Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini – Tragedi kekerasan di pondok pesantren kembali menjadi sorotan, setelah tewasnya Bintang Balqis Maulana (14), yang dianiaya oleh empat seniornya di Pondok Pesantren Al-Hanifiyah, Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Jumat (23-2-2024). Tentunya kejadian ini sangat memrihatinkan serta meninggalkan duka dan nestapa yang sangat mendalam bagi keluarga. Sekaligus menambah deret panjang daftar korban kekerasan di lembaga pendidikan pondok pesantren.
Menjadi catatan penting bagi satuan pendidikan khususnya di pondok pesantren, bahwa maraknya kasus kekerasan, baik fisik maupun kekerasan seksual terhadap santri di pondok pesantren akhir-akhir ini, merupakan tindakan serius yang memerlukan penanganan hukum secara seksama. Sebab, selain kasus ini menarik perhatian publik dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, kasus ini juga merupakan pelanggaran serius yang dapat memberikan dampak traumatis pada korban, keluarga maupun masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak, baik orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan maupun pemerintah beserta semua jajaran stake holder-nya, agar senantiasa mengawasi dan menciptakan lingkungan yang kondusif, aman dan nyaman bagi pertumbuhan dan perlindungan anak. Sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Problem Kekerasan terhadap Anak Butuh Solusi Tuntas
Kasus kematian BBM (14), di Pondok Pesantren Al Hanifiyah, Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, merupakan bagian dari ironi dunia pendidikan di negeri ini. Mau sampai kapan, dan berapa banyak lagi korban agar kasus kekerasan ini bisa tuntas diselesaikan?
Karena dalam praktik aktivitas belajar mengajar di dunia pendidikan saat ini, kasus kekerasan dan penyimpangan-penyimpangan masih terus berulang. Aktivitas kekerasan yang dilakukan oleh guru (kiai atau ustaz) kepada murid atau santri, maupun kekerasan yang dilakukan oleh murid atau santri kepada guru, atau bisa jadi oleh sesama santri atau murid, masih terus terjadi tanpa menemukan solusi hakiki.
Bahkan fakta di lapangan, ternyata bukan hanya terjadi di pondok pesantren, tetapi secara umum aktivitas kekerasan juga terjadi dan melanda berbagai lembaga pendidikan formal maupun nonformal yang ada di negeri ini. Lebih nelangsa lagi, ternyata kasus kekerasan terhadap anak juga terjadi di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Karena menurut data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), pada tahun 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan terhadap anak, 3.000 di antaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak. Tentu hal ini menjadi isu serius yang mengancam kehidupan anak-anak. Oleh karena itu, kasus kekerasan menjadi isu penting dan sangat mendesak untuk segera diselesaikan saat ini.
Walaupun tidak dimungkiri bahwa pemerintah Indonesia telah membentuk payung hukum untuk melindungi hak dan kesejahteraan anak-anak, dalam bentuk Undang-Undang sebagaimana tercantum di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa : Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dari pasal ini jelas ada kewajiban masyarakat untuk memberikan perlindungan terhadap anak.
Namun seperti yang sering kita saksikan, ternyata hingga hari ini, Undang-Undang tersebut tidak mampu melindungi dan menjamin hak-hak mereka, apalagi mampu memberikan efek jera bagi pelaku ataupun masyarakat. Karena hingga hari ini, aksi kekerasan terus terjadi, disaksikan oleh temannya atau bahkan di hadapan orang dewasa. Lebih parah lagi di beberapa kasus justru ditayangkan di media sosial dan menjadi viral.
Mirisnya, orang-orang yang melihat atau menyaksikan kejadian tersebut tidak melerai, memisahkan atau memberikan perlindungan kepada anak yang menjadi korban kekerasan tersebut. Seakan, kejadian tersebut menjadi hal yang patut dan memang disengaja dengan membiarkan kekerasan tersebut terjadi.
Maka, hal ini menambah bukti nyata bahwa penerapan sistem aturan kehidupan sekuler di tengah-tengah masyarakat, telah merusak sistem sosial masyarakat. Masyarakat telah menjadi masyarakat yang liberal dan individualis. Telah mengabaikan norma-norma yang ada, hingga akhirnya berdampak pada perubahan aspek sosial di masyarakat.
Kehidupan masyarakat yang semakin hedonis dan materialistik juga menjadi salah satu faktor pendukung carut marutnya sistem sosial di masyarakat. Karena kesibukan orang tua yang bekerja atau karena pandangan yang kadang-kadang permisif. Tanpa sadar orang tua telah melimpahkan kasih sayangnya dalam bentuk yang salah. Memberikan kebebasan dalam pergaulan maupun kebebasan dalam mengakses media seperti internet dan lain-lain.
Hal ini sangat berdampak vital terhadap psikologi serta perkembangan jiwa anak itu sendiri, misalnya mereka sering melihat aksi bullying, gambar porno, film seks, tubuh yang terbuka pakaian mini atau ketat, cerita-cerita asyiknya bermain seks dan lain-lain. Hal-hal seperti inilah yang dapat merusak pola pikir anak sehingga mengalami degradasi moral yang akut.
Ditambah lagi dengan kurangnya bimbingan pendidikan, kontrol dan pengawasan orang tua terhadap anak juga ikut berperan membentuk anak menjadi individu-individu masyarakat yang kehilangan simpatik maupun empati untuk beramal makruf nahi mungkar. Mereka hanya diam dan tidak peduli ketika menyaksikan para predator mulai beraksi dan menelan korban jiwa.
Islam Solusi Tuntas untuk Menyelesaikan Problem Kekerasan terhadap Anak
Problem kekerasan yang menimpa anak-anak hari ini, tentu tidak akan pernah terjadi pada kehidupan masyarakat yang menerapkan sistem Islam. Karena dalam penerapan sistem Islam, hukum-hukum yang diterapkan oleh negara di tengah-tengah masyarakat memiliki fungsi sebagai solusi tuntas untuk menyelesaikan setiap persoalan manusia, sekaligus mampu mencegah agar kasus tersebut tidak muncul lagi di masyarakat, termasuk masalah kekerasan terhadap anak-anak. Karena ketika aturan Islam diterapkan, aturan tersebut berfungsi sebagai aturan yang bersifat preventif maupun kuratif.
Sehingga kekerasan terhadap anak-anak akan dapat teratasi dengan segera, dan kecil kemungkinan akan terulang. Sebab selain sistem aturannya menimbulkan efek jera, syariat Islam juga ketika diterapkan secara sempurna dan revolusioner oleh negara pada seluruh asfek kehidupan masyarakat. Maka negara yang menerapkan sistem Islam, yakni negara Khilafah Islamiah akan mampu menjamin perlindungan, keamanan dan kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia.
Hal ini terjadi karena pertama, di dalam negara Khilafah, setiap individu masyarakat memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab melaksanakan seluruh syariat Islam. Karena bagi setiap muslim merupakan wujud dan konsekuensi dari keimanannya sebagai bagian dari bentuk ketakwaan individu. Sementara bagi nonmuslim sebagai wujud ketundukan terhadap kekuasaan Islam.
Kedua, kontrol individu dan masyarakat. Kontrol individu dan masyarakat terhadap individu lain merupakan bagian dari wujud dan mekanisme dakwah, yaitu amar makruf nahi mungkar yang sangat penting untuk mencegah berbagai kerusakan dan kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat. Karena manusia bukanlah malaikat yang terhindar dari dosa. Manusia membutuhkan manusia lain untuk saling nasihat menasihati. Seperti firman Allah SWT
وَالْعَصْرِ(١) إِنَّ الإنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْابالصًَبْرِ(٣)
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada di dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati ke- benaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”(QS Al-Ashr: 1-3)
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]