Oleh: Lulu Nugroho
Suaramubalighah.com, Opini — Potensi pesantren untuk politik sangatlah besar. Tidak heran, upaya mendorong santri dalam keterlibatannya pada politik praktis kian masif. Para santri putra dan putri di Pondok Mambaus Sholihin Roudotul Mutaallimin, Desa Suci, Kecamatan Manyar, Gresik menggelar diskusi kebangsaan yang bertajuk Santri Bicara Demokrasi, pada Sabtu (27/1). Diskusi santri tersebut bersama Gus Wahab Yahya Hamid Hasbulloh, Pengasuh Ponpes Al Muhajirin 2 Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Pengasuh Mambaus Sholihin Roudhotul Mutaallimin, Agus M Jauhan Farhad dan Dosen Fakultas Hukum Ubhara, Jamil.
Diskusi ini mengajak para santri bijak melek kondisi politik dengan cara memilih pemimpin pada 14 Februari 2024. “Minimal santri bisa memahami politik di Indonesia memang betul dalam sistem akhlakul karimah santri menghormati kiai. Kita bisa melek melihat bagaimanapun kondisi di Indonesia, politik ini sudah jelas banyak rekayasa, pelanggaran-pelanggaran ini harus sadar menyuarakan. Kekuatan di Indonesia hanya rakyat,” kata Gus Wahab. (Tribunnews.com, 27/1/2024).
Ke manakah arah politik santri seharusnya?
Santri dalam Pusaran Politik Demokrasi
Panggung politik negeri ini memang tampak gempita jelang pesta demokrasi, pun pada hari-hari setelahnya. Tidak hanya para pasangan calon (paslon) yang berlaga merajai panggung, namun seluruh pendukungnya pun bersama-sama turut memeriahkan kontestasi. Tak pelak para warga didorong pula untuk terlibat pada pesta akbar lima tahunan. Seolah saat inilah kesempatan bagi rakyat menentukan arah politik negeri ini.
Hanya saja tidak semua warga memiliki pemahaman politik yang benar. Akibatnya mereka hanya merasakan euforia di permukaan saja, yang memang di-setting untuk dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Sehingga masyarakat ikut merasakan panas suam-suam kuku kemeriahan pesta, tetapi tanpa kesadaran bahwasanya keterlibatan mereka hanya sebatas memberikan suara. Sebab setelahnya, masyarakat tidak lagi dilibatkan. Tidak didengar suaranya, keluhannya, pendapatnya, urun rembug, apalagi protes. Maka sungguh jauh panggang dari api, ketika masyarakat yang menginginkan perubahan, menempuh jalan demokrasi.
Masyarakat termasuk santri juga tidak mendapatkan edukasi yang benar terkait pemahaman politik yang sahih, sehingga mereka menerima suguhan politik kekinian, yakni demokrasi, sebagai satu-satunya jalan perubahan. Bahkan pengarusan politik demokrasi pun akhirnya diarahkan kepada institusi pendidikan seperti: sekolah, kampus, termasuk pesantren. Tujuannya agar sejak sedini mungkin, para siswa memahami demokrasi beserta seluruh pemikiran turunannya seperti moderasi, wawasan kebangsaan dan sebagainya, dan mau menjadi pendukung demokrasi.
Tak hanya itu, demi meraup suara para santri, ide ini merambah ke dalam pondok pesantren. Mereka digiring menyerap ide demokrasi dan ‘peluang kebaikan’ yang ditawarkannya. Padahal ini sangat berbahaya, karena dapat mengalihkan arah pandang santri yang lurus kepada Islam, kepada sekularisme. Hal ini harus kita waspadai, menjaga pemikiran para santri agar tidak terkontaminasi dengan ide-ide liberal.
Sementara, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berbasis Islam, mengajarkan kitab-kitab turats (tafaqquh fiddin), yangsejatinya mengajarkan tsaqafah Islam. Kelak hal ini akan mewarnai kepribadian para santri, sebagai ulama waratsatul anbiya, yang siap menerapkan Islam kaffah dan melakukan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Maka, pendidikan pesantren harus tetap terjaga kemurniannya. Di sisi para santri, perlu pemahaman yang sahih tentang arti politik yang sesungguhnya dalam Islam, agar mereka tidak terjerat dalam pemikiran sesat.
Demokrasi Sistem Batil
Demokrasi selamanya tidak akan berada di pihak rakyat. Meski rakyat digadang-gadang sebagai pihak yang berkuasa dan berdaulat, nyatanya sepanjang penerapannya, rakyat tidak mendapatkan peran apa pun di sana. Penguasa tidak menyuarakan aspirasi rakyat, tidak juga memperjuangkan nasib rakyat. Rakyat tak lebih hanya sebagai objek penderita.
Sejatinya rakyat tidak benar-benar berkuasa. Wakil rakyat pun tidak mewakili rakyat. Mereka malah menjadi kepanjangan tangan para kapital, hingga melahirkan aturan dan kebijakan yang pro kepada pemilik modal. Akibatnya, urusan rakyat pun tak lagi diutamakan, bahkan nyaris terbengkalai. Penguasa dalam demokrasi hanya berperan sebagai regulator urusan kapital. Sedangkan rakyat, dibiarkan mengelola kehidupannya dan mengatasi masalahnya sendiri.
Demokrasi adalah sebuah sistem yang berlandaskan sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan, yang kemudian melahirkan pemisahan agama dari negara. Pada negara yang mengemban sekularisme, agama hanya diberi ruang sempit di ranah privat, sehingga keberadaannya tidak lagi tampak di tengah kehidupan. Demokrasi yang berasaskan sekularisme, menegasikan peran Allah dan menolak eksistensi agama. Agama hanya menjadi formalitas belaka.
Ketika manusia jumawa mengendalikan negara dengan peraturan buatannya, maka terjadi banyak kerusakan di tengah masyarakat. Meski demikian, demokrasi masih saja bertahan dan bertahta menguasai dunia, sebab para pengusungnya terus menjaga dan menyebarkannya dengan kemasan yang indah. Sebagian kaum muslim yang tidak memiliki pemahaman yang benar, pun terpesona kepadanya.
Dari sini menjadi alarm bagi para santri, yang menunjukkan bahwa demokrasi adalah sistem yang batil dan tidak layak diemban. Manusia disejajarkan dengan Al-Mudabbir. Bahkan kadang kala melebihi kekuasaan Allah SWT, dengan menanggalkan syariat-Nya. Maka jelas, para santri seharusnya menjadi yang terdepan menolak penerapannya.
Sebab sampai kapanpun sistem hari ini tidak akan pernah memberi kesempatan bagi tegaknya Islam, karena keduanya saling bertolak belakang. Demokrasi dengan sekularismenya meniadakan peran Allah dalam kehidupan dan menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sementara Islam menjadikan Allah SWT sebagai Al-Mudabbir, yakni satu-satunya pengatur kehidupan.
Santri Memahami Politik Islam secara Kaffah
Berbeda dengan agama-agama lainnya, Islam adalah agama yang unik sebab mengatur peribadatan (aqidah ruhiyah) dan juga politik (siyasah). Maka berbagai perkara ruhiah seperti hal-hal yang berhubungan dengan akhirat (surga, neraka, pahala, siksa dan sebagainya) dan ibadah (salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya), diatur Islam. Begitu pula seluruh aspek kehidupan seperti urusan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, persanksian, pergaulan, dan sebagainya, diatur pula dalam Islam.
Di dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 208, Allah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menegakkan hukum-Nya secara menyeluruh (kaffah), yaitu menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, petunjuk dan solusi bagi permasalahan manusia. Tidak hanya pada ranah ibadah, tetapi juga pada perkara politik, yang mencakup berbagai urusan manusia di dalam kehidupannya. Dengan demikian, menerapkan Islam kaffah tidak cukup dengan hanya menerapkan syariat Islam dalam sebagian aspek kehidupan tertentu, dan meninggalkan sebagian lainnya.
Sedangkan makna politik Islam (as-siyasah al-Islamiyah) artinya pengaturan urusan umat dengan aturan Islam, baik di dalam maupun di luar negeri (ri’ayah su’un al-ummah, dakhiliyan wa kharijiyan bi al-ahkam al-Islamiyah). Negara mengatur urusan umat dengan menerapkan Islam kaffah, sedangkan aktivitas politik masyarakat adalah mengontrol dan mengoreksi (muhasabah) penguasa.
Dalil-dalil syariah menunjukkan bahwa aktivitas politik adalah unsur terpenting dalam Islam. Sebab keterlibatan setiap individu muslim dalam aktivitas ini, adalah seluruh upaya untuk menegakkan hukum Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan. Maka tidak boleh ada seorang pun yang berpangku tangan mengabaikan penerapan Islam kaffah, dari mulai pucuk pimpinan tertinggi kekuasaan hingga masyarakat bawah, di sepanjang masa, dan di seluruh penjuru dunia.
Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum buatan manusia. Aktivitas politik masyarakat, hanya sebatas meraih kekuasaan. Sedangkan dalam pandangan Islam, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan syariat. Islam menjadikan Allah SWT sebagai Sang Pengatur (Al-Mudabbir) untuk mengelola kehidupan masyarakat. Dalam Islam kedaulatan berada di tangan Asy-Syari’ yaitu Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya,
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Bahwa sesungguhnya yang menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’aam: 57)
Maka upaya perubahan hanya dapat dilakukan dengan perjuangan yang sahih, yaitu menapaki jalan Rasulullah saw.. Tahapan dakwah Beliau saw. seperti aktivitas perjuangan politik (kifah siyasi) dan perang ideologi (shira’ fikri), serta berupaya mencari dukungan (thalabun-nushrah) dari pihak-pihak yang mampu menyerahkan kekuasaan, adalah untuk menegakkan Khilafah. Dan Khilafah adalah satu-satunya institusi yang akan menerapkan syariat secara kaffah. Inilah yang meniscayakan perubahan, mengantarkan umat pada kemaslahatan dan ketinggian Islam. Karenanya jalan ini adalah satu-satunya yang wajib ditempuh umat. Tidak dengan yang lain.
Maka jelas bahwa setiap individu muslim, termasuk para santri, wajib memahami politik Islam yang sesungguhnya. Kemudian ikut terlibat di dalamnya, fokus bekerja keras utk mencerdaskan umat terhadap urgensi dan kewajiban menegakkan kepemimpinan Islam, dan mengupayakan penegakan institusi yang akan menerapkan syariat secara kaffah, yakni Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, hingga terwujud Islam rahmatan lil a’lamin.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/ Ah]