Keengganan Menikah  pada Generasi Muda Memicu Depopulasi

  • Opini

Oleh: Hj. Padliyati Siregar ST

Suaramubalighah.com, Opini – Ancaman penurunan populasi telah menjadi masalah serius yang tengah dihadapi sejumlah negara di belahan dunia, terutama di negara-negara Asia dan Eropa. Kondisi ini disebut sebagai ‘resesi seks’ yang mengacu pada rendahnya angka perkawinan dan keengganan pasangan muda untuk berhubungan seksual, menikah dan punya anak.

Bahkan, baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mengungkap bahwa Indonesia tengah menghadapi penurunan angka pernikahan sejak enam tahun terakhir. Puncaknya dalam tiga tahun terakhir, angka pernikahan di Indonesia menyusut sebanyak 2 juta. Angka pernikahan di Indonesia yang terus mengalami tren penurunan menjadi perbincangan hangat di media sosial beberapa hari terakhir. Salah satu akun merinci angka pernikahan sepanjang 2013-2023 dan tercatat tahun 2023 sebagai angka pernikahan terendah. Unggahan tersebut pun banyak mendapat tanggapan dan pandangan yang beragam.

Ada beberapa daerah yang mengalami fenomena ini. DKI Jakarta mengalami penurunan dengan angka 4.000. Untuk Jawa Barat mengalami penurunan sebanyak 29.000. Kondisi yang sama juga terjadi di wilayah Jawa Tengah dengan angka 21.000 dan Jawa Timur 13.000. Berdasarkan data dari BPS menjelaskan bahwa jumlah pernikahan di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 1.577.255. Dibandingkan dengan tahun 2022, angka tersebut turun sebanyak 128.000. Sedangkan angka pernikahan Indonesia dalam satu dekade terakhir turun sebanyak 28,63 persen

Tentu saja penurun angka pernikahan ini menjadi perhatian publik. Salah satunya Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair yakni Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si. menyebutkan bahwa penyebab turunnya angka pernikahan ini karena perempuan telah memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan potensi dirinya. Pada zaman yang sudah serba maju ini perempuan telah memiliki kesempatan yang lebar untuk sekolah dan bekerja. Dengan begitu, ketergantungan perempuan juga semakin menurun

Prof. Bagong juga menjelaskan bahwa penyebab lain dari menurunnya angka pernikahan adalah tidak banyak laki-laki yang dalam kondisi ekonomi mapan. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan yang semakin sulit untuk dicari. Pada dasarnya fenomena ini adalah hal yang wajar. Penurunan angka pernikahan ini juga akan berdampak pada menurunnya angka kelahiran. Dia mengatakan tidak perlu khawatir dengan fenomena ini, karena yang paling penting dapat berdampak positif dan mampu memberdayakan perempuan serta masyarakat.

Racun  Kesetaraan Gender

Fenomena enggan menikah dan  juga tidak mau memiliki anak, sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Sejak 1970-an, keduanya telah menjadi perbincangan dalam studi berbagai disiplin ilmu, mulai dari sosiologi, psikologi, biologi, hingga ekonomi. Dalam berbagai studi disebutkan bahwa bagi pendukung menunda menikah bahkan sampai tidak menikah dan mendorong keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak ialah dalam rangka mencapai keadilan gender dan orientasi karier kaum perempuan.

Secara keseluruhan, para peneliti telah mengobservasi bahwa para perempuan yang enggan menikah dan pasangan yang memilih tidak punya anak, dianggap lebih berpendidikan. Mungkin karena ini mereka cenderung ingin dipekerjakan dalam bidang manajemen dan profesional, baik pada kedua belah pihak ataupun pasangan untuk mendapatkan penghasilan tinggi dan tinggal di area urban. (Doyle, et al. 2013. Clarke, Victoria, et al. 2018).

Barat menarasikan kesetaraan gender sebagai ide yang sangat penting untuk kaum perempuan. Mereka menyerukan bahwa kebebasan dan pemberdayaan perempuan, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi, merupakan kunci terselesaikannya berbagai persoalan perempuan. Perempuan muda juga harus produktif dan tidak terpenjara dalam tugas domestik yang tidak berbayar. Jika perempuan muda bekerja, mereka bisa menambah pendapatan dan mengurangi kemiskinan, bahkan meningkatkan pendapatan negara.

Dalam Youth Strategic 2030, PBB memberi perhatian khusus untuk mendorong anak muda laki-laki dan perempuan untuk mengambil peran utama dalam penyelamatan ekonomi dunia. Dengan narasi menyesatkan ini, Barat menggiring perempuan (termasuk muslimah muda) berlomba-lomba terjun “memberdayakan diri” dalam dunia kerja. Mereka jadi bertekad mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung pada laki-laki, juga tidak perlu membangun keluarga . Kalaupun menikah, mereka tidak punya keinginan untuk memiliki keturunan.

Tidak hanya menjerat kaum muslimah dalam pemberdayaan ekonomi, Barat juga merusak muslimah muda dengan gagasan sesat mengenai hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). Implikasi HKSR ini adalah kendali perempuan atas tubuhnya (bodily autonomy). Hak otonomi atas tubuh perempuan ini membuat mereka merasa dapat menentukan secara mandiri dengan siapa ia melakukan aktivitas seksual, kapan ia mau menikah, apakah ia mau memilih memiliki anak, dan hal lain terkait kehidupan seksual dan reproduksinya.

Barat juga merusak muslimah secara sistemis. HKSR dianggap sebagai elemen kunci terwujudnya kesetaraan gender, apalagi salah satu target SDGs (target 5.6) adalah memastikan akses universal atas kesehatan seksual dan reproduksi, juga hak reproduksi. Demikianlah jebakan kesetaraan gender atas nama pemberdayaan ekonomi dan kebebasan dalam hak reproduksi. Inilah yang memperdaya muslimah muda sehingga lebih memilih mengejar dunia yang jauh dari syariat. Atas nama kebebasan, mereka melupakan kemuliaan syariat menikah untuk menyempurnakan agamanya serta menjadi ummu wa rabbatul bait dan ummu ajyal.

Makin miris ketika para muslimah muda tidak memahami racun ide kesetaraan gender ini. Bahkan sekarang, banyak aktivis muslimah muda ikut menyuarakannya karena dianggap dapat menjadikan muslimah muda maju sesuai tuntutan dunia modern; juga membebaskan dari “kungkungan aturan Islam” yang dianggap kuno dan membawa kemunduran peran muslimah. Selain bertentangan dengan syariat Islam, gagasan kesetaraan gender ini  sejatinya merupakan bentuk keegoisan manusia dan berpotensi besar merusak, bahkan menghancurkan peradaban dunia. 

Bukan tanpa alasan, keluarga merupakan unit terkecil dalam sistem sosial masyarakat yang bertanggung jawab mewujudkan peradaban umat manusia dapat terus berjalan. Keluarga juga penentu utama baik atau buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, ketahanan keluarga harus terlindungi, salah satu adalah dengan memiliki anak (keturunan). Jangan sampai terjadi depopulasi seperti di negara negara barat karena enggan menikah dan yg telah menikah enggan melahirkan akibatnya penduduk tua mendominasi dan produktivitas akan menurun.

Kembali pada Aturan Allah sebagai Solusi

Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan sesuai fitrah dan tabiat kemanusiaan. Setiap aturan Allah Ta’ala menjamin keadilan dan kebaikan bagi seluruh manusia. Melaksanakan Islam kaffah bukan berarti mengancam kebebasan, melainkan justru menyelamatkan masyarakat, khususnya generasi muda, dari kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Allah telah menggariskan berbagai aturan paripurna dalam kehidupan sosial yang menjamin kehidupan yang suci dan produktif di kalangan laki-laki maupun perempuan. Islam mewajibkan kaum muslim menghiasi diri dengan takwa dan iffah (penjagaan kesucian diri).

Islam juga memerintahkan perempuan berpakaian yang menutup sempurna seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan; serta menjauhkan dari interaksi yang tidak semestinya antara laki-laki dan perempuan, seperti khalwat, safar perempuan tanpa mahram, campur baur dalam kehidupan tanpa hajat, dan sebagainya. Semua aturan ini dilengkapi dengan dorongan untuk menikah, bahkan diberikan kemudahan dalam pernikahan sehingga lebih menjaga kesucian dan kehormatan. Dengan demikian, para muslimah akan hidup dalam kemuliaan. Ketika mereka melahirkan generasi penerus, mereka akan mampu mencetaknya sebagai generasi produktif dan mulia, generasi pembentuk peradaban terbaik. Insya allaah.

[SM/Ln]