Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini – Ilusi Demokrasi untuk Nasib Ibu
Perempuan Berdaya, Indonesia Maju adalah tema yang diusung dan ditetapkan oleh Menteri PPPA, Bintang Puspayoga pada momentum Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-95 yang diperingati pada tanggal 22 Desember tahun 2023.
Berdaya dalam KBBI artinya adalah berkekuatan; berkemampuan; bertenaga; kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak untuk mengatasi masalah. Itu berarti tema Perempuan Berdaya, Indonesia Maju, merupakan bentuk harapan dan pengakuan terhadap kaum perempuan Indonesia agar menjadi bagian dari aset, potensi, dan investasi penting bagi negara yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berkontribusi demi kemajuan Indonesia.
Melalui PHI ke-95 ini, pemerintah telah memberikan kesempatan yang ideal dan juga penghargaan bagi para perempuan Indonesia untuk berperan dalam pencapaiannya di berbagai bidang secara signifikan sesuai kapabilitas dan kemampuannya. Terutama dalam konteks pembangunan yang diusung oleh pemerintah yang menerapkan sistem kapitalisme-demokrasi saat ini.
Peran perempuan dianggap sebagai salah satu instrumen yang memiliki kekuatan dalam pemberdayaan perempuan untuk pertumbuhan ekonomi dan mempromosikan kesetaraan gender, peningkatan pelindungan terhadap perempuan, mendorong partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan, serta memotivasi perempuan untuk mengambil peran aktif dalam memajukan negara. Dengan terus menggaungkan dan menggelorakan catatan-catatan emas tentang rekam jejak perjuangan perempuan untuk merayakan keragaman budaya dan warisan perempuan Indonesia. Dikutip dari www.kominfo.go.id.
Hal ini berarti bahwa pemberdayaan perempuan dalam konsep sistem kapitalisme-demokrasi yang diterapkan di negeri ini menganggap bahwa perempuan berdaya adalah perempuan yang telah berperan aktif di ruang-ruang publik. Termasuk berdaya dari sisi ekonomi adalah mereka yang memiliki penghasilan dan tidak bergantung secara ekonomi terhadap laki-laki. Sehingga perempuan yang berjuang mencurahkan waktu dan tenaganya untuk mencari nafkah demi membiayai hidupnya sendiri dianggap sebagai bentuk pemberdayaan terhadap perempuan. Sebab tujuan pemberdayaan perempuan di sistem kapitalisme-demokrasi adalah mendorong para perempuan untuk berdaya di berbagai bidang dengan mendobrak sistem patriarki terhadap perempuan yang jamak terjadi di masyarakat dan dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap perempuan.
Sementara di sisi yang lain, perempuan yang memiliki peran ibu rumah tangga yang bertugas untuk membentuk kualitas generasi emas peradaban sebagai penerus bangsa dan pendidik pertama di dalam keluarga dianggap sebagai peran yang tidak menantang. Bahkan untuk sebagian perempuan dianggap sebagai belenggu yang menghambat kemajuan perempuan. Jika demikian, Perempuan Berdaya, Indonesia Maju, akankah terealisasi? Atau justru perempuan khususnya ibu, malah menjadi tumbal dan tiang penyangga keruntuhan sistem kapitalisme-demokrasi?
Eksploitasi Perempuan dengan Jargon “Perempuan Berdaya” dalam Sistem Kapitalisme-Demokrasi
Munculnya perdebatan tentang peran perempuan di era modern ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran kesetaraan gender yang terus digaungkan oleh para pegiat feminisme. Paham feminisme adalah paham yang berasal dari Barat dan lahir dari ideologi Kapitalisme-Demokrasi.
Paham ini dijajakan di negeri-negeri muslim dalam berbagai bentuk dan wajah, dengan tujuan agar para muslimah jauh dari pemahaman Islam beserta syariat-syariatnya. Sehingga tanpa disadari perempuan terjebak di dalamnya. Sebagai contoh misalnya, jargon Pemberdayaan Perempuan yang dipakai untuk mempromosikan kesetaraan gender oleh para pegiat feminisme.
Jargon ini telah menjadi gagasan yang mendorong para muslimah termasuk para ibu, untuk berlomba-lomba terjun dan berkontribusi dalam dunia kerja dan bisnis agar menjadi sukses. Demi mengejar karier dan mampu mandiri secara finansial. Sebab dalam pandangan sistem kapitalisme-demokrasi, ketergantungan perempuan secara ekonomi terhadap laki-laki dalam pernikahan dianggap sebagai bentuk lain dari perbudakan yang telah membelenggu para perempuan. Sehingga perempuan dinilai tidak mandiri dan kompatibel di masyarakat.
Bahkan ketergantungan perempuan secara ekonomi terhadap laki-laki di dalam pernikahan juga dituding sebagai salah satu sebab pemicu munculnya berbagai tindak kekerasan dalam rumah tangga. Karena perempuan dipaksa tetap harus bertahan dalam rumah tangga walaupun merasa tidak bahagia sebab khawatir terjadi perceraian.
Padahal jargon ini merupakan bentuk kebohongan dan penipuan untuk menyembunyikan kegagalan sistem kapitalisme-demokrasi dalam menyejahterakan perempuan. Jargon ini bagaikan serigala berbulu domba, menyusup ke negeri-negeri muslim dan menjadi salah satu bagian strategi kolonialisme politik dan budaya. Yang mencengkeram dan merusak seluruh lini kehidupan kaum muslim, baik terhadap lembaga pernikahan, peran keibuan serta keharmonisan rumah tangga.
Karena fakta sesungguhnya adalah ketika perempuan didorong untuk berpartisipasi ke dalam dunia kerja dan bisnis, justru perempuan telah terperangkap ke dalam kebijakan global negara-negara Barat termasuk IMF dan PBB. Eksploitasi ekonomi secara sistematis, terhadap perempuan, menjadikan mereka tenaga kerja murah bagi perusahaan dan pemerintahan kapitalisme-demokrasi, untuk meraih keuntungan dan pendapatan yang lebih besar bagi segelintir pemilik modal yang rakus.
Dan lebih jauh lagi, kondisi ini semakin memperburuk problem perempuan. Sebab secara fakta walaupun perempuan terus bekerja keras, namun kemiskinan, penderitaan dan kesulitan ekonomi tidak pernah benar-benar hilang. Tapi justru semakin membuat para perempuan mengalami putus asa dan depresi yang akut. Hingga akhirnya para perempuan yang bekerja justru semakin merasa tertindas dan tidak bahagia.
Ibu Mulia dan Bahagia dalam Sistem Islam
Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki posisi dan kedudukan yang tinggi, dan bahkan dianggap sebagai salah satu makhluk yang mulia, saat ia menjadi seorang ibu. Perempuan di dalam Islam tidak perlu meminta apalagi menuntut dan memperjuangkan hak-hak mereka agar setara dengan laki-laki seperti yang dilakukan oleh para pegiat feminisme dengan ide kesetaraan gendernya.
Di dalam Islam kedudukan perempuan dan laki-laki berdasarkan sifat-sifatnya sebagai manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan Allah SWT. Demikian pula di dalam hubungan keluarga dan sistem interaksi sosial di masyarakat, kedudukan perempuan dan laki-laki tidak mengenal sistem patriarki. Mereka memiliki kedudukan yang sama yang telah dijamin kebahagiaannya. Hal ini telah dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya,
Yang artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki- laki dan perempuan yang khusyu‘, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab : 35)
Begitu pun di dalam hubungan keluarga, Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki merupakan dua pihak yang memiliki kedudukan yang setara, yang wajib bekerja sama dalam menciptakan keluarga dan masyarakat yang harmonis, bahagia dan sukses. Masing-masing pihak, baik kaum laki-laki maupun perempuan mereka harus mampu bersikap sebagai relasi yang saling membantu sesuai dengan peran masing-masing. Yaitu, perempuan sebagai ummu warabbatul bayt dan madrasatul ula, sementara laki-laki sebagai qawwam yang bertugas mencari nafkah. Tanpa terperangkap oleh tuntutan pengakuan “siapa yang lebih mulia” berdasarkan potensi kesetaraan gender sebagai bentuk pengakuan dan eksistensi diri karena kedudukan, peran dan tugas yang diemban di dalam keluarga dan masyarakat. Seperti halnya yang menjadi tuntutan kaum feminisme.
Bahkan di dalam masalah ekonomi, perempuan juga memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi. Perempuan boleh bekerja dan mandiri secara ekonomi dalam menguasai, mengelola, mewarisi dan juga mendistribusikan harta yang mereka miliki sesuai dengan kehendaknya. Para perempuan memiliki hak penuh terhadap kepemilikan harta mereka meskipun terikat dalam ikatan pernikahan maupun perceraian. Seorang suami tidak berhak memiliki dan menggunakan harta istri tanpa keridaan pihak Istri. Sedangkan harta milik suami, atas izin suami seorang istri memiliki hak dalam kepemilikan dan pengelolaannya.
Hal ini terjadi karena ketika perempuan terikat dalam hubungan pernikahan maka perempuan berhak mendapatkan nafkah dari suaminya meskipun mereka memiliki harta dalam jumlah besar. Setiap muslimah wajib dinafkahi oleh suami mereka, ayahnya saat masih anak-anak. Dan saat renta, seorang anak juga wajib memberi nafkah kepada orang tuanya. Sebab bagi seorang muslimah, mereka tidak harus menanggung beban untuk mencari nafkah.
Khatimah
Sistem Kapitalisme-Demokrasi telah menipu perempuan dengan euforia PHI yang diselenggarakan setiap tahun. Dalam kemasan beragam jargon dan mimpi perempuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka melalui perspektif gender, baik dalam hal penyebab maupun solusinya. Padahal sesungguhnya sistem kapitalisme-demokrasilah sumber petaka bagi perempuan dan generasi.
Maka sejatinya solusi hakiki bagi perempuan adalah kembali pada sistem syariah Islam yang diterapkan secara kaffah dalam kehidupan bernegara. Munculnya seluruh persoalan pelik yang terjadi di tengah-tengah umat manusia saat ini, sejatinya bersumber dari ditinggalkannya sistem hukum yang berasal dari Allah SWT.
Oleh karena itu, agar perempuan dan generasi hidup dengan sangat nyaman, aman, terlindungi, tanpa rasa khawatir bagaimana nasib mereka ke depan, hari ini, dan seterusnya. Maka Islam harus segera ditegakkan dalam sebuah institusi negara Khilafah Islamiah. Sebab berdasarkan catatan sejarah peradaban Islam, telah terbukti dalam rentang 13 abad lebih atau 1336 tahun lebih, hanya sistem Islam yang terbukti telah mampu melindungi perempuan dan generasi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[SM/Ln]