Caleg Stres, Korban Kepalsuan Demokrasi

  • Opini

Oleh: Bunda Nurul Husna

Suaramubalighah.com, Opini – Siap menang tapi tidak siap kalah. Tampaknya inilah yang kerap terjadi pada sebagian besar calon legislatif (caleg) yang ikut dalam kontestasi pemilihan umum di negeri ini. Tidak ada data pasti tentang berapa jumlah caleg yang stres pada pemilu-pemilu yang lalu. Namun yang jelas, untuk mengantisipasi caleg stres akibat kalah Pemilu 2024, sejumlah rumah sakit telah menyiapkan ruangan khusus untuk mereka. Sebut saja RS Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung Jawa Barat, telah menyiapkan ruangan khusus sebanyak 10 ruangan VIP berikut dokter spesialis jiwa, bagi caleg yang kejiwaannya terganggu akibat gagal pada Pemilu 2024. (Antaranews.com, 27/11/2023).

Sementara RSUD dr. Abdoer Rahiem, Situbondo, Jawa Timur, sedang membangun ruang inap jiwa untuk pasien dengan gangguan mental psikologis seperti caleg stres pasca pemilu. Menurut Direktur RSUD ini, Roekmy Prabarini menyatakan, ada sejumlah kasus gangguan jiwa yang harus segera ditangani dan mendapat perawatan. Di antaranya, kecemasan berlebihan hingga halusinasi, meracau, mendengar dan melihat sesuatu yang ilusi, tidak enak makan, bahkan tidak mau mandi. Berdasarkan yang sudah-sudah, banyak caleg gagal yang mengalami gangguan mental tersebut. (Kompas TV, 24/11/2023).

Adapun RSJ Menur Surabaya diberitakan telah bersiap menerima para caleg Jawa Timur yang gagal dan mengalami depresi atau gangguan jiwa. RSUD kota dan kabupaten Tangerang juga telah bersiap-siap menerima caleg stres akibat Pemilu 2024, bahkan telah disiapkan fast track-nya mulai dari pendaftaran, konsultasi hingga pengambilan obatnya. RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta Jawa Barat pun akan menyiapkan ruang khusus kejiwaan untuk mereka (caleg) yang depresi selepas Pemilu 2024, sekaligus menyiagakan dokter spesialis kejiwaan. (Liputan6.com, 1/12/2023).

Berbagai rumah sakit lainnya di berbagai kota pun, melakukan hal yang serupa. Seperti RS Hasan Sadikin, Bandung, RSUD Sayang Cianjur, RSUD dr. Soewandhi, Surabaya, RSU Negara Jembrana, Bali dan sebagainya. (Jawapos, 1/12/2023). Intinya, banyak rumah sakit yang telah disiapkan untuk menerima pasien caleg yang mengalami gangguan kejiwaan atau stres akibat kalah di Pemilu 2024.

Fenomena stres, depresi atau gangguan jiwa lainnya pada caleg gagal pemilu, menjadi bukti bahwa pesta demokrasi dalam sistem sekuler saat ini rawan mengakibatkan gangguan mental. Setidaknya ada dua aspek yang butuh didalami terkait dengan banyaknya caleg stres karena kalah pemilu tersebut. Yaitu, aspek mental para calegnya dan aspek kepalsuan sistem demokrasi.

Sekulerisme Melahirkan Pribadi Bermental Lemah

Caleg stres ketika kalah pemilu menjadi niscaya dalam kehidupan sekuler kapitalistik seperti saat ini, akibat lemahnya mental sang caleg. Padahal mental yang tangguh sangat dibutuhkan bagi setiap orang dalam menghadapi semua persoalan hidupnya. Terlebih bagi para pemimpin, ketangguhan mental adalah perkara penting yang harus ada demi menyempurnakan tugasnya dalam mengurusi urusan rakyatnya.

Namun nyatanya, sistem pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini telah gagal melahirkan generasi berkepribadian mulia dan bermental tangguh. Yang ada justru banyaknya generasi bermental lemah dengan kemampuan problem solver yang rendah, termasuk para calegnya. Karena dalam sistem pendidikan sekuler, peran agama jelas dipinggirkan dalam penyusunan kurikulumnya. Sehingga output yang ditelurkan adalah generasi yang tidak memahami secara benar tentang hakikat dirinya sebagai hamba Allah SWT, yang harus senantiasa menjadikan syariat Islam sebagai pedoman berpikir dan beramal.

Mereka tidak paham bagaimana harus bersikap dalam menghadapi persoalan. Misalnya tentang konsep sabar dan syukur, qonaah dan ikhlas, takdir dan area ikhtiar, dan sebagainya. Mereka tidak paham bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang hanya akan jadi penyesalan, kecuali jika mereka mengambil dan menjalankannya secara benar sesuai dengan panduan hukum syarak. Walhasil, saat harapannya kandas dalam kontestasi pesta demokrasi, caleg rawan stres atau terganggu kejiwaannya akibat kekecewaan yang mendalam dan tidak siap kalah.

Ironisnya, mindset kapitalisme sekuler liberal yang tertancap di benak masyarakat saat ini, justru memandang posisi penguasa, pejabat, dan anggota legislatif sebagai karir politik prestisius, yang bisa menaikkan pamor sosialnya dan mendongkrak level kehidupan ekonominya. Hal ini karena posisi pemimpin atau pejabat dalam sistem demokrasi saat ini, meniscayakan hadirnya berbagai kemudahan, previlage, dan fasilitas materi yang sangat menggiurkan dalam standar hidup masyarakat sekuler kapitalisme liberal.

Masyarakat sekuler menjadikan banyaknya materi dan teraihnya kenikmatan fisik sebagai standar kebahagiaannya, tanpa memperhatikan halal-haram. Maka tak heran jika banyak yang berambisi menjadi caleg karena alasan karir politik semata, dan harapan menaikkan taraf hidup secara sosial ekonomi. Meski ada sebagian caleg yang ikut kontestasi pemilu dengan ikhlas demi bangsa dan idealisme perjuangannya, namun jumlah mereka ini sangat sedikit. Bahkan mirisnya, keikhlasan dan idealisme perjuangan mereka ini justru terbajak oleh sistem demokrasi sekuler itu sendiri, untuk melanggengkan hegemoni penjajahan kapitalisme global. Hal ini akibat kurang utuhnya mereka memahami perjuangan politik Islam hakiki yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Maka dapat disimpulkan bahwa banyaknya caleg stres bahkan terganggu jiwanya, berakar pada rusaknya sistem kehidupan sekulerisme liberal yang diberlakukan di negeri ini. Sekularisme yang mendasari penerapan sistem pendidikan negeri ini, rusaknya standar hidup masyarakat yang liberal dan jauh dari halal-haram, berpadu dengan kekeliruan dalam memaknai arti kebahagiaan, lalu dikokohkan oleh sistem demokrasi yang fasad, sungguh telah menghantarkan pada kondisi masyarakat yang memilukan karena generasinya bermental lemah, tidak clear dalam visi hidupnya, dan tak tegar menghadapi kegagalan.

Demokrasi Bukan dari Islam

Meski demikian, tampaknya sebagian masyarakat masih memandang demokrasi sebagai format bernegara paling ideal yang layak dipertahankan. Demokrasi dinilai dapat menjadi jalan untuk menghantarkan rakyat pada kehidupan yang baik. Padahal faktanya tidak demikian. Karena demokrasi itu sejatinya sistem yang rusak (fasad) dan merusak, bahkan gagal mendistribusikan rasa keadilan, kebaikan hidup, dan kesejahteraan hakiki bagi rakyat.

Dengan pendalaman secara historis, dapat dipastikan bahwa demokrasi bukan berasal dari akidah Islam. Karena sistem politik demokrasi, liberalisme, dan sistem ekonomi kapitalisme lahir dari rahim yang sama, yaitu dari akidah sekularisme.

Prinsip sekulerisme sendiri lahir di Eropa pada abad pertengahan (abad XV), sebagai jalan tengah atau kompromi antara kaum agamawan gereja dan kekuasaan politik raja. Kolaborasi keji antara raja dan gereja di masa itu telah menyisakan trauma sejarah bagi bangsa Eropa yang terzalimi dalam waktu yang lama. Saat itu, agama (Nasrani) memang digunakan sebagai legitimasi kezaliman penguasa terhadap rakyatnya.

Maka sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan negara, dianggap solusi bagi kezaliman yang menimpa bangsa Eropa kala itu. Dalam perkembangannya, sekularisme justru diadopsi oleh mayoritas bangsa di dunia, khususnya setelah keruntuhan Khilafah Turki Utsmaniyah pada 1924. Dari paham sekularisme inilah dikembangkan sistem politik demokrasi ke seluruh dunia. Maka sesungguhnya demokrasi merupakan sistem politik produk akal manusia, dan merupakan sistem kufur karena tidak lahir dari asas akidah Islam.

Dan terkait fasad-nya demokrasi tersebut, Abdul Qadim Zallum (1990) menyatakan bahwa demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar maupun rinciannya, dalam sumber kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang di bawahnya. Hal ini karena, inti ajaran demokrasi adalah kebebasan (liberalisme), dan memberikan hak mutlak pada manusia untuk membuat aturan sesuai kehendaknya. Wakil rakyat atau anggota legislatif punya hak menetapkan hukum dan undang-undang atas nama rakyat. Standar kebenaran pun ditentukan oleh suara terbanyak, bukan halal-haram. Sedangkan paham kebebasan yang dilindungi demokrasi, mencakup kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku, dan kebebasan memiliki sesuatu. Maka dalam demokrasi tidak boleh ada pengekangan terhadap kebebasan tersebut, termasuk agama. Agama dipinggirkan, tidak boleh intervensi dalam mengatur hidup manusia. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ketentuan Islam yang mewajibkan semua perbuatan mukmin selalu terikat dan sesuai dengan hukum syarak.

Kepalsuan Demokrasi

Selain kerusakan dan pertentangannya dengan akidah Islam, demokrasi juga menyimpan kepalsuan yang busuk. Karena demokrasi yang dihadirkan dengan jargon pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, nyatanya jauh panggang dari api. Demokrasi justru melahirkan politik oligarki yang makin menyengsarakan rakyat. Bagaimana tidak, atas nama investasi dan proyek strategis negara, demokrasi memberikan karpet merah bagi para pemilik modal besar (kapitalis) untuk menguasai dan mengeksploitasi secara brutal berbagai sumber daya alam dan kekayaan milik rakyat. Bahkan perampokan kekayaan milik rakyat tersebut dilegalkan oleh undang-undang yang diketok palu di lembaga legislatif hasil pemilu ala demokrasi.

Semua ini makin menegaskan bahwa sistem politik demokrasi meniscayakan adanya perselingkuhan keji antara penguasa dan pengusaha (pemodal/ kapitalis). Dari perselingkuhan politik tersebut, lahirlah berbagai peraturan dan kebijakan yang merugikan dan menzalimi rakyat.

Maka siapa pun yang berhasil duduk di tampuk kekuasaan, akan dipaksa menetapkan berbagai kebijakan dan peraturan yang berpihak pada pemilik modal, bukan demi kepentingan rakyatnya. Penguasa akan tersandera oleh kepentingan pemodal yang telah membiayai ongkos politik kontestasi pemilu ala demokrasi yang memang mahal. Itulah kepalsuan demokrasi. Kebijakan apa pun yang berjalan di hadapan rakyat, sejatinya berasal dari korporasi, oleh korporasi, dan untuk kemaslahatan korporasi. Sama sekali bukan untuk rakyat.

Sungguh berbeda dengan konsep Islam. Dalam sistem politik Islam, pemilu adalah salah satu teknik memilih pemimpin. Sedangkan metode pengangkatan pemimpin (khalifah/ amirul mukminin) dilakukan dengan baiat syar’iy. Dan rentang waktu proses pemilihan pemimpin dalam Islam yang dibatasi hanya dalam tiga hari, meniscayakan ongkos pelaksanaan pemilu sangat murah.

Terlebih para calon pemimpin yang akan dipilih adalah hamba Allah yang terbaik dan paling bertakwa, bukan semata-mata dikenal karena pencitraan. Mereka juga memahami bahwa posisi pemimpin adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah Ta’ala di akhirat kelak. Mereka juga memahami bahwa pemimpin itu berfungsi untuk mengatur urusan rakyatnya, melindungi rakyatnya, serta untuk menjalankan seluruh hukum Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini jelas meniadakan celah masuknya pengaruh oligarki atau para kapitalis untuk mempengaruhi calon pemimpin dalam menetapkan kebijakan.

Demikian juga dengan pemilihan anggota majelis ummah sebagai wakil rakyat. Anggota majelis ummah ini tidak menjalankan pemerintahan, dan tidak pula membuat aturan perundang-undangan. Mereka dipilih langsung dalam pemilu oleh rakyat dalam rangka menjalankan fungsi syura (musyawarah) dan muhasabah lil hukkam (koreksi terhadap penguasa). Mereka dipilih oleh rakyat semata-mata karena ketakwaannya, bagusnya akhlak mereka, dan sikap amanahnya, serta kepeduliannya pada urusan rakyat. Sehingga para wakil rakyat tersebut tidak membutuhkan ongkos politik yang besar untuk kampanye demi memperkenalkan dirinya sebagai orang baik dan amanah. Karena rakyat sendiri yang memilih mereka berdasarkan tsiqah-nya pada ketakwaan dan sikap amanahnya. Bukan karena ambisi personal terhadap jabatan dan kekuasaan.

Inilah gambaran keistimewaan sistem politik Islam. Sederhana dalam pelaksanaan, namun peunuh keberkahan karena di setiap prosesnya selalu didasarkan pada tuntunan hukum syarak.

Maka, jika ada kaum muslimin yang benar-benar ikhlas ingin melakukan perubahan di tengah-tengah umat, jalannya bukan demokrasi. Karena secara asasi, demokrasi sama sekali tidak kompatibel dengan Islam. Demokrasi lahir dari akidah sekularisme yang bertentangan secara diametral dengan akidah Islam. Dan seluruh ide serta ajaran turunan demokrasi (seperti liberalisme, pluralisme feminisme gender, moderasi beragama, dan sebagainya) jelas bertentangan dengan hukum syarak. Mukmin sejati harus menolak dan mencampakkannya, lalu segera kembali pada tuntunan Islam termasuk dalam rangka melakukan perubahan serta amal politik Islam.

Dari penjelasan ini semua, nyatalah bahwa demokrasi hanya melahirkan berbagai kezaliman bagi rakyat, dan menjauhkan umat dari ketaatannya pada Allah SWT. Demokrasi bukan jalan perubahan hakiki. Sistem pemilunya yang sekuler liberal serta berbiaya mahal, bahkan sangat rawan menghantarkan pada stres dan gangguan kejiwaan. Sudah saatnya sistem demokrasi yang sekuler liberal diakhiri.

Jika menghendaki sebuah kehidupan yang sejahtera, penuh kebaikan dan keberkahan, umat harus segera kembali pada sistem politik Islam warisan Rasulullah saw., yaitu sistem negara Khilafah yang agung dan mulia. Dan untuk itu butuh adanya perjuangan Islam yang diemban secara politik oleh kelompok dakwah Islam demi menghadirkan kembali masyarakat Islam di bawah naungan Khilafah. Wallahu a’lam. [SM/Ah]