Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T
Suaramubalighah.com, Opini — Pesta demokrasi menggiring umat Islam termasuk kalangan pesantren untuk memeriahkan bahkan menjadi corong keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Pertemuan dan Rakernas Jam’iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighoh (JPPPM) yang dihadiri 2000 Ibu Nyai Pengasuh Pondok Pesantren hingga pertemuan Harlah Muslimat NU dan apel gelar pasukan 1000 Banser se eks-Kawedana menyatakan sikap netral dalam Pemilihan Presiden 2024. Pernyataan tersebut disampaikan dalam surat petisi yang dibacakan saat Harlah ke 8 JPPPM di Pondok Pesantren Darul Amanah kecamatan Sukorejo, Kendal.
Namun Ketua Umum Jam’iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighoh (JPPPM), Nyai Hj. Hanik Maftuhah, mengimbau masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyukseskan pemilu mendatang, tidak boleh apatis dan tidak boleh golput. Kalau kita golput tentunya akan mengancam keberlanjutan politik berintegritas bangsa Indonesia, terangnya.
Sebagian umat Islam dan Pimpinan Pengasuh Pondok Pesantren masih memandang bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik yang bebas nilai. Hingga mereka berpikir, bahwa demokrasi bisa tetap diadopsi dan diperjuangkan lantaran di dalamnya ada kebaikan-kebaikan.
Demokrasi Sistem Kufur , Rusak dan Merusak
Membicarakan demokrasi bukan hanya sekedar pemilihan presiden dan wakil presiden maupun pemimpin daerah. Demokrasi memiliki pemikiran dasar dan sejarah kelahirannya yang bertentangan dengan Islam. Kata “demokrasi” pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM. Cleisthenes disebut sebagai “bapak demokrasi Athena.
Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah sebuah hal yang didasari oleh rakyat. Abraham Lincoln menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya kedaulatan di tangan rakyat. Penentu hukum atau kebijakan di tangan rakyat bukan di tangan Asy-Syari’. Jelas secara mendasar bertentangan dengan Islam. Islam menetapkan bahwa Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman,
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’aam: 57)
Oleh karena itu dalam buku Demokrasi Sistem Kufur (1990), Syaikh Abdul Qadim Zallum sudah menjelaskan bahwa demokrasi adalah sistem kufur. Umat Islam haram mengambilnya, menerapkannya dan menyebarluaskannya.
Menurut Aristoteles, demokrasi adalah suatu kebebasan, prinsip demokrasi adalah kebebasan. Pilar utama demokrasi yaitu empat macam kebebasan, di antaranya ; kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), kebebasan bertingkah laku (personal freedom). Inilah sumber masalah yang menyebabkan kerusakan di muka bumi.
Demokrasi memandang urusan moral, agama dan keyakinan sebagai wilayah privat. Negara wajib angkat tangan saat semua urusan itu tak mengganggu hak-hak publik. Maka dalam praktiknya, kebaikan dan keburukan, disandarkan pada suara rakyat dengan prinsip suara terbanyak. Padahal suara terbanyak dari rakyat standarnya adalah akal (manfaat) yang faktanya sangat relatif dan subjektif, dan bukan agama (wahyu/Islam).
Itulah kenapa dalam sistem demokrasi, praktik riba, pornoaksi, pornografi, babi dan minol yang jelas-jelas haram dalam Islam, justru bisa jadi legal. Yakni ketika mayoritas rakyat di parlemen dan penguasanya menghalalkannya berdasar kesepakatan. Maka jangan heran jika paham-paham rusak semacam ateisme, feminisme, komunisme dengan mudah tersebar luas. Begitu pun budaya rusak, seperti perzinaan, perselingkuhan, penyimpangan seksual, dan kemaksiatan lainnya menjadi lumrah tanpa boleh diutak-atik oleh negara.
Dalam aspek ekonomi, kebebasan memiliki yang menjadi salah satu prinsip demokrasi nyata-nyata telah membuat ketidakadilan begitu kasat mata. Para pemilik modal dengan mudah menguasai pintu masuk yang menghalangi akses mayoritas rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi yang legal. Namun di saat sama, absennya agama dalam kehidupan membuat berbagai bisnis haram menjadi alternatif pilihan. Tak heran jika di tengah kemiskinan, ketidakadilan dan lebarnya gap sosial, merebak pula bisnis kotor yang merusak generasi masa depan. Dimana negara cenderung diam lantaran didera dilema ketidakmampuan mewujudkan kesejahteraan, dan di saat sama terpasung narasi tentang HAM.
Demokrasi, Jalan Pengukuh Penjajahan
Buruknya realitas demokrasi ini memang tak bisa ditutupi-tutupi. Namun negara-negara Barat tetap intens mempropagandakan agar seluruh bangsa di dunia khususnya negeri-negeri muslim mengadopsi sistem ini. Mereka terus menampilkan kesan bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dan modern. Sementara sistem lainnya apalagi sistem Islam adalah sistem buruk yang layak ditinggalkan.
Dan demi target ini, negara-negara adidaya, tak sungkan-sungkan mengucurkan dana besar untuk mendorong proyek demokratisasi di berbagai negara di dunia. Bagi negara-negara imperialis pengusung ideologi kapitalisme, demokrasi memang merupakan pintu masuk utama untuk melanggengkan penjajahan kapitalisme global. Karena hanya dengan demokrasilah sistem kapitalisme mendapatkan habitat subur untuk pertumbuhannya.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan politik memang telah menjadi alat bagi para pemilik kapital untuk meraih keuntungan. Maka kolaborasi antara keduanya dalam bentuk hubungan simbiosis mutualisma, menjadi hal yang sangat niscaya. Itulah kenapa, demokrasi menjadi sistem politik yang sangat mahal. Karena yang terjadi dalam kekuasaan demokrasi adalah persaingan di antara para pemilik kapital. Tak hanya di level individual, tapi bahkan melibatkan kapitalis selevel negara adidaya.
Wajar jika slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat faktanya berubah menjadi dari kapitalis, oleh kapitalis dan untuk kapitalis. Karena kebijakan penguasa yang naik karena disponsori kapitalis, tentu akan pro kepentingan kapitalis. Realitas demokrasi yang sedemikian tentu bersebrangan dengan Islam. Islam jelas menolak paham sekularisme dan kebebasan. Karena Islam tegak di atas keyakinan bahwa keimanan mengharuskan kehidupan terikat dengan aturan Islam.
Maka seluruh aspek kehidupan, wajib diatur dengan syariat Islam. Termasuk aspek politik yang menjadikan kekuasaan justru sebagai satu-satunya metoda penerapan Islam. Justru penerapan Islam inilah yang akan mencegah segala bentuk keburukan yang justru terbuka lebar dalam sistem sekuker demokrasi kapitalis neoliberal. Maka, menyuarakan demokrasi sama saja menyuarakan kemungkaran dan menjadi bagian dari upaya menjegal kebangkitan Islam.
Peran Penting Ulama Menyuarakan Islam Kaffah
Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya sejelek-jelek keburukan adalah keburukan para ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan para ulama.”(HR Ad-Darimi)
Hadis Rasulullah saw. ini menunjukkan tentang pentingnya posisi para ulama hingga standar pembatas bagi kebaikan dan keburukan dinisbahkan kepada mereka. Peran ulama dalam masyarakat memang tidak bisa diabaikan. Mereka adalah orang yang berilmu, sedangkan ilmu hakikatnya adalah petunjuk. Dengan demikian, kedudukan mereka bagi umat adalah ibarat lentera di kegelapan, sekaligus obat bagi kejahilan.
Karenanya, jika ulama melakukan atau mengatakan hal buruk, lalu diikuti oleh umat, akan tersebarluaslah keburukan. Sementara itu, umat menyangka bahwa mereka ada di jalan yang benar. Sebaliknya, jika ulama melakukan atau mengatakan kebaikan, lalu diikuti oleh umat, akan tersebar luas pula kebaikan hingga kehidupan umat pun akan diliputi keberkahan.
Maka tugas utama dan paling penting ulama hari ini adalah menyampaikan Islam secara kaffah , agar umat mencintai Islam dan terdorong untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah pada level individu, masyarakat dan negara. Dan terwujud kehidupan yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sehingga Islam benar benar menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Dan semoga Allah Ta’ala menolong umat ini dengan hadirnya para ulama akhirat yang berani menyampaikan kebenaran dan siap memimpin perjuangan umat menegakkan sistem Islam. Sebuah sistem yang menjamin terwujudnya kebaikan dan keberkahan. Yakni Khilafah Islamiah yang kembalinya pada akhir zaman sudah dijanjikan. Wallahu ‘alam
[SM/Ln]