Pengaburan Konsep Khilafah dengan Negara Bangsa

  • Opini

Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T.

Suaramubalighah.com, Opini – PBNU kembali menggelar Halqah Fiqh Peradaban di Lamongan Jawa Timur yang dihadiri ketua PBNU, pengurus PCNU Lamongan, dan kiai-kiai pengasuh ponpes di Jawa Timur.

Dalam  agenda tersebut, KH. Ahmad Fahrur Rozi ketua PBNU Bidang Keagamaan menyampaikan bahwa Islam di Indonesia itu sudah sangat moderat, banyak toleransi umat beragama di Indonesia, bahkan dunia mengakui demokrasi terbaik ada di Indonesia. Ketika tahun 1945, para kiai telah membuat konsensus dengan NKRI yang bukan negara Islam. karena itu bagian dari peradaban yang sudah maju, sudah ada dalil dan kitabnya. NKRI itu adalah Khilafah, presiden Jokowi sebagai khalifah, sehingga tidak perlu membentuk Khilafah lagi. Peradaban Islam hari ini bentuknya adalah NKRI. (surabayapagi[dot]com).

Pernyataan bahwa NKRI yang notabene negara bangsa dianggap sudah Khilafah harus dibuktikan dengan dalil/ argumen yang sahih (benar).

Konsep Khilafah Berbeda dengan Konsep Negara Bangsa

Khalifah secara bahasa dapat diartikan sebagai penguasa atau pemimpin, dapat juga diartikan sebagai pengganti. Arti Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut khalifah.

Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai ideologi, syariat Islam sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun dengan penamaan atau struktur yang berbeda, namun tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia.

Konsep Khilafah jelas berbeda dengan negara bangsa (NKRI). Khilafah adalah negara global yang menerapkan syariat Islam kaffah yang menjadikan kedaulatan (as siyadah) di tangan Asy-Syari’ (Allah SWT) dan dipimpin seorang khalifah yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan syariat Islam dan diangkat melalui mekanisme baiat in’iqad.

Sedangkan NKRI adalah negara bangsa yang menjadikan kedaulatan di tangan manusia, hukum yang diterapkan hukum buatan manusia yang sarat dengan kepentingan sekelompok manusia yang memiliki modal besar (oligarki). Kepala negara (presiden) yang dipilih pun jauh dari kriteria yang ditentukan syariat Islam. Kepala negara (presiden) acapkali hanya sebagai legitimasi atas keserakahan pengusaha/ oligarki.

Istilah nation state sendiri pertama kali dimunculkan di Barat melalui pemikiran Nicollo Machiavelli (1469-1527). Nasionalisme muncul pertama kali pada abad ke-17 pada masa revolusi Perancis, menyebar pertama di Eropa kemudian ke Amerika, Asia, dan Afrika. Imperialisme berasal dari nasionalisme yang menyebabkan peristiwa Perang Dunia I.

Oleh karena itu menyamakan NKRI dengan negara Khilafah adalah kekeliruan besar dan membodohi umat meski hal itu dibicarakan dan disepakati oleh orang yang dianggap alim/ kiai dalam forum prestise Halqah Fiqh Peradaban.

Tidak menerima Khilafah dengan anggapan ideologi transnasional, mengapa tidak menolak negara bangsa (nasionalisme) yang jelas-jelas dari kafir Barat?

Sistem Khilafah adalah Syariat Islam yang Wajib Diterapkan

Khilafah termasuk ajaran pokok dalam Islam dan penopang eksistensi kaum muslim. Dalilnya surah Al-Baqarah ayat 30. Berikut keterangan wajibnya Khilafah oleh Al-Imam Al-Mufassir Abu Abdillah Al-Qurthubi Al-Maliki (w. 671 H) dalam kitab beliau Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân (Tafsîr Al-Qurthubî):

“Ayat ini (ayat 30 surah Al-Baqarah) merupakan dasar disyariatkannya mengangkat seorang khalifah yang ditaati dan dipatuhi, guna menyatukan suara umat Islam, dan terlaksananya kebijakan-kebijakan khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat Islam dan tidak pula di antara para imam madzhab mereka, akan wajibnya hal tersebut kecuali apa yang diberitakan dari Al-Asham, di mana dia benar-benar tuli terhadap syariat. Termasuk siapa saja yang mengikuti pendapat serta madzhabnya. Ia mengatakan bahwa perkara itu tidak wajib dalam agama Islam, melainkan hukumnya boleh saja. Apabila umat sudah bisa menjalankan haji dan jihad mereka, saling berlaku adil di antara mereka, melakukan kebenaran dari diri mereka, membagikan harta rampasan perang, fai’, dan zakat kepada yang berhak, dan menerapkan hudud atas siapa yang wajib menerimanya, maka itu sudah cukup bagi mereka, dan tidak wajib lagi mengangkat seorang khalifah untuk menangani itu semua. Dalil kami adalah … (lalu beliau menyitir al-Baqarah 30 tersebut, Shad 26, an-Nur 55) dan ayat-ayat lainnya.” (Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar. 2006. Al-Jaami’ li-Ahkaam Al-Qur`an. Beirut: Mu`assasah al-Risalah vol. 1 hlm. 395).

Selain ayat Al-Qur’an, Al-Imam Al-Qurthubi juga mengetengahkan dalil Khilafah lainnya berupa ijmak sahabat. Artinya, dalil Khilafah itu tidak hanya Al-Qur’an. Sehingga kalau pun menolak keberdalilan ayat Al-Qur’an di atas, masih ada dalil lain berupa ijmak sahabat. Bahkan dijelaskan oleh ulama lainnya, dalil Khilafah juga ada yang berupa hadis-hadis Nabi saw. dan kaidah kulliyyah.

Besarnya kewajiban Khilafah sampai-sampai banyak ulama menyebutnya sebagai ahammul wâjibât (kewajiban yang paling prioritas). Maka, tidak heran bila Al-Imam Al-Qurthubi sebagaimana juga Al-Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi dan Al-Imam As-Suyuthi, dan ketiganya adalah ulama Sunni, menggolongkan Khilafah ini sebagai ajaran pokok agama, tumpuan (qiwâm) bagi eksistensi kaum muslim.

Jadi tidak ada alasan yang syar’i untuk menolak sistem Khilafah diterapkan dalam kehidupan kaum muslimin. Dorongan hawa nafsu dan penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati) yang telah menggerogoti kaum muslimin termasuk para alim dan para kiai, menjadi alasan pengaburan Khilafah sebagai syariat Islam .

Umat Islam Butuh Dakwah yang Mencerdaskan

Tuduhan negatif terhadap Khilafah perlu dilawan. Membiarkannya terus berkembang sama saja dengan membiarkan pelecehan terhadap ajaran Islam, juga berarti membiarkan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Rasulullah ﷺ ini untuk dianggap sesat.

Namun, perlawanan tidak boleh dilakukan dengan serampangan dan hanya dorongan perasaan. Kita harus kembali kepada contoh yang diajarkan oleh panutan kita, Nabi ﷺ, dalam menghadapi serangan musuh yang ingin memadamkan cahaya Islam.

Para penentang Islam akan senantiasa ada pada setiap masa. Allah SWT berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ

“Demikianlah, Kami telah menjadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin.” (QS Al-An’am [6]: 112).

Imam Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa ujian yang disebutkan Allah SWT dalam ayat ini tidak hanya menimpa Rasulullah ﷺ, tetapi akan dihadapi juga oleh siapa pun yang mengikuti beliau.

Baginda Rasulullah ﷺ memberikan teladan pada kita bahwa beliau tetap istikamah menyampaikan dakwah Islam sekalipun rintangan terus menghadang. Ini pula yang harus dilakukan kita sekarang, yakni terus menggencarkan dakwah Islam kaffah, tidak henti mencerdaskan umat dengan menyampaikan pemikiran Islam dan aturan-aturannya yang sempurna serta seruan kepada penerapan sistem Islam dalam naungan Khilafah secara gamblang, agar tidak ada pengaburan sistem Islam.

Umat butuh dakwah yang mencerdaskan, dakwah yang akan melawan berbagai pengaburan hingga tuduhan miring (stigma negatif) terhadap ajaran Islam. Dakwah yang tidak sekadar menyalahkan sistem sekarang, melainkan dakwah yang mengungkap kesalahan dan kezaliman dengan disertai fakta-fakta dan analisis valid terkait keburukan sistem sekarang, sekaligus menjelaskan solusi Islam kaffah secara detail dan rinci berdasarkan dalil syara yang digali dari Al Qur’an dan hadis.

Islam sebagai solusi kehidupan dalam Khilafah solutif, bukan imajinatif.    Fakta sejarah kegemilangan peradaban Islam dalam naungan Khilafah tak terbantahkan. Ada pengakuan yang objektif, seperti yang disampaikan oleh Will Durant (1885—1981), sejarawan terkemuka dari Barat, “Agama (ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir, bahkan hingga Maroko dan Spanyol.” Hal ini jelas bahwa Khilafah itu menyatukan keberagaman, toleran, dan adil.

Dakwah yang mencerdaskan inilah yang akan melahirkan para pelaku perubahan yang yakin pada kebenaran yang diperjuangkannya. Narasi Khilafah pun akan terus digaungkan hingga terealisasi kehidupan yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Insya Allah. [SM/Ah]