Oleh: Idea Suciati, M. AP.
Suaramubalighah.com, Opini – Gumpalan asap membumbung selama serangan Israel di kamp pengungsi Rafah di Jalur Gaza Selatan. Pertempuran kembali terjadi tak lama setelah berakhirnya gencatan senjata tujuh hari antara Israel dan pejuang Hamas, Jumat (1/12/2023). (Kompas.com, 1-12-2023). Awalnya gencatan senjata berakhir Senin, tapi diperpanjang hingga Kamis (28/11). Kemudian diperpanjang hingga Jumat (1/12).
Karena bombardemen Israel terhadap Jalur Gaza, PBB memperkirakan 1,8 juta dari 2,3 juta warga Gaza telah mengungsi dari rumah mereka, kebanyakan tinggal di tempat-tempat penampungan yang penuh sesak. Shelter Network, sebuah konsorsium bantuan yang dipimpin PBB, mengemukakan dalam laporan hari Jumat bahwa lebih dari 60% perumahan Gaza telah rusak atau hancur. (voa-indonesia.com, 19/11/2023)
Siapa pun yang mempunyai hati nurani, seharusnya terketuk dan tidak diam ketika menyaksikan malapetaka di Palestina yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Apalagi jika seorang muslim. Namun, sayangnya respon umat Islam di negeri-negeri kaum muslimin masih belum satu suara. Terlebih para penguasa negeri-negeri Islam, hanya bisa mengutuk. Bisa dibilang mereka diam tanpa melakukan aksi nyata yang tuntas untuk menyelesaikan persoalan Palestina.
Nasionalisme Biangnya
Salah satu penyebab diamnya umat dan penguasa terhadap persoalan Palestina adalah nasionalisme yang dianut negeri-negeri muslim. Nasionalisme menurut Hans Kohn diartikan sebagai keadaan pada individu yang dalam pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air.
Nasionalisme membuat pandangan bahwa persoalan Palestina adalah masalah internal Palestina sebagai sebuah bangsa yang ingin berdaulat. Sehingga, negara lain seolah tidak bisa ikut campur, kecuali dalam urusan mencegah bencana kemanusiaan.
Terbukti selama ini negara-negara Arab dan negeri-negeri muslim lainnya hanya bisa ‘membantu’ berupa bantuan kemanusiaan serta diplomasi di kancah internasional. Baik atas nama personal negara maupun komunitas, seperti Liga Arab atau OKI. Ujung-ujungnya hanya menekan kepada DK PBB untuk menghentikan agresor Israel.
Kantor berita Saudi, SPA, melaporkan, Minggu (12/11/2023), KTT yang berakhir pada Sabtu (11/11/2023) ini menghasilkan beberapa putusan yang diantaranya berisi kecaman agresi Israel terhadap Jalur Gaza dan kejahatan perang yang tidak manusiawi. Setidaknya ada 31 keputusan dalam resolusi tersebut. Negara-negara yang hadir dalam KTT luar biasa ini menuntut penghentian agresi Israel terhadap rakyat Palestina dengan segara dan menolak perang balasan sebagai pembelaan diri atau pembenaran dengan dalih apa pun. (detik.com, 12/11/2023).
Mereka juga menyerukan kepada PBB untuk mengambil keputusan tegas dan mengikat untuk menghentikan agresi. Mereka menganggap kelambanan PBB merupakan keterlibatan yang memungkinkan Israel melanjutkan ‘agresi brutalnya’ terhadap orang-orang tak bersalah.
Sayang, upaya berupa kecaman dan seruan kepada PBB terbukti mandul. Sudah 30 lebih Dekrit PBB dikeluarkan tak ada satu pun yang membuat Israel takut dan berhenti melakukan penjajahan di Israel.
Seharusnya umat Islam ingat, Liga Bangsa-Bangsa atau cikal bakal PBB adalah lembaga yang merawat negara entitas Yahudi, setelah sebelumnya lahir dengan bantuan Inggris lewat Perjanjian Balfour tahubahun 1917. Resolusi 181 PBB-lah yang menyetujui pembagian wilayah antara Israel dan Palestina. PBB jugalah yang mengakui kedaulatan Israel dengan menerima Israel menjadi anggota ke-59 pada 11 Mei 1949.
Selain itu, kita tau di belakang PBB adalah negara-negara besar yang memiliki hak veto seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis adalah negara-negara yang jelas-jelas mendukung Entitas Yahudi Zionis. Amerika setiap tahun memberikan miliaran dolar untuk dana militer Zionis.
Negara-negara muslim pun hanya bisa berusaha menjadi mediator gencatan senjata seperti yang dilakukan Mesir dan Qatar. Adapun Malaysia lewat Perdana Menterinya sempat berencana mengirimkan tentaranya untuk membantu Hamas. Namun gagal. Karena nyatanya pengerahan pasukan penjaga perdamaian di Palestina memerlukan “konsensus” di antara “negara-negara tetangga”. “Tanpa konsensus, pesawat yang membawa pasukan penjaga perdamaian Malaysia atau bantuan kemanusiaan tidak akan diizinkan mendarat,” ujarnya. (tempo.co, 26/11/2023).
Di Indonesia sebetulnya umat menampakan dukungan besar terhadap Palestina. Salah satu indikatornya adalah keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Isinya menegaskan bahwa mendukung agresi Israel ke Palestina hukumnya haram. Sebaliknya, mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib. Umat pun banyak melakukan aksi turun ke jalan sampai boikot produk-produk yang diduga berafiliasi mendukung entitas Yahudi.
Meski begitu, secara resmi Pemerintah lewat Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi, Indonesia hanya menunjukkan dukungan dalam ranah diplomasi. Tak berbeda dari negara-negara Arab. Indonesia hanya mendesak Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk tidak membiarkan ancaman terhadap kemanusiaan di Gaza.
Karena nasionalisme ini bahkan masih muncul pendapat yang mempertanyakan, apakah persoalan Palestina lebih penting daripada persoalan bangsa sendiri? Apakah tidak berlebihan kepada negara orang sementara di waktu yang bersamaan, puluhan orang di Distrik Amuma, Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan meninggal dunia karena kelaparan. Dan ini bukan merupakan isu yang pertama kali terjadi melainkan kejadian yang berulang setiap tahunnya. Dapat kita simpulkan, bahwa membela Palestina bukan berarti kita berlebihan dalam mendukung negara lain. (Mubadalah[dot]com, 17/11/2023).
Demikianlah nasionalisme akan melahirkan pemikiran bahwa kepentingan dalam negeri masing-masing jauh lebih penting. Yang paling nyata menjadi belenggu adalah kepentingan ekonomi. Lihat saja, dibalik kecaman-kecaman negara-negara Arab terhadap entitas yahudi, justru mereka berhubungan baik dengan melakukan kesepakatan damai.
Mesir (1979) dan Yordania (1994). “Abraham Accord” yang ditandatangani Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko pada September 2020 memastikan pengkhianatan negara-negara Arab terhadap perjuangan Palestina. Negeri-negeri Islam tanpa malu melakukan apa yang disebut normalisasi hubungan dengan entitas Yahudi.
Ironisnya lagi negara-negara Arab seolah sangat bergantung kepada Israel. Terutama di bidang ekonomi dan teknologi. Memang, saat ini Israel dianggap negara di Timur Tengah yang memiliki banyak keunggulannya di bidang sains, teknologi, militer, dan pendidikan. Hal ini karena adanya dukungan penuh Amerika Serikat, Israel mengembangkan kemampuan di berbagai bidang tersebut pada saat negara-negara Timur Tengah berkutat dengan konflik internal, friksi antarnegara tetangga, dan berbagai perang berkepanjangan. Di bidang kemampuan rekayasa teknologi misalnya, entitas Yahudi yang punya teknologi mengubah udara menjadi air, menggoda negara-negara Arab yang diperkirakan menghadapi krisis air bersih tidak lama lagi.
Kepentingan ekonomi menjadi belenggu cuan negara-negara Arab untuk membantu Palestina. Demi cuan, mereka rela berkhianat diatas darah para syuhada Palestina. Benarlah apa yang dikhawatirkan Rasulullah saw. berabad lalu. “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi, aku khawatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana ia dibentangkan untuk orang-orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” (HR Muslim (2961) dan Al-Bukhari (6425), dan Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab tentang Zuhud hal. 73).
Nasionalisme Harus Dibuang
Nasionalisme memang sengaja disuntikan Barat untuk melemahkan dan menghancurkan tubuh umat Islam. Sejatinya, dulu umat Islam bersatu dalam satu kekuatan dan kepemimpinan. Di bawah naungan Khilafah Islamiyah, yang terakhir di Turki Utsmani.
Nasionalisme memunculkan fanatisme kebangsaan Turki dan Arab. Sentimen Arab membuat negara-negara Arab ingin memisahkan diri dari Khilafah. Orang-orang Turki memanas, pun merasa bangga dengan bangsanya sehingga menghilangkan semua aspek kearaban. Akibatnya berdampak terhadap semakin mundurnya kaum muslimin dalam memahami syariat. Kekuatan Khilafah semakin lemah. Puncaknya, 3 Maret 1924 Khilafah benar-benar runtuh dan dihapuskan.
Setelah itu, negeri-negeri kaum muslimin dibagi-bagi bak kue. Lebih khusus di Palestina. Ketika masih dipimpin oleh Khalifah Abdul Hamid II, Zionis sudah pernah meminta sebagian tanah Palestina untuk tempat mereka tinggal. Namun dengan tegas, khalifah menolaknya. Karena Palestina adalah tanah kharajiyah milik umat islam, haram menyerahkannya apalagi kepada kaum kafir. Namun. Setelah Khilafah runtuh, entitas Zionis dengan lenggang menjajah Palestina hingga saat ini.
Kondisi umat Islam sekarang adalah seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ’alaih wa sallam “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shallallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745).
Nasionalisme sesungguhnya ide absurd, tidak mengandung suatu pengertian yang pasti. Sekat negara khayali yang muncul dari hawa nafsu egoisme jahiliah semata. Membuat teriakan disini ‘harga mati’, sementara saudara di sana ‘biarkan mati’.
Dalam Islam, nasionalisme termasuk paham ashabiyah yang diharamkan. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda,
وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يُقَاتِلُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يَدْعُو إِلَى الْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
“Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, atau berperang untuk ‘ashabiyah atau menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliyah.” (HR Ahmad).
Imam An-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan, “Râyah ‘ummiyyah adalah perkara buta yang tidak jelas arahnya. Begitulah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.” Ishaq bin Rahwaih berkata, “Ini seperti saling berperangnya kaum karena ‘ashabiyyah.”
Ashabiyah adalah fanatisme kelompok yang diletakkan di atas Islam dan kebenaran. Diam terhadap penderitaan Palestina karena lebih mementingkan urusan bangsa sendiri adalah wujud nyata dari ashabiyah ini. Ashabiyah wajib dibuang karena ia adalah seruan jahiliah yang menjijikkan dan berbahaya.
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa dalam satu perang, seorang Muhajirin mendorong seorang Anshar, lalu orang Anshar itu berkata, “Tolonglah, hai Anshar.” Orang Muhajirin itu berkata, “Tolonglah, hai Muhajirin.” Nabi saw. pun mendengar itu dan beliau bersabda:
مَا بَالُ دَعْوَى جَاهِلِيَّةٍ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ: كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلا مِنَ الأنْصَارِ. فَقَالَ: دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَة
“Ada apa dengan seruan jahiliah itu?” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, seorang dari Muhajirin memukul punggung seorang dari Anshar.” Beliau bersabda: “tinggalkan itu, sebab hal itu muntinah (tercela, menjijikkan dan berbahaya).”
Maka, untuk menyelesaikan persoalan Palestina umat islam muslimin wajib membuang nasionalisme dan menggantinya lagi dengan spirit ukhuwah Islamiyah. Karena Islam menetapkan sesama muslim adalah bersaudara dan ibarat satu tubuh. Yang harus saling peduli, menyayangi, berempati.
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم)
Dari An-Nu’man bin Bisyir dia berkata, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: ‘Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Muslim No 4685).
Umat beserta penguasa negeri-negeri muslim tidak boleh lagi diam, basa-basi atau hanya membantu atas nama kemanusiaan. Tapi harus dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh umat Islam. Karena sesungguhnya umat Islam sudah memiliki semua potensi, baik dari SDA maupun SDM. Tinggal disatukan dalam satu kepemimpinan.
Karena itu, seruan persatuan umat Islam sedunia harus terus didakwahkan. Dakwah kepada Khilafah adalah seruan terbaik untuk menyatukan kekuatan umat Islam. Penderitaan Palestina harus diakhiri dengan pengerahan jihad oleh Khilafah.
Dengan Khilafah, umat Islam akan memenuhi janji Allah dalam firman-Nya, “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nur: 55).
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]