Oleh : Kartinah Taheer
Suaramubalighah.com, Hadis – Islam menempatkan ibu sangat terhormat dan mulia. Ibu adalah posisi yang sangat bergengsi dan penuh limpahan pahala.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,َ
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
“Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.” (HR Bukhari)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadis tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya” (Tafsir Al-Qurthubi X : 239)
Menurut Ar-Razi: “Seorang ibu mengalami tiga fase kepayahan, mulai dari fase kehamilan, kemudian melahirkan, lalu menyusui. Karena itu, ibu berhak mendapatkan kebaikan tiga kali lebih besar dibandingkan ayah”. Al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa ibu memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan ayah.
Menurut Ibnu Bathal dikutip dalam Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani, hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat Luqman ayat 14,
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun” (QS Lukman: 14)
Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyamaratakan antara ibu dan ayah dalam hal mendapatkan bakti dari anaknya, kemudian Allah menyebutkan khusus ketiga tahap yang dialami oleh seorang Ibu. Lantas, apa saja ketiga tahap tersebut? Beliau menuturkan bahwa tiga tahap yang dimaksud adalah kesulitan seorang ibu pada saat mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ketiga tahapan inilah yang hanya dirasakan oleh seorang ibu.
Begitu pula dengan Imam Adz-Dzahabi rahimahullaah, beliau berkata dalam kitabnya Al-Kabaair:
Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari pada dirinya serta makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu. Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.
Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan. Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat. Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah. Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu. Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut. Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin. Akan dikatakan kepadanya,
ذٰلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدٰكَ وَاَنَّ اللّٰهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ
“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (QS Al-Hajj: 10).
[Imam Adz-Dzahabi, Al-Kabaair hal. 53-54].
Demikianlah Islam menjadikan mulia kedudukan seorang Ibu dibandingkan Ayah. Ada tiga fase yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang Ayah, sehebat apapun dia, yakni mengandung, melahirkan dan menyusui. Semua perangkat untuk menjalankan aktivitas itu ada pada seorang Ibu. Mengandung selama sembilan bulan seorang ibu harus menjaga kondisi bukan hanya untuk dirinya, tapi juga janin yang dikandungnya. Dilanjutkan dengan perjuangan melahirkan yang mempertaruhkan nyawa demi anak yang dilahirkannya. Tidak berhenti sampai di situ seorang ibu akan menyusui anaknya hingga dua tahun merawat dan mendidiknya. Karena itulah Rasulullah sampai mengulang tiga kali bakti seorang anak terhadap ibunya.
Maka suatu hal yang aneh jika karena tiga fase itu kaum feminis menganggap Islam mendiskriminasi perempuan. Bahkan peran mulia seorang Ibu dianggap peran marginal. Bukankah pahala berlipat ganda diberikan pada perempuan khususnya seorang Ibu? Apa yang lebih berharga bagi seorang muslim selain dari pahala dari Allah?
Sayang sekali kehidupan kapitalis hari ini, mengukur berharga atau bernilainya sesuatu adalah dari materi. Sehingga kedudukan Ibu yang bersusah payah hamil, melahirkan dan menyusui dianggap tidak bernilai secara ekonomi. Karena itu para ibu harus terjun di ranah publik menghasilkan uang. Keutamaan dan kemuliaan seorang ibu tergerus dengan berbagai macam eksploitasi berkedok pemberdayaan perempuan. Perempuan dinilai bukan lagi karena peran mulianya sebagai ibu, tapi seberapa besar pundi-pundi rupiah yang dihasilkan. Kapitalisme telah menjadikan kedudukan mulia seorang ibu menjadi sekedar pencetak uang demi keserakahan para kapitalis.
Dalam Islam banyak hadis yang menjelaskan kedudukan mulia seorang Ibu. karena peran mulia itulah Islam memiliki seperangkat aturan yang menjadikan seorang ibu bisa menjalankan kewajibannya, dan tidak dibebani mencari nafkah buat keluarga. Justru ibu dan anak-anaknya di tanggung kebutuhannya oleh suami atau walinya. Jiika keduanya tidak mampu maka tanggung jawab itu beralih ke negara. Karena itu di dalam sistem Islam yakni Khilafah selamanya perempuan tidak wajib bekerja apalagi diharuskan ikut bertanggung jawab meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Walhasil hanya dalam Islam, ibu memiliki ruang hidup yang nyaman untuk menjalankan fungsinya sebagai umm wa rabbatul bait. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]