Oleh: Idea Suciati
Suaramubalighah.com, Opini – Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, memaparkan ide untuk menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. Tak cuma untuk tempat pernikahan, KUA juga akan mencatatkan pernikahan seluruh agama. Ide ini disampaikan dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam pada Jumat (23/02) lalu.
“Kita sudah sepakat sejak awal, bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama,” ucapnya. (Bbc.com, 6-03-2024)
Yaqut beralasan gagasan ini bertujuan untuk membuat data-data pernikahan dan perceraian bisa lebih terintegrasi dengan baik. Selain itu, ia berharap aula-aula yang ada di KUA dapat menjadi tempat ibadah sementara, bagi umat non-muslim yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri karena faktor ekonomi dan sosial. KUA sebagai pusat layanan keagamaan lintas fungsi dan lintas agama ini direncanakan akan launching tahun ini.
Gagasan ini menuai kontroversi. Beberapa pemuka agama mendukung, tapi ada juga yang menolak dengan alasan perkawinan sebagai urusan privat sehingga pemerintah tidak perlu campur tangan.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan idealnya KUA memang untuk seluruh agama. Namun, agar tak muncul resistensi, dia menekankan pemerintah agar tidak mengintervensi terlalu dalam soal ajaran keagamaan yang berkenaan dengan perkawinan.(Bbc.com, 6-03-2024)
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas seharusnya lebih berfokus mengoptimalkan peran KUA serta memaksimalkan peran dan fungsi penyuluh keagamaan, termasuk soal konsultasi pranikah. (Tempo.co, 24-02-2024).
Secara kelembagaan birokrasi, KUA berada di bawah Dirjen Bimas Keislaman, sehingga memang sudah secara undang-undang dibentuk untuk mengurus urusan warga negara yang beragama Islam. Jika KUA akan difungsikan untuk mengurus agama yang lain artinya tidak sesuai dengan peraturan yang ada, atau harus mengubah dulu aturan sebelumnya.
Menguatkan Moderasi Beragama
Gagasan Menag bersikeras menjadikan KUA sebagai pusat layanan keagamaan lintas fungsi dan lintas agama perlu dikritisi. Gagasan ini lahir dari pemahaman pluralisme yang memandang bahwa Islam sama dengan agama yang lain. Tidak ada agama yang paling benar. Semua agama benar. Sehingga seolah tidak masalah urusan agama islam disatukan dengan agama lain dalam satu lembaga. Secara tidak langsung, umat Islam digiring untuk menerima agama yang lain dengan alasan toleransi.
Padahal, pluralisme bertentangan dengan Islam. Islam mengakui adanya plural (keberagaman), tapi tidak membenarkan pluralisme. Karena Allah SWT yang menyatakan bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang benar dan diridai di sisi Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran/3: 19]
Maka agama selain Islam tidak akan diterima di sisi Allah SWT. Allah SWT juga berfirman:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran/3: 85]
Pluralisme pun menjadi salah satu nilai yang menjadi ciri dari Islam moderat. Gagasan Menag kali ini menjadi bukti bahwa moderasi beragama menjadi program pemerintah yang terus diaruskan. Hal ini perlu di-counter karena bisa menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang benar. Umat Islam harus dipahamkan bahwa Islam tidak sama dengan agama yang lain. Islam tidak sekadar agama yang mengatur masalah habluminallah yang mencakup akidah dan ibadah ritual. Islam adalah sebuah ideologi, yang memiliki akidah dan memancarkan darinya sistem aturan hidup. Maka, selain mengatur ibadah, Islam pun mengatur masalah ekonomi, pendidikan, pergaulan hingga pemerintahan.
Gagasan ini pun perlu diwaspadai sebagai celah untuk terjadinya pernikahan beda agama. Selama ini tidak bisa dilakukan di KUA jika salah seorang calon pengantin tidak beragama Islam. Namun, jika KUA menjadi tempat pelayanan semua agama, dikhawatirkan pernikahan beda agama bisa lebih mudah dilakukan.
Pengurusan Islam atas Umat Lain
Dalam Khilafah syariat Islam menjadi satu-satunya aturan yang diberlakukan kepada seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim (ahlu dzimmah). Artinya, dalam urusan ekonomi, pergaulan, pemerintahan semua tunduk dengan aturan Islam.
Namun, yang berkaitan dengan akidah dan ibadah, termasuk urusan pernikahan, Khilafah akan membiarkan warga negara yang nonmuslim untuk tetap dalam agamanya. Tidak dipaksa masuk Islam. Juga membiarkan mereka beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Termasuk, boleh menikah di tempat mereka biasa menikah dengan cara sesuai agama mereka masing-masing. Adapun urusan administratif berupa pencatatan-pencatatan tetap dilayani sebagai warga negara, sebagaimana warga muslim.
Dengan pengaturan seperti itu, warga negara yang nonmuslim akan merasa nyaman beribadah sesuai agamanya. Di sisi lain, mereka pun mendapatkan jaminan negara dalam pelayanan kebutuhan hidup, dijamin keamanan harta dan jiwanya, serta tidak ada diskriminasi di hadapan hukum. Inilah wujud toleransi yang sebenarnya ditunjukan dalam kehidupan masyarakat di bawah naungan Khilafah.
Bentuk keadilan Islam di atas telah terbukti membawa kerukunan beragama dalam Khilafah selama ratusan tahun. Seperti yang diakui oleh seorang orientalis Inggris, TS Arnold. Ia berkata, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe
(Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).”
(The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hlm. 134).
Maka, jika hari ini muncul gagasan menjadikan KUA sebagai tempat pusat pelayanan semua agama, termasuk urusan pernikahan, hal ini justru merupakan intervensi yang tidak perlu dilakukan. Toleransi dan pelayanan yang seharusnya adalah mengatur warga nonmuslim dengan penerapan Islam kaffah yang adil.
Di sisi lain, Khilafah dan umat Islam pun wajib melakukan aktivitas dakwah kepada mereka, mengajak mereka kepada Islam, pada keselamatan. Sebab hanya Islam agama yang diridai Allah SWT. Bukan sebaliknya, membuat kebijakan seperti moderasi beragama yang berisi nilai sekularisme juga pluralisme. Hal ini bisa mengaburkan ajaran Islam, membuat ragu umat Islam terhadap ajarannya, secara tidak langsung menganggap semua agama sama.
Maka, mari kita bersama-sama mewujudkan Khilafah. Karena, hanya Khilafah dengan penerapan syariat Islam kaffah yang mampu mewujudkan pelayanan adil bagi semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim.
Wallahu’alam bishshawab. [SM/Ln]