Oleh Idea Suciati
Suaramubalighah.com, Opini – Pemilu 2024 menyisakan cela. Mulai dari dugaan kecurangan yang terpampang nyata, hingga berujung memakan korban nyawa. Kecurangan Pemilu banyak ditemukan, paling banyak adalah money politic. Di Bekasi misalnya, viral video salah satu caleg membagikan uang pada warga di daerah pemilihannya. Dalam video nampak seorang warga membuka amplop yang diberikan, berisi sebuah kartu bergambar foto caleg dan uang Rp 100 ribu. (Korantempo.co, 14-02-2024)
Di Cianjur, Polisi menangkap seorang ASN yang diduga membagi-bagikan uang kepada warga agar memilih salah seorang caleg DPRD Cianjur. Dalam penggeledahan, Polisi menemukan bukti berupa spesimen surat suara caleg dan sejumlah uang. Kejadian di atas hanya salah satu saja dari fakta yang bisa terungkap, yang tidak terungkap bisa diperkirakan jauh lebih banyak.
Lembaga pemantau Pemilu Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia menyebut dugaan kecurangan dan pelanggaran yang terjadi pada Pemilu 2024 “lebih parah” ketimbang pemilu sebelumnya. (Bbc.co, 16-02-2024)
Pantauan DEEP Indonesia di tujuh provinsi menemukan logistik surat suara banyak yang tercoblos, tertukar dan hilang. Kemudian ada pula laporan kotak suara tidak tersegel, tempat pemungutan suara terlambat dimulai hingga TPS yang tak aksesibel terhadap disabilitas.
Film Dirty Vote yang rilis menjelang Pemilu semakin membuka tabir tentang berbagai kecurangan yang dilakukan para peserta Pemilu. Parahnya, kecurangan dilakukan secara lebih terstruktur, sistematis, dan masif.
Bagaimana para pejabat aktif berkampanye dengan menyalahgunakan wewenang dan sarana prasarana negara. Paling menonjol adalah pembagian bantuan sosial yang tiba-tiba melonjak menjelang Pemilu. Bansos lalu diatasnamakan paslon tertentu agar meraup suara. Kecurangan seperti ini dikenal dengan istilah politik gentong babi.
Yang lebih menyayat adalah Pemilu demokrasi ini lagi-lagi memakan korban yang tidak sedikit. Korban karena kelelahan hingga berakibat pada kematian yang mencapai 57 orang, banyak petugas KPPS yang mendapatkan penganiayaan atau pukulan dari warga yang kecewa bahkan hingga ada yang dibunuh oleh seorang suami karena istrinya yang sedang hamil tidak didahulukan untuk mencoblos, bahkan caleg yang tidak mendapat suara sesuai yang ditargetkan pun tega menghajar anggota KPPS. Dan masih banyak kasus lainnya. (www.antaranews.com,18-02-2024)
Sistem yang Curang
Berbagai praktik kecurangan dalam pemilu demokrasi adalah sesuatu yang lumrah. Secara teknis, Pemilu di Indonesia memang sangat komplek, akibat kondisi geografis indonesia yang luas dan penduduknya yang banyak. Sementara, basis data dan pengolahan data Indonesia masih sangat lemah dan tidak pernah akurat, menjadi celah mudahnya manipulasi suara.
Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang. Padahal, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara. Proses pengawasan pun sangat minim dan cenderung formalitas. Kasus-kasus pelanggaran Pemilu tidak pernah diselesaikan serius hingga membuat jera.
Selain itu, terdapat relasi patronase politik yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, calon legislatif (caleg) dan pemilih. Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral. Bukan hanya relasi personal namun relasi struktural akhirnya digunakan. Di sinilah banyak pelanggaran berupa penyalahgunaan wewenang pejabat aktif.
Persoalan teknis di atas sejatinya berpangkal pada persoalan sistem demokrasi yang diterapkan. Sistem Demokrasi tegak atas asas sekularisme yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan, menjadikan kebebasan manusia di atas aturan agama. Tak peduli lagi halal atau haram, yang penting menang. Tak peduli jika sampai menjatuhkan korban, demi kepentingan. Praktik suap, jual beli suara, pemalsuan tanda tangan, menekan secara struktural dan bentuk kecurangan lain sah-sah dilakukan, karena nilai agama tak lagi digunakan, kecuali hanya untuk meraup suara dengan pencitraan.
Di sisi lain, masyarakat pun pragmatis. Asal dapat bantuan, tak masalah mencoblos yang mana. Banyak juga yang mengharap perubahan terjadi sehingga berprinsip setidaknya memilih yang paling baik di antara yang ada. Padahal, semua pilihan tidak ada yang beda. Sama-sama melanjutkan sistem yang sudah ada. Hanya slogan-slogannya saja yang berbeda.
Jika proses meraih kekuasaan penuh dengan kecurangan dan manipulasi, pemimpin seperti apa yang dilahirkan? Nyatanya, Pemilu demokrasi melahirkan pejabat yang korup. Menurut studi Komisi Pemberantasan Korupsi, penyebab paling besar tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat yang terpilih dari proses pemilu (pilkada maupun legislatif) adalah ongkos politik yang mahal. Biaya politik calon bupati atau wali kota rata-rata mencapai Rp30 miliar. Sementara gaji bupati atau wali kota terpilih selama 5 tahun, di bawah biaya politik tadi. Begitu pula biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Sedangkan untuk pemilihan presiden, biayanya tidak terhingga alias unlimited. Kondisi tersebut akhirnya menjadikan korupsi sebagai jalan pintas untuk pejabat publik mencari ongkos tambahan.
Akhirnya, rakyat yang dianggap suaranya menentukan nasib bangsa hanya menjadi stempel bagi kekuasaan. Setelah yang menang berkuasa, bukan suara rakyat yang didengar, melainkan suara pemilik modal, akibat politik balas budi pasca pemilu. Rakyat malah dibebani rakyat dengan setumpuk hutang, pajak, dan beban hidup yang kian tinggi. Janji-janji indah saat Pemilu tinggalah janji. Perubahan yang dimimpikan pun jauh panggang dari api. Inilah fakta sistem demokrasi yang cacat dan curang dari asasnya.
Pemilu dalam Sistem Islam
Dalam Islam metode baku pengangkatan kepala negara (khalifah) adalah bay’at syar‘i. Adapun Pemilu (pemilihan langsung) boleh dipakai sebagai salah satu uslub (cara) untuk memilih khalifah. Sebagaimana pernah dilakukan ketika pemilihan khalifah setelah Khalifah Umar bin Khattab ra. Utsman bin Affan akhirnya terpilih sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-3.
Namun, Pemilu sebagai uslub memilih pemimpin dalam islam sangat berbeda dengan Pemilu sistem demokrasi. Pemilu dalam Islam digunakan untuk memilih pemimpin atau khalifah yang akan menjalankan hukum-hukum Islam secara kaffah. Sementara dalam demokrasi, pemimpin dipilih untuk membuat hukum sendiri, dengan asas kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan Syara’.
Oleh karena itu, mekanisme pelaksanaan Pemilu pun wajib terikat dengan syariat. Diharamkan berbuat curang dengan cara apapun. Termasuk melakukan kecurangan berupa menyalahgunakan wewenang, menekan bawahan untuk kepentingannya. Nabi saw. bersabda, “Siapa saja menipu (berbuat curang) maka dia bukan dari golonganku.” (HR Muslim)
Haram melakukan praktik suap menyuap. Rasulullah saw, bersabda: “Allah melaknat penyuap dan penerima suap.” (HR Ibnu Majah)
Pelaksanaan Pemilu akan dirancang seefektif dan seefisien mungkin, sehingga tidak mengakibatkan jatuh korban karena kelelahan, atau konflik-konflik pasca Pemilu. Selain itu, menjadi pemimpin akan dipahami sebagai amanah yang berat pertanggungjawabannya di akhirat. Sehingga orang tidak akan berlomba ingin menjadi pemimpin karena haus kekuasaan sampai harus curang dan menghalalkan segala cara.
Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim)
Terdapat kontrol internal dari setiap individu, yakni ketakwaan menghadirkan rasa takut kepada Allah SWT akan mencegah pemimpin maupun rakyat untuk berbuat curang atau praktik haram lainnya.
Calon pemimpin pun tidak akan mudah mengobral janji-janji demi terpilih. Karena memahami betul bahwa janji wajib ditepati agar tidak termasuk orang-orang yang memiliki tanda kemunafikan. Dalam hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan:
آيَة الْمُنَافِق ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اُؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu (1) ketika berbicara ia dusta, (2) ketika berjanji ia mengingkari, dan (3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat).
Di sisi lain, masyarakat akan memilih pemimpin yang terbaik dari sisi ketakwaannya. Bukan karena popularitas semata, atau iming-iming uang. Karena pada hakikatnya, memilih pemimpin adalah wajib, dengan syarat pemimpin yang dipilih akan menerapkan syariat Islam.
Khatimah
Pelaksanaan pemilu demokrasi yang penuh dengan kecurangan, tidak bisa lagi kita harapkan melahirkan perubahan. Kalaupun ada yang berubah, hanya orang atau rezimnya saja. Sementara sistem yang diterapkan tidak berubah, yaitu demokrasi sekuler. Demokrasi tidak akan memberi jalan sedikit pun untuk Islam.
Sudah saatnya kita mengarahkan pandangan dan mengerahkan energi kita untuk perubahan yang hakiki, yakni perubahan yang bersifat sistemik dengan kepemimpinan Khilafah Islamiyah. Para tokoh, termasuk para mubaligh danmubalighah adalah simpul umat yang amat penting untuk memimpin umat menuju perubahan Islam, melalui pembinaan umat, sehingga umat akan rida dan hanya ingin dipimpin oleh seorang khalifah yang akan menerapkan Islam secara kaffah.
Wallahu’alam bishshawab. [SM/Ln]