Moderasi Islam Mencitrakan Cina Pro-Islam, Benarkah?

  • Opini

Oleh: Bunda Nurul Husna

Suaramubalighah.com, Opini — Beredar video yang menggambarkan agama Islam dihormati di Cina dengan bukti banyaknya masjid-masjid peninggalan sejarah yang masih eksis hingga kini. Di samping itu banyak muslim Cina yang tinggal di sekitar masjid tersebut. Pusat makanan halal juga banyak ditemukan di sekitar kawasan masjid. Digambarkan pula bahwa sebagian muslimah Cina ada yang menutup kepala mereka, sementara muslimah lainnya tidak menutup aurat mereka dengan hijab, namun hanya memakai penutup kepala berupa peci putih seperti yang biasa digunakan muslim Cina lainnya.

Bahkan diberitakan bahwa Cina telah mengirimkan berbagai bantuan termasuk kapal tempurnya ke Palestina untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Adapun sikap represif Cina terhadap muslim Xinjiang, diklaim karena mereka adalah kelompok separatis yang hendak mendirikan negara Islam di Cina seperti halnya kelompok GAM di Indonesia.

Dari fakta-fakta tersebut kemudian disimpulkan dan digambarkan bahwa Cina adalah negara yang pro dan toleran terhadap Islam. Dinyatakan juga bahwa Cina tidak memberangus komunitas muslim di sana, bahkan warga muslim tetap bisa hidup berdampingan dengan yang lainnya. Benarkah?

Seputar Muslim di Cina

Secara historis, hubungan Cina dan Arab telah terjadi jauh sebelum eksisnya Islam. Perdagangan di antara keduanya terjadi secara intens melalui jalur sutra yang telah dikenal sejak lama. Cina juga disebut-sebut sebagai rumah umat muslim yang sangat tua.

Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa syiar Islam di Cina sudah disuarakan tak lama setelah Nabi Muhammad saw wafat pada 623 M. Tokoh yang membawa Islam ke Cina adalah Sa’ad bin Abi Waqas (Sa’ade Wangesi) ra., atas perintah Khalifah Usman bin Affan ra.. Menurut Iqbal Shafi dalam A Brief History of Muslims in China, Institute of Strategic Studies Islamabad (1983), kedatangan delegasi itu membuat penduduk Cina bersentuhan dengan syiar-syiar Islam untuk pertama kalinya .

Ada beberapa daerah di Cina yang menjadi titik awal dakwah dan kemudian berkembang menjadi pusat dakwah Islam. Umumnya daerah tersebut merupakan wilayah pelabuhan atau bandar besar yang dilewati jalur sutra, seperti Guangzhou, Yangzhou, Hangzhou dan Quanzho. Di Quanzho yang dikenal sebagai titik mula jalan sutra juga berdiri masjid Qingjin, yang konon didirikan pada tahun 1009 M dengan desain khas daerah Damaskus di Suriah. Di samping itu, ada dua masjid kuno yang eksis di Kanton, yaitu masjid Kwang Tah Se dan Chee Lin Se. Keduanya tercatat sebagai masjid tertua di Cina, yang pertama kali dibangun di luar kawasan Arab.

Menurut catatan sejarah, orang Islam (orang Arab, Persia dan Asia Tengah) yang masuk ke Cina awalnya mendapat sebutan Tasyih atau Dashi. Sedangkan agama Islamnya sendiri disebut Dashi Fa, yang berarti ajaran Dashi, atau Yisilan Jiao yang bermakna agama yang murni. Dan pada masa Dinasti Yuan, setiap muslim baik yang non-Cina maupun campuran, disebut Hui Hui, artinya pengikut Muhammad. Perkembangan Islam di Cina terus terjadi, dan mengalami masa keemasannya di masa kekuasaan  Dinasti Tang, hingga dikenal sebagai wilayah kosmopolitan.

Namun masa keemasan umat Islam di Cina tersebut mulai berubah saat Dinasti Ming dari Mongol (1368-1644) berkuasa. Di awal era Dinasti Ming, umat Islam masih bisa bernapas lega, meski sesungguhnya sudah ada kebijakan yang membatasi budaya Islam. Namun di masa-masa setelahnya, umat Islam mulai merosot secara signifikan, akibat pihak penguasa Cina mulai memperketat masuknya muslim di pelabuhan-pelabuhan Cina.

Kondisi tersebut kian parah di era Dinasti Qing (1644-1912). Saat itu, muslim kerap diperlakukan secara diskriminatif oleh penguasa, hingga terjadi pemberontakan berdarah. Beberapa daerah yang dikenal sering berkonflik adalah wilayah-wilayah mayoritas muslim, seperti daerah Xinjiang, Shaanxi, dan Gansu.

Situasi buruk itu terus terjadi hingga Cina mengalami perubahan struktur politik dari era Kekaisaran menjadi Republik. Yaitu sejak terjadinya Revolusi Cina pimpinan dr. Sun Yat Sen pada 1894. Lalu berhasil menumbangkan Dinasti Qing yang dianggap zalim pada 1912.

Berikutnya, pada 1949 terjadi revolusi budaya Cina yang dipimpin oleh Mao Zedong. Dialah yang mengganti ideologi Cina menjadi komunis dan mendirikan negara komunis RRC. Di masa kekuasaan negara komunis RRC itu, terjadilah kondisi paling memilukan bagi muslim Cina, yang mayoritasnya ada di wilayah Barat Laut dan Barat Daya Cina, khususnya suku Uighur di Xinjiang atau Turkistan, juga suku-suku minoritas di Tibet.

Dan realitasnya kini pun muslim Uighur kerap mengalami tindakan represif berupa penyiksaan, larangan beribadah, hingga penahanan. Beberapa sumber mengatakan bahwa itu disebabkan oleh alasan politik. Sejak abad 20, Beijing menganggap komunitas muslim sebagai kelompok ekstremis dan separatis, yang ingin membebaskan diri. Sementara Uighur menganggap diri mereka bukan bagian dari Cina karena memiliki perbedaan budaya.

Sikap ini berbeda dengan yang dialami muslim Hui. Mereka awalnya tak mengalami penindasan karena mereka patuh dan dianggap mampu berasimilasi dengan kebudayaan lokal. Namun, sikap politik Beijing yang keras terhadap kelompok yang mereka tuduh sebagai kelompok teroris, membuat muslim Hui pun akhirnya mendapat perlakuan buruk.

Pada tahun 2018, South China Morning Post dan Al-Arabiya melansir informasi tentang tekanan yang dialami oleh muslim Hui, seperti pembatasan belajar hingga larangan azan, untuk mengurangi polusi suara dan simbol-simbol keislaman. Namun di tengah berbagai tekanan itu, Islam tetap eksis. Sebagaimana hasil survei yang dilakukan oleh National Survey Research Center (NSRC) dari School of Philosophy Renmin University of China, bahwa dari wawancara terhadap 4.382 orang diketahui 22,4% anak muda Cina memeluk Islam, berada di peringkat pertama, diikuti Katolik dan Budha.

Riset lain yang berjudul The Muslim Minority Nasionalities of Chination yang dilakukan tim dari Texas A&M University menyebut dalam kurun 1990-2008 muslim di Cina mengalami peningkatan. Dan jumlahnya diprediksi akan melonjak menjadi 31 juta di tahun 2030. Sedangkan untuk jumlah masjid, ada sekitar 30.000 yang tersebar di Negeri Tirai Bambu itu, dan mayoritasnya berada di Xinjiang. Meski begitu, tetap saja sikap represif negara itu akan selalu ada. Dan kemungkinan peningkatan jumlah muslim tersebut dibarengi pula dengan penghancuran masjid dan penindasan umat muslim. (cnbcindonesia.com).

Mengukuhkan Penjajahan

Berbagai tindakan kekerasan dan penyiksaan sadis yang dilakukan rezim Cina terhadap minoritas muslim Uighur hingga saat ini, adalah bukti bahwa Cina komunis benar-benar kejam dan tidak pernah berpihak pada Islam, sebagaimana yang diopinikan secara sepihak oleh rezim Cina komunis dan para agennya kepada dunia.

Hal ini semestinya dapat disadari oleh dunia Islam. Karena sesungguhnya Cina adalah negeri yang menganut ideologi sosialisme-komunisme. Meski dalam interaksi internasional, Cina lebih memainkan perannya dengan warna ideologi kapitalisme sekuler, namun sejatinya Cina adalah negara komunis. Dan secara ideologi, kapitalisme-sekuler dan komunisme itu jelas bertentangan dengan ideologi Islam.

Cina komunis mengetahui bahwa kekuatan umat Islam itu ada pada ajaran Islam sebagai ideologi. Maka berbagai kamp ideologis (kamp re-edukasi) yang mereka bangun secara masal dan masif, adalah implementasi dari sikap represif Cina yang kejam dan sadis terhadap muslim Uighur. Ini dalam rangka menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam ideologis serta menguatkan propaganda ideologi komunis di negaranya. Di samping itu, Cina hendak mengukuhkan hegemoni dan penjajahannya di wilayah Turkistan Timur. Cina sungguh tidak ingin kekuatan ideologi Islam terus membesar dan berpengaruh luas ke wilayah Cina lainnya.

Ketakutan Cina komunis terhadap potensi perkembangan Islam ideologi itu kian diperkuat oleh adanya rencana pemerintah Cina untuk memodifikasi terjemahan kitab suci Al-Qur’an ke dalam versi Tiongkok, dengan menggabungkan nilai-nilai Konfusianisme alias Konghucu. Upaya yang sudah digagas sejak 2018 ini memang ditargetkan ke Xinjiang, wilayah di barat daya Cina yang mayoritas dihuni muslim terutama etnis Uighur.

Sejumlah pengamat menilai Partai Komunis ingin memperkuat pengaruh dan nilai-nilai Tiongkok atas Islam di negeri itu. Cina sungguh tidak ingin fitur-fitur asing lebih dominan di negara tersebut. Dosen Studi Cina di Universitas Manchester, David Stroup, mengatakan bahwa pemerintahan Beijing ingin memperketat kontrol yang lebih langsung atas kelompok-kelompok Islam dan mengambil langkah untuk menghapus fitur yang terlalu asing dari tempat-tempat umum, seperti praktik-praktik iman, terutama khutbah mingguan para ulama di sana. Intinya, Cina hendak melakukan sinifikasi Islam, yaitu merubah budaya non-Cina mengikuti kebudayaan Cina. Dengan ini semua, Partai Komunis Cina ingin menciptakan versi Islam-Cina yang dipandu oleh ateisme. (cnnindonesia.com).

Berbahaya

Upaya Cina melakukan sinifikasi Islam dengan memodifikasi terjemahan Al-Qur’an tersebut tentu sangat berbahaya dan bertentangan dengan Islam. Karena Al-Qur’an yang telah diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya sebagai petunjuk dan panduan hidup mukmin, telah diajarkan oleh Rasulullah saw secara langsung kepada para sahabatnya. Dan selanjutnya diajarkan, didakwahkan serta dipahami secara tawatur dari generasi ke generasi. Al-Qur’an itu tidak bisa ditakwilkan secara serampangan oleh siapa pun yang tidak memiliki kapasitas keilmuan yang diakui oleh Islam untuk menafsirkan Al-Qur’an.

Terlebih Al-Qur’an merupakan kalamullah yang berisi ketentuan tentang keyakinan dan seperangkat aturan syariat yang lengkap, baku dan sempurna sebagai sebuah sistem panduan hidup mukmin bahkan manusia secara umum. Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah sumber hukum yang melandasi berbagai aturan yang tercakup dalam ideologi Islam. Jika ada satu sisi saja yang diganti dengan ajaran, sistem atau paradigma lain, maka itu bukan lagi Al-Qur’an dan bukan lagi ajaran ideologi Islam.

Jadi, jika terjemahan Al-Qur’an di Cina benar-benar dimodifikasi dengan memasukkan nilai-nilai Konghuchu yang dipandu oleh ateisme, hal itu jelas sebuah kelancangan keji, wajib ditolak, dan sangat berbahaya secara ideologis. Bahkan patut diduga adanya tendensi serius untuk merusak pemahaman ideologi Islam yang utuh, serta menundukkan kaum muslimin pada kepentingan Cina komunis dengan mengatasnamakan konfusianisme.

Jelaslah bahwa penggambaran rezim Cina komunis yang sedemikian toleran dan pro pada Islam dan kaum muslimin di sana, adalah sebuah klaim sepihak yang bertolak belakang dengan realitas yang ada. Keberadaan beberapa masjid, bebasnya komunitas muslim hidup dan berinteraksi dengan warga lainnya, bahkan tampak dilindungi, sejatinya karena mereka itu adalah muslim yang dianggap patuh, mampu berasimilasi dan beradaptasi dengan budaya lokal dan tidak membahayakan eksistensi ideologi komunis yang diemban negara tersebut. Itu karena mereka hidup dengan warna Islam yang moderat.

Maka keberadaan komunitas muslim yang seperti itu tentu saja akan dibiarkan bahkan dilindungi, karena tidak berpotensi membahayakan eksistensi ideologi komunis. Apalagi keberadaan mereka dengan seluruh aktivitas ekonominya, baik terkait perdagangan maupun pariwisata pasar produk halal, dapat menguntungkan secara materi dan menghidupkan kekuatan ekonomi riil di masyarakat.

Berbeda dengan komunitas muslim Cina yang memiliki pemahaman Islam ideologis seperti muslim minoritas Uighur di Xinjiang. Maka terhadap mereka, rezim Cina komunis memilih bersikap represif dan menimpakan berbagai kekerasan keji yang memilukan, sebagaimana yang banyak dilansir oleh sumber berita yang kapabel di dunia. Itu karena rezim Cina komunis merasa takut terhadap potensi kebangkitan Islam ideologis di wilayah Turkistan Timur yang dapat mengancam eksistensi ideologi komunis yang diadopsi rezim setempat.

Muslim Uighur dianggap tidak patuh, dituduh radikal dan separatis, hanya karena mereka menyuarakan kehidupan Islam kaffah sebagai ekspresi keyakinan mereka pada agamanya. Padahal sejatinya sikap tersebut sangat alami dan normal, bahwa setiap penganut agama pasti meyakini ajaran agamanya, bahkan mendakwahkannya serta berjuang meninggikan agamanya. Sepanjang dilakukan secara cerdas dan argumentatif, serta tanpa kekerasan, seharusnya tetap dihargai dan tidak diusik. Itulah hakikat sikap toleransi. Namun fakta kehidupan muslim di Cina tidaklah demikian.

Ini menunjukkan kegagalan rezim komunis dalam mengayomi semua rakyatnya apapun etnis dan agamanya. Maka opini bahwa Cina toleran dan pro pada Islam hanyalah kedustaan. Karena rezim mereka telah tidak adil pada rakyatnya sendiri, terlebih pada komunitas muslim yang berkomitmen menyerukan Islam kaffah.

Di sisi lain, derita muslim Uighur di Xinjiang yang masih hidup di bawah tekanan dan sikap represif rezim setempat, seharusnya menyadarkan kaum muslimin seluruhnya untuk segera mewujudkan kembali persatuan kaum muslimin dunia di bawah kepemimpinan Islam. Sang pemimpin itulah yang akan mengomando kekuatan tentara kaum muslimin, untuk membebaskan kaum muslimin Uighur dan yang lainnya dari penjajahan dan tindakan represif rezim yang kufur.

Para pemimpin kaum muslimin dan tokoh umat seluruhnya, harus segera meninggalkan sikap ashabiyah mereka atas nama nasionalisme yang menghalangi persatuan umat Islam sedunia. Untuk itu perlu terus digelorakan semangat perjuangan dakwah Islam kaffah yang diemban secara berjamaah dan terarah oleh sebuah partai politik Islam ideologis, demi menghadirkan kembali kehidupan Islam kaffah dalam naungan Khilafah. [SM/Ah]