Oleh: Ustazah Asma Amnina, S.E
Suaramubalighah.com, Opini – Sekilas tentang Gagasan Pembentukan Majelis Ulama Perempuan Internasional
Pasca Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) bergulir, kini muncul gagasan pembentukan Majelis Ulama Perempuan Internasional. Bahkan Wakil Presiden 2023 Ma’ruf Amin mendukung pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global tersebut. Keberadaan majelis ini sebagai upaya memberikan ruang bagi perempuan menggali potensi untuk berkontribusi dalam isu-isu global, serta mendukung kesetaraan gender yang sesuai dengan syariah Islam. Hal ini disampaikan saat menerima cendekiawan perempuan Mesir Nahla El-Sabry di kediaman resmi Wapres. (Republika, 21 Desember ).
Penggagas Majelis Ulama Perempuan Global, Nahla Sabry El-Saidy terpilih sebagai 50 wanita paling berpengaruh di Mesir karena dinilai telah banyak memberi kontribusi dalam pengembangan dalam proses belajar mahasiswa Al-Azhar. Ia termasuk wanita pertama yang ditunjuk Al-Azhar dalam sejarah Mesir untuk jabatan sebagai Wakil Dekan fakultas Studi Islam dan Dekan Fakultas Ilmu Islam untuk Pelajar Asing di Nasr City, pada Januari 2019.
Nahla saat ini menjabat sebagai Direktur Markaz Tathwir (Pusat Pengembangan Pelajar dan mahasiswa Asing Al-Azhar) menyampaikan pemikirannya dalam forum internasional tentang perlunya pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global, termasuk di Indonesia. Menurut Nahla yang dikutip dari siaran pers BPMI Setwapres, di Pakistan sudah dibentuk majelis seperti ini, berharap agar di semua negara yang berpenduduk muslim seperti di Indonesia bisa juga dibentuk. Meski saat ini sudah banyak perempuan menempati posisi penting, tetapi Nahla menilai masih banyak yang belum memahami konsep sesungguhnya tentang perempuan dalam Islam. Karena itu ia berharap ada forum yang mendukung kesetaraan yang tidak bias dan tidak zalim. Majelis ulama perempuan ini yang akan memetakan dan merumuskan cara berpikir muslimah yang sesuai dengan Islam menurutnya.(CNBC Indonesia.com, 22 Desember 2023)
Semangat pembentukan Majelis Ulama Perempuan Internasional sama dengan KUPI di Indonesia. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 November 2022 di Jawa Tengah menggandeng perguruan tinggi dan pesantren. Pelaksanaannya di UIN Walisongo Semarang dan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara. Lembaga yang menjadi pengusungnya adalah lembaga yang juga menjadi pengusung liberalisasi agama dan gender yang dikenal sebagai feminis muslim, yakni Rahima, Fahmina, Alimat, AMAN Indonesia dan Gusdurian. Acara tersebut dihadiri kurang lebih 1500 peserta yang berasal dari 31 delegasi luar negri yang terdiri dari negara Burundi, Kanada, Mesir, Finlandia, Perancis, Jerman, Hongkong, Hungaria, India Kenya,Indonesia, Malaysia, Maroko, Pakistan, Philipina, Suriah, Sri Langka, Thailand, Belanda ,Tunisia, Turki, United Kingdom dan Amerika. Menurut Ruhah Masrurach selaku panitia mengungkapkan bahwa, KUPI-2 selanjutnya bertujuan menjadi ruang refleksi ulama perempuan, sekaligus konsolidasi pengetahuan ulama perempuan Indonesia dan seluruh dunia selama 5 tahun terakhir. (Suaramubalighah,Ta’bir Afkar, 6-12-2022)
Sebelumnya telah diadakan acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-1 yang digelar di Cirebon pada Selasa, tanggal 25 April 2017. Seminar yang merupakan bagian dari acara kongres menampilkan penuturan ulama perempuan dari Pakistan, Nigeria dan Kenya. Mereka adalah para feminis muslimah menuturkan bagaimana menghadapi masalah radikalisme di negaranya. Menurut ulama perempuan Pakistan bahwa di negaranya, perempuan seringkali menjadi sasaran dakwah yang mengandung paham radikal. Bushra Qadeem, ulama perempuan Pakistan menganggap para ulama perempuan mampu untuk menjadi agen perubahan. Dia meyakinkan para ibu agar menjadi agen perubahan sehingga anak-anak mereka tidak terlibat radikalisme. Institusi kami membangun pandangan yang melawan bias dari masyarakat terhadap perempuan. Menganggap pesantren, kelompok kajian Islam sebagai tempat yang rawan paham radikal. (BBC NewsIndonesia, 26-4-2017).
Pembentukan Majelis Ulama Perempuan Internasional Mengokohkan Gerakan Feminis dan Kesetaraan Gender secara Global
Mencermati berbagai fakta dan tujuan pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global tersebut sangat terbaca dengan jelas betapa berbahaya bahkan cenderung merusak nilai-nilai Islam. Di mana forum tersebut para feminis mendukung kesetaraan gender dan menaruh curiga kepada tempat-tempat kajian Islam. Forum Majelis Ulama Perempuan ini yang akan memetakan dan merumuskan cara berpikir muslimah dengan pola pikir feminis. Feminis menyeru penerapan konsep gender secara global, akan tetapi di saat yang sama merasakan penindasan dan penghinaan di seluruh dunia di bawah payung keuntungan dari tatanan dunia hari ini, dimana perempuan dan anak perempuan tidak dijamin hak-haknya termasuk hak menjalankan syariat Islam. Bahkan hari ini mereka berdiam diri terhadap kekerasan yang menimpa perempuan di Rohingya, Palestina, Suriah dll.
Tujuan pembentukannya pun terkesan memaksakan gagasan-gagasan feminisme dengan memberikan ruang bagi perempuan berekspresi sesuai yang dikehendaki dan mengesampingkan batasan-batasan syariat Islam. Menganggap para perempuan yang tidak terlibat di ruang publik, yang taat pada suami karena posisi suami sebagai qawwam, menutup aurat sesuai syariat dicap terbelakang, dan dianggap salah memahami ajaran Islam. Begitu pula fenomena kongres KUPI, yang dalam pelaksanaannya menggandeng Perguruan Tinggi dan Pesantren tapi di saat yang sama mereka memfitnah pesantren, tempat ibadah menurutnya rawan paham radikal. Seperti fakta yang terjadi di Pakistan, menilai pesantren dan tempat kajian rawan paham radikal, sehingga mereka bersikap untuk memberikan gagasan-gagasan feminis yang justru akan mengeksploitasi perempuan. Gagasan-gagasan ini semua semakin memperkokoh gerakan feminis dan kesetaraan gender.
Upaya pembentukan Majelis Ulama Perempuan untuk menggali potensi para perempuan dalam hal ini muslimah, agar bisa berkontribusi dalam isu-isu global dan kesetaraan gender justru menjauhkan agama dari kehidupan. Menghapus otoritas agama dalam kehidupan pribadi dan sosial khususnya masalah perkawinnan, perwalian, dan waris. Perspektif syariat Islam mereka sesuaikan dengan perspektif konsep gender. Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan aturan perempuan sesuai keinginan mereka. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an mereka pandang sering menghambat konsep persamaan dan kesamaan laki-laki dan perempuan. Berdasarkan Analisa fakta dan tujuan pembentukan majelis tersebut di atas terbukti mengokohkan gerakan feminis dan kesetaraan gender, dimana para feminis dan pengusung kesetaraan gender berkumpul dalam satu forum dengan tujuan yang sama untuk merubah cara-cara berkehidupan menjadi tidak alami bahkan melawan aturan yang sahih.
Istilah ulama perempuan yang mereka pakai sebagai nama forumnya ternyata tidak terbatas pada ulama berjenis kelamin perempuan, tetapi seluruh ulama yang memiliki perspektif perempuan. Hal ini diungkapkan oleh Faqihuddin selaku sekretaris SC di forum KUPI-2. Istilah keulamaan yang dia maksudkan tidak hanya merujuk pada mereka yang menguasai ilmu agama tetapi juga mereka yang menguasai seluruh ilmu pengetahuan. Artinya siapa saja yang memiliki keilmuan dan pengalaman yang tidak harus merujuk pada penguasaan ilmu agama dalam hal ini Al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian tidak salah lagi kalau dikatakan gerakan ulama perempuan inilah merupakan gerakan feminis atau kesetaraan.
Dampak Kerusakan Gerakan Feminis atau Kesetaraan, pada Kehidupan Perempuan, Generasi dan Keluarga
Feminisme membentuk pandangan tentang kesuksesan Perempuan yaitu mandiri secara finansial, karir sukses, berbagi tugas dan peran dengan laki-laki dalam kehidupan pernikahan, keluarga dan masyarakat. Perempuan punya hak sama dalam pembagian upah, kontrol reproduksi dan juga aborsi. Bahkan seluruh duniapun dipaksa merayakan hari perempuan dan mengejar kesetaraan gender sampai ke target planet 50:50 di 2030. Barat saja belum bisa mencapai kesetaraan gender, apalagi negara yang masih mengadopsi ide-ide Barat. Konsep kesetaraan gender yang dianut memusuhi dan menyerang Islam dan menganggapnya sebagai penghalang besar bagi peluang keuntungan besar yang bakal diterima korporasi global.
Sistem kapitalisme nyata mereduksi nilai perempuan yang dianggap berharga bila mandiri secara finansial, kapitalisasi ini atas nama kesetaraan gender. Tenaga kerja perempuan punya keunggulan komparatif sehingga ditebarkan propaganda demi memobilisasi keterlibatan perempuan secara ekonomi. Isu-isu gerakan feminisme melahirkan beraneka respon dari berbagai pihak di dunia Islam, di antaranya makin banyaknya para propagandis feminisme baik individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM. Feminisme merupakan derivasi ide sekularisme atau sosialisme yang akhirnya menginfiltrasi dunia Islam. Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan feminis atau kesetaraan gender tersebut benar-benar merusak kehidupan perempuan dan generasi muda yang menjadi target utamanya.
Kemaslahatan perempuan, generasi dan keluarga tidak akan pernah ada jika berjuang di ranah politik kapitalisme. Sekalipun perempuan yang menjadi penentu kebijakan, tetap saja nasibnya tidak akan berubah karena persoalan mendasarnya bukan pada siapa yang mengatur tapi pada apa yang menjadi sistem aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terdiri dari perempuan, generasi dan keluarga.
Menurut KH.M.Shiddiq Al Jawi, feminisme sebagai ruh gerakan perempuan, diartikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Adapun menurut seorang feminis muslim, Yuhanar Ilyas, selain kriteria tersebut, yakni memiliki kesadaran akan ketidakadilan gender (gender inequalities). Sedangkan yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminis adalah haruslah beragama Islam dan mempersoalkan Islam. Maka tidak heran ketika kehidupan perempuan, generasi dan keluarga makin rusak karena ide gerakan feminisme (kesetaraan gender) ini dipaksakan diterima dan menyalahi fitrah manusia.
Melalui pembentukan Majelis ulama Perempuan Global inilah kaum feminis melakukan gerakan untuk melanggengkan ide busuknya. Menjadikan istilah ulama perempuan sebagai tolok ukur pembenaran yang akan menjadi rujukannya.
Solusi Islam Kaffah telah Memuliakan Perempuan
Kesetaraan gender yang diusung oleh Majelis Ulama Perempuan, apa benar dapat menyelesaikan masalah perempuan? Ternyata setelah dikaji lebih mendalam, sama sekali jauh, dari kata solusi. Bahkan tidak layak diterima sebagai solusi karena terbukti berbahaya, sebab kaum feminis berjuang untuk mewujudkan ambisinya berperan di ruang publik dan merombak struktur sosial bahkan mengesampingkan syariat Islam yang merupakan aturan yang benar.
Ide dan konsepnya bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam. Sehingga yang layak menjadi solusi atas semua persoalan perempuan, generasi dan keluarga adalah Islam kaffah, karena hanya Islam kaffah yang telah memuliakan perempuan. Ide dan konsep kesetaraan gender absurd dan wajib ditolak. Islam tidak butuh kesetaraan gender, karena Islam sempurna sebagai ideologi atau asas kehidupan. Justru kapitalismelah sumber munculnya berbagai persoalan perempuan. Sehingga jika ingin solusi yang tuntas, maka segera memilih sistem Islam yang menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai petunjuk dan rahmat.
Sebagaimana ayat yang artinya,
“ Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslim”.
(QS An-Nahl ayat 89)
Tuntutan kesetaraan gender bukan berasal dari Islam. Islam memberikan status mulia bagi perempuan yang mau taat dan rida Islam sebagai pedoman hidupnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya sebagai berikut ;
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan Perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul–Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. Wallahu a’lam bishshawab.
(QS Al-Ahzab ayat 36)
[SM/Ln]