Oleh: Qisthi Yetty Handayani
Suaramubalighah.com, Mubalighah Bicara — Melansir situs Mubadalah diberitakan bahwa batasan-batasan aurat sangat terpengaruhi oleh konteks sosial, tradisi, atau kebudayaan masyarakat.
“Bagian tertentu dari tubuh perempuan, boleh jadi aurat itu akibat suatu masyarakat atau pada suatu zaman atau di suatu tempat. Tetapi, tidak dipandang aurat oleh masyarakat lain dan pada zaman atau tempat yang lain,” jelas situs itu.
Membahayakan Umat
Aktivis muslimah Qisthi Yetty Handayani menilai, pernyataan di atas sebagai pernyataan yang membahayakan umat.
“Pernyataan bahwa batasan aurat dipengaruhi konteks sosial dan tradisi masyarakat adalah pernyataan yang salah dan membahayakan umat Islam. Sebabnya, jika demikian, maka batasan aurat akan terus berubah sesuai dengan zaman dan tempat,” tuturnya kepada MNews, Kamis (25-1-2024).
Pernyataan itu dikritisi Qisthi sebagai upaya kaum feminis, tidak terkecuali feminis muslim, untuk menyerang syariat Islam, kali ini terkait batasan aurat perempuan. “Mencuplik Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31 mereka menafsirkan secara liberal terkait batasan aurat perempuan,” sesalnya.
Dengan dalih batasan aurat dipengaruhi konteks sosial dan tradisi masyarakat, lanjutnya, kaum feminis berupaya menggiring kaum perempuan untuk menafsirkan batasan aurat sesuai hawa nafsunya masing-masing.
“Pernyataan ini bisa menjadi legitimasi bagi sebagian muslimah yang lemah iman dan kurang ilmu untuk tidak menutup auratnya dengan sempurna. Yang lebih membahayakan, pernyataan tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap syariat Islam dengan dalih tradisi dan konteks sosial. Pada akhirnya, eksistensi syariat Islam akan hilang,” ulasnya.
Ketentuan Asy-Syari’
Qisthi menegaskan, dari banyak nas telah jelas bahwa batasan aurat perempuan adalah ketentuan dari Asy-Syari’ (Allah SWT), di antaranya adalah hadis Nabi saw. riwayat Abu Daud no. 41440, “Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam pun berpaling darinya dan bersabda, ‘Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haid (sudah balig), tidak boleh terlihat dari dirinya, kecuali ini dan ini.’ Beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.”
“Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm mengatakan bahwa batasan aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Hal ini juga dikemukakan Imam An-Nawawi, ulama kenamaan mazhab Syafi’iyah. Ia mengatakan, muka dan telapak tangan perempuan tidak termasuk aurat,” bebernya.
Terakhir, ia menekankan bahwa batasan aurat perempuan bersifat tetap berdasarkan nas-nas syarak, tidak berubah karena konteks sosial atau tradisi masyarakat tertentu.
Sumber: muslimahnews.net
[SM/Ln]