafah karena ada warga nonmuslim di dalamnya, sehingga dianggap akan membawa keburukan, perselisihan, pertentangan, diskriminasi, dan tidak toleran. Anggapan tersebut sejatinya adalah fitnah yang sangat keji terhadap syariat Islam dan Khilafah. Dalam buku The Preaching of Islam, orientalis dan sejarawan Kristen, Thomas W. Arnold, mencatat bahwa keadilan Kekhalifahan Islam membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khilafah dibanding dipimpin oleh Kaisar Romawi walau sama-sama Kristen. Ini adalah bukti kongrit yang tidak bisa dibantah.

Jadi ketika Islam diterapkan secara utuh dalam institusi Khilafah, bukan hanya muslim tetapi nonmuslim juga memperoleh rahmat Allah. Inilah yang telah terbukti selama berabad-abad penerapan Islam dalam sistem kekhalifahan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (QS Al-Anbiya: 107)

Karena itu maka relasi agama dan negara tidak bisa dipisahkan karena keduanya seperti dua sisi mata uang. Agama adalah pondasi (asas), dan kekuasaan (negara) adalah penjaga (hariis). Ketika agama diterapkan oleh negara (Khilafah) maka kemaslahatan akan dirasakan semua umat manusia (tidak hanya umat Islam saja) karena di mana diterapkan syariat Islam maka akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudaratan akan dihilangkan. Oleh karena itu, jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid adalah hasil penerapan agama oleh negara (Khilafah). Allahu a’lam.

[SM/Ln]