Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Menjadi ibu salihah yang tangguh adalah dambaan setiap muslimah. Karena bagi mukminah, ibu adalah peran dan posisi mulia yang sangat prestisius, demi menyempurnakan jalan hidupnya sebagai hamba Allah Ta’ala. Terlebih dalam Islam, ibu punya peran yang sangat strategis bagi lahirnya generasi tangguh bermental pemimpin. Generasi yang akan melanjutkan proyek pembangunan peradaban Islam mulia. Maka, jika suatu bangsa atau negara ingin mengambil posisi sebagai pemimpin peradaban dunia, ia harus memberi perhatian besar dan serius terhadap peran seorang ibu.
Generasi Tangguh Hanya Lahir dari Ibu Hebat
Anak yang hebat dan tangguh sesungguhnya hanya lahir dari genggaman seorang ibu hebat yang tangguh pula. Yaitu seorang ibu salihah yang paham visi hidupnya sebagai hamba Rabb-nya, yang siap menjalankan berbagai ketaatan, sebagai buah dari keyakinannya pada Islam sebagai satu-satunya way of life yang sahih. Baginya, dunia ini adalah tempat beramal shalih sebagai bekal perjumpaan dengan Rabb-nya. Tidak ada yang dia harapkan kecuali rida Allah, karena itulah arti kebahagiaannya. Dia tidak silau oleh kesenangan dunia yang menipu. Karenanya, dia membangun komitmen kuat untuk ikut berjuang di jalan dakwah, demi meninggikan agama Allah. Agar Islam selalu eksis memimpin dunia, menebarkan rahmatan lil alamin, dan mampu membawa umat Islam menjadi khairu ummah. Dia juga terus menyempurnakan misinya sebagai ibu peradaban, dengan mengoptimalkan peran strategisnya yang mulia sebagai pendidik dan pencetak generasi pemimpin.
Sosok ibu tangguh yang seperti inilah yang telah melahirkan generasi tangguh bermental pemimpin dalam masyarakat Islam di masa lalu. Sejak masa Rasulullah saw hidup, masa khulafaa’ ar-raasyidin, hingga era peradaban Islam terakhir dalam kepemimpinan kekhilafahan Turki Utsmaniyyah. Sejarah pun telah mencatat dengan tinta emas, bahwa kehidupan masyarakat dalam naungan peradaban Islam, sarat dengan tokoh berpengaruh, para cendekiawan hebat, dan para ulama besar.
Para khalifah dan pemimpin negaranya pun, menorehkan kisah kepemimpinan terbaik yang mengagumkan. Para pejuang dan tentaranya kerap membawa Islam pada kemenangan gemilang di banyak medan jihad dan futuhat. Masyarakatnya diwarnai dengan sosok generasi berkepribadian Islam, bertakwa, bermental mujahid yang pemberani, berpadu dengan kapasitas intelektualitas mujtahid, serta para ulama hanif yang selalu takut pada Allah SWT, tak terbeli oleh dunia yang menipu. Dan itu semua tidak terlepas dari peran besar para ibu hebat yang telah mendidik anak-anak mereka hingga lahir generasi Islam tangguh dan bermental pemimpin.
Tergerus oleh Kapitalisme
Harus diakui bahwa saat ini para ibu dan orang tua menghadapi tantangan zaman yang berbeda dengan era kegemilangan peradaban Islam. Termasuk dalam persoalan pendidikan anak. Kehidupan masyarakat yang kian sekuler telah membuka jalan seluas-luasnya bagi masuknya pemikiran-pemikiran rusak (seperti moderasi beragama, pluralisme dan lain-lain). Juga propaganda gaya hidup permisif, liberal, hura-hura (hedonis), dan jauh dari gaya hidup Islami. Serangan pemikiran, budaya, serta gaya hidup (life style) sekuler liberal kapitalistik itu telah mengepung kehidupan generasi muslim saat ini, dengan propaganda food, fashion, fun, dan film, baik melalui tayangan TV maupun media sosial.
Semua itu tentu saja dapat menyeret generasi muda menjauh dari identitasnya sebagai muslim, melemahkan keyakinannya terhadap Islam kaffah, mengubur dalam-dalam keinginan untuk bangkit, membunuh kerinduan pada kehidupan ideal di bawah naungan sistem Islam kaffah. Di samping itu, generasi muda pun dibuat rela dengan kehidupan sekulernya saat ini, toleran pada berbagai bentuk kemaksiatan dan penjajahan, serta terbajak potensi strategisnya sebagai calon pemimpin peradaban Islam dan memalingkan mereka dari tanggung jawab utamanya sebagai pembangun peradaban Islam hakiki.
Sementara di sisi lain, corak kehidupan sekuler yang berjalan di negeri ini, telah melemahkan pemahaman masyarakat tentang standar perbuatan halal-haram dalam Islam, serta menggeser makna kebahagiaan hidupnya. Dari tujuan utama meraih rida Allah, bergeser menjadi bahagia ala kapitalisme sekuler yang hanya diukur berdasarkan uang, harta benda dan kesenangan duniawi belaka. Sehingga mendorong para ibu untuk ikut berkarir di luar rumah dan cenderung abai pada tugas utamanya sebagai ibu dan manager rumah tangga. Anak-anak pun dititipkan pada asisten rumah tangga, ke lembaga penitipan anak semacam day care, atau pada neneknya, meski sejatinya secara fisik, para nenek dan kakek tidak lagi terformat untuk menjalankan tugas menjaga cucunya.
Maka dapat dikatakan bahwa sistem hidup kapitalistik sekuler telah menggerus kemuliaan peran strategis perempuan sebagai ibu peradaban. Kapitalisme memandang perempuan adalah aset yang harus diberdayakan secara ekonomi. Menurut kapitalisme, peran ibu di rumah tangga dipandang sebelah mata, bahkan dianggap beban dan tak berdaya jika tidak mampu menghasilkan uang. Sungguh sangat berbeda dengan pandangan Islam yang begitu memuliakan perempuan dan kaum ibu. Dan Islam menjamin pemenuhan nafkah para ibu dari suami mereka, atau mahramnya, bahkan negara. Sehingga ibu dapat fokus menjalankan peran strategisnya mendidik anaknya tanpa terganggu oleh persoalan kecukupan nafkah bagi dirinya dan anak-anaknya.
Kondisi ini diperparah oleh tingginya kemiskinan negeri ini, karena kesempitan hidup secara ekonomi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan jurang dalam antara si kaya dan si miskin. Para pengusaha bermodal besar selalu mendapatkan kemudahan untuk menguasai sumber daya alam dan kekayaan negeri ini serta mengeksploitasinya secara brutal atas nama investasi dan pembangunan. Ironisnya itu semua legal karena dibenarkan oleh berbagai produk undang-undang yang diketok palu dalam mekanisme legislasi sistem demokrasi yang berlaku di negeri ini. Walhasil, karena kemiskinan sistemik tersebut, sebagian keluarga di negeri ini harus merelakan para ibu bekerja bahkan menjadi TKW dan terpaksa meninggalkan anak-anak mereka. Kondisi ini tentu makin melemahkan fungsi strategis ibu sebagai pendidik dan pencetak generasi pemimpin yang tangguh.
Menjadi Ibu Dambaan
Menyadari besarnya tantangan zaman yang harus dihadapi dalam mendidik anak di sistem kapitalistik sekuler saat ini, mengharuskan orang tua dan para ibu untuk melipatgandakan kesungguhannya dalam mendidik anak-anak mereka. Orang tua dan para ibu harus mengokohkan komitmennya untuk selalu berpegang teguh pada syariat Islam, sehingga dalam mendidik anak-anaknya selalu terpandu oleh ketentuan hukum syarak. Karena hanya Islam yang layak menjadi rujukan dalam menyolusi setiap persoalan, termasuk dalam urusan pendidikan anak.
Dan dalam hal ini, peran ibu amatlah penting. Karena ibu adalah madrasatul ula bagi anak-anaknya. Maka Islam pun menetapkan beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang ibu agar optimal dalam menjalankan peran strategisnya sebagai pendidik dan pencetak generasi pemimpin peradaban, antara lain:
Pertama, seorang ibu harus memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh. Agar ibu dapat memahami arti hidupnya hanya untuk menghamba pada Allah SWT. Ia akan selalu memastikan amalnya sesuai dengan hukum syarak, termasuk dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu. Ibu yang seperti ini akan mengokohkan keimanan sejak dini pada anak-anaknya. Mengenalkan Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, mengenalkan Rasulullah saw. dan perjalanan hidup dakwahnya, menumbuhkan kecintaan pada Allah dan rasul-Nya, menanamkan muraqabah (merasa selalu diawasi oleh Allah), serta menanamkan keyakinan tentang kekuasaan Allah. Allah sebagai Al–Mudabbir, Allah sebagai Al–Hakim, dan sebagainya. Selain itu, menanamkan keyakinan penuh terhadap kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai wahyu Allah, menanamkan keyakinan akan hari kiamat sebagai hari penghisaban amal manusia, dan sebagainya. Dengan ini, diharapkan anak-anak memiliki keimanan yang kokoh, yang akan menjadi benteng awal dan utama bagi dirinya dalam menjalani hidup sebagai generasi calon pemimpin peradaban.
Kedua, ibu harus memahami bahwa anak adalah amanah Allah SWT. Para ibu dan orang tua memang wajib menjalankan amanahnya untuk menjaga anak dari hal-hal yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam azab neraka. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam QS. At-Tahrim: 6. Pemahaman seorang ibu bahwa amanah ini berasal dari Allah dan akan dihisab di akhirat kelak, akan menjauhkan ibu dari sikap berat dan putus asa saat dihadapkan pada tantangan dalam mendidik anak. Ibu yang seperti ini akan menguatkan kesabarannya dan selalu optimis, serta penuh harap pada Allah SWT akan diberikan kemudahan dalam mendidik anak, disertai keyakinan adanya pahala berlimpah manakala ikhlas menjalankan amanah tersebut
Ketiga, ibu harus memiliki karakter mulia sebagai pendidik. Dengan keimanan yang kokoh dan kepribadian Islam yang agung, seorang ibu akan selalu terdepan dalam kebaikan dan sangat layak menjadi teladan bagi anak-anaknya. Itu karena pada diri sang ibu terwujud karakteristik mulia seorang pendidik yang ikhlas dan penyayang. Ibu yang ikhlas akan menjalankan tugas stretegisnya sebagai pendidik semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan balasan apapun dari anaknya atas semua yang telah diberikannya.
Terkait penyayang, sesungguhnya salah satu hak utama seorang anak adalah memiliki ibu yang penyayang. Ini karena setiap anak lahir dalam keadaan lemah. Agar mampu bertahan, bayi membutuhkan perawatan, ASI, makanan, perlindungan, kehangatan, kasih sayang dan semua bentuk hadhanah lainnya, yang sangat dibutuhkan bagi optimalnya tumbuh kembang anak. Dan itu semua hanya mampu dihadirkan oleh ibu yang penyayang. Sikap penyayang ibu inilah yang akan menumbuhkan rasa percaya diri anak dan mendorong anak aktif mengeksplorasi kehidupan barunya. Namun ibu yang penyayang tidak akan mencurahkan kasih sayangnya tanpa target. Ibu akan mengajarkan anaknya untuk menempatkan rasa cinta dan sayang kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya. Sehingga tertanam dalam diri anak komitmen kuat untuk taat pada syariat Allah SWT, dan siap berjuang di jalan dakwah Islam.
Keempat, ibu harus memahami bahwa anak adalah aset perjuangan dan masa depan umat. Sejak runtuhnya negara Khilafah sebagai perisai (junnah), kondisi umat Islam sedunia terus didera oleh persoalan hidup di segala bidang. Maka umat membutuhkan generasi tangguh sebagai calon pemimpin perjuangan Islam, demi menghadirkan kembali karakter khairu ummah sebagaimana ketentuan Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 110. Dan para pemimpin tangguh itu hanya lahir dari didikan ibu yang tangguh pula. Ibu yang memahami bahwa anak adalah aset perjuangan dan masa depan umat. Maka ia akan terus menumbuhkan jiwa kepemimpinan pada anak-anaknya, menguatkan keimanan dan komitmen anak pada perjuangan dakwah, menanamkan sifat-sifat akhlak terpuji, rela berkorban untuk agama Allah Ta’ala, peduli pada urusan umat, dan sanggup mengambil tanggung jawab besar untuk perjuangan Islam.
Kelima, ibu harus memiliki kesadaran politik Islam. Seorang ibu yang tangguh akan memahami bahwa pengaturan urusan umat harus dijalankan dengan panduan syariat Islam. Pandangannya ini adalah buah dari kesadaran politiknya yang didasarkan pada syariat Islam kaffah yang dipahaminya dalam proses pembinaan (tastqif) dirinya dengan tsaqafah Islam. Sehingga ibu akan punya kepekaan kuat dalam menilai semua pola interaksi dan pengaturan urusan masyarakatnya, dari sisi apakah sesuai dengan tuntunan hukum syarak atau tidak.
Ibu juga akan segera menyadari jika ada bentuk kezaliman yag dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya, dan akan berusaha menghilangkan kezaliman tersebut dengan dakwah Islam. Terutama bentuk kezaliman dan kemungkaran terbesar yang tengah terjadi saat ini, berupa tidak diterapkannya syariat Islam kaffah di tengah-tengah umat. Rakyat kini dipaksa hidup dengan pola interaksi sekuler liberal yang bertentangan dengan Islam. Rakyat pun dipaksa menerima semua kebijakan penguasa yang ditetapkan berdasarkan UU hasil dari proses legislasi dalam sistem demokrasi yang rusak (fasad), meskipun kebijakan itu merugikan dan menyengsarakan rakyat. Padahal sejatinya, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bertentangan dengan Islam, karena demokrasi lahir dari rahim akidah sekularisme, bukan dari akidah Islam. Kesadaran ini menjadikan sang ibu pun serius mendidik anak-anaknya dan mencetaknya menjadi kader dakwah Islam, yang akan mengawal perjuangan umat menghadirkan kembali masyarakat Islam yang seluruh urusannya hanya diatur dengan syariat Islam kaffah.
Keenam, ibu harus memiliki pemahaman Islam tentang pendidikan anak. Secara implementatif, hal ini jelas dibutuhkan oleh para ibu dalam mendidik anak-anak mereka. Seorang ibu hendaknya menguasai konsep pendidikan anak dalam Islam, dan juga teknik pendidikan yang dibutuhkan bagi optimalnya tumbuh kembang anak. Ibu juga harus memahami pola pendidikan yang dibutuhkan anak di masa golden age-nya, dan yang diperlukan di tiap fase usia anak. Sehingga pendidikan yang dijalankan dapat menumbuhkan potensi berpikirnya, semua aspek kecerdasannya, serta mengokohkan nilai-nilai ideologi Islam yang sangat penting dalam hidupnya, sebagai generasi tangguh calon pemimpin peradaban.
Demikianlah gambaran sosok ibu dambaan dalam Islam. Dengan seluruh keistimewaannya, ibu akan mampu melejitkan potensi anak-anak dan generasi umat ini. Namun seluruh peran strategis ibu itu harus ditopang oleh support system Islam, berupa penerapan Islam kaffah pada seluruh bidang kehidupan negara. Agar para ibu dapat fokus menjalankan peran penting dan mulianya dalam mencetak generasi bermental pemimpin, tanpa harus terganggu oleh persoalan jaminan nafkah, keamanan dan perlindungan anak dan keluarganya dari setiap perkara yang dapat mengganggu proses pendidikan anak, atau yang membahayakan akal, akhlak dan tumbuh kembang anak. Dan support system terbaik itu hanya dapat diwujudkan oleh Khilafah yang benar-benar akan hadir menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Maka untuk mewujudkan sistem bernegara yang sahih tersebut, dibutuhkan aktivitas dakwah politik yang dilakukan secara terarah dan berjamaah oleh kelompok dakwah ideologis, untuk menghadirkan kembali masyarakat Islam dalam naungan Khilafah yang mulia. [SM/Ln]