Ketika Ibu Membunuh, kepada Siapa Hadhanah Diberikan?

Oleh: Mahganipatra

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Kembali kita mendengar kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Seorang ibu tega membunuh anaknya sendiri, dengan menusuk korban sebanyak 20 kali hingga tewas. Sulit dipercaya, namun sayangnya berita tersebut adalah kisah nyata yang terus berulang.

Sampai-sampai kita tertegun dan mulai bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang ibu tega membunuh anaknya? Apalagi dengan 20 kali tusukan hingga tewas, ke mana hati nurani dan fitrah keibuannya? Mengapa bisa sampai sesadis dan biadab seperti itu, menusuk putra kandungnya yang masih kecil hingga tewas, apa penyebabnya?

Peran dan Fitrah Perempuan dalam Keluarga Muslim

Di dalam Islam, peran perempuan dalam keluarga sangat penting, yaitu sebagai ibu (ummun) dan pengelola rumah (rabbah al-bayt). Oleh karena itu, posisi dan kedudukannya sebagai ibu (ummun) ini, telah memberikan hak penuh kepada ibu untuk mengandung, melahirkan, merawat, menjaga, menyusui, dan mengasuh anak-anak.

Peran ini, terutama dalam masalah pengasuhan merupakan bagian penting dari hak sekaligus kewajiban bagi seorang ibu sampai anak usia mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk).  Sehingga seorang anak akan memperoleh kasih sayang secara sempurna dari seorang ibu, mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan fitrahnya.

Selain itu, kedudukan ibu (ummun) juga berperan sebagai pendidik utama dan pertama bagi buah hatinya. Seorang ibu harus mampu meletakkan dasar-dasar pembentukan jiwa dan karakter pada anak- anaknya untuk mempersiapkan mereka menjadi generasi yang tangguh, salih, dan bertakwa. Dengan peran ini maka seorang perempuan atau ibu akan menjadi mulia.

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme sekuler yang sedang mencengkeram negeri ini, kedudukan dan peran ini mulai tergeser. Tidak semua ibu mampu untuk menunaikannya, sebab masih ada sebagian ibu yang mengabaikan perkara tersebut. Hal ini terjadi karena kehidupan keluarga muslim saat ini sedang mengalami goncangan. Sehingga ada sebagian perempuan yang berstatus istri dan ibu namun memilih untuk menyerahkan urusan anak-anaknya kepada baby sitter atau pembantunya.

Hal ini terjadi karena beberapa sebab, di antaranya adalah karena para istri atau ibu lebih memilih untuk bekerja, sementara suami juga tidak mampu menjadi qawwam yang berhasil mendudukkan posisi istri agar fokus sebagai ummun wa rabbatul bayt. Ada pula karena memang kondisi terpaksa di mana istri harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga disebabkan oleh suaminya yang tidak bekerja. Sehingga pilihan menjadi pekerja semata-mata untuk bertahan dalam hidup.

Kemudian muncul pula kasus-kasus lainnya, misalnya terjadi perceraian, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa anggota keluarga. Baik kekerasan fisik maupun verbal terhadap pihak istri atau suami, atau terhadap anggota keluarga lain. Misalnya orang tua yang memperlakukan buah hati mereka dengan tidak manusiawi, terjadi penganiayaan hingga pembunuhan.

Penyebabnya pun beragam ada yang berpangkal dari kondisi tekanan ekonomi yang berdampak pada emosi dan perilaku suami atau istri yang menyimpang. Atau karena murni terjadi karena gangguan kesehatan pisik atau mental yang diderita oleh pihak istri atau suami, yang menyebabkan mereka tidak mampu mengasuh anak-anak mereka. Lalu kepada siapa hak dan kewajiban hadhanah anak diberikan?

Hak Pengasuhan

Hadhanah adalah menjaga atau mengasuh anak kecil yang masih lemah akalnya dari berbagai hal yang dapat membahayakannya, mendidiknya dan menunaikan apa-apa yang baik dan dibutuhkan oleh anak  hingga dia mampu mandiri. Sebenarnya hak menjaga atau mengasuh anak yang masih kecil dalam masalah hadhanah, ketentuan awalnya berada pada kedua orang tuanya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam firman-Nya;

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat  yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)

Jadi kedua orang tualah yang memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga dan melindungi, serta mengurus segenap keperluan anak dengan penuh cinta dan kasih sayang. Akan tetapi ketika terjadi persoalan dalam rumah tangga yang berdampak pada persoalan pengasuhan anak. Seperti terjadi perceraian orang tua, sementara anak-anak masih kecil. Atau terjadi kasus lain seperti kasus penganiayaan dan pembunuhan yang terjadi di Bekasi, akibat kondisi ibu yang yang mengalami gangguan mental.

Maka, pelaku seperti SNF (26) yang melakukan kekerasan terhadap anaknya hingga mengakibatkan meninggal dunia atau pembunuhan yang disebabkan oleh pelaku yang mengalami penyakit schizofrenia. Penyakit schizofrenia adalah gangguan sakit mental yang berat dan dapat memengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi. Penderita schizofrenia bisa mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku.

Seorang ibu yang terganggu kesehatannya secara pisik maupun emosi hingga sakit mentalnya, terutama jika sudah terbukti menderita gangguan kejiwaan seperti penyakit schizofrenia. Tentunya, kondisi buruk ini bukan hanya akan membahayakan jiwa penderita itu sendiri, tetapi juga dapat membahayakan jiwa anak-anaknya yang ada dalam pengasuhannya (hadhanah). Dalam kondisi seperti ini, maka seorang ibu kehilangan haknya dan dianggap tidak layak untuk mengasuh anaknya.

Karena kondisi ibu tidak memiliki kemampuan mengendalikan diri dalam mengelola emosi. Hal ini akan sangat membahayakan bagi keselamatan anak yang diasuhnya. Maka Islam memiliki aturan dan mekanisme dalam menentukan hak asuh anak dalam masalah perwalian maupun hadhanah. Lalu, siapa saja yang berhak dan wajib melakukan hadhanah kepada anak-anak yang masih balita?

Hak Pengasuhan Anak

Hadhanah merupakan salah satu kebaikan dalam Islam dan bentuk perhatiannya terhadap anak-anak,  termasuk kategori menjaga jiwa (hifzh al-nafs) yang telah diwajibkan oleh Allah SWT. Jiwa anak wajib dijaga agar terhindar dari kebinasaan, sekaligus diselamatkan dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya. Sebab pengasuhan adalah hak bagi setiap anak dan bagi siapa saja yang telah diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengasuhnya. Maka pengasuhan terhadap anak menjadi wajib bagi seorang pengasuh tertentu jika ia telah ditentukan secara khusus dan bukan secara umum.

Artinya pengasuhan anak hanya menjadi hak dan kewajiban bagi mereka  dengan memberlakukan sejumlah persyaratan bagi pihak yang memiliki otoritas sebagai pengasuh. Tidak diberikan kepada mereka yang memiliki sifat-sifat buruk, seperti sifat fasik yang akan mengakibatkan anak yang diasuhnya tumbuh dengan sifat-sifat yang rusak. Sebab kerusakan itu sendiri dapat dipandang sebagai suatu kebinasaan. Pengasuhan anak juga tidak dapat diberikan kepada orang kafir,kecuali pengasuhan anak oleh ibu kandungnya.

Oleh sebab itu, berkaitan dengan hadhanah di dalam syariat Islam, telah dijelaskan hukum-hukum pengasuhan, syarat-syarat bagi pemegang hak hadhanah, serta siapa saja yang paling berhak dalam mengasuh anak. Di dalam kitab Sistem  Pergaulan Dalam Islam karangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, disebutkan bahwa hak pengasuhan terkait dengan kekerabatan, yang di dalamnya juga terdapat hak dan kewajiban kerabat dalam pengasuhan anak.

Jadi jika kondisi ayah dan ibu berpisah (bercerai), atau karena kondisi tertentu ternyata keduanya tidak mampu untuk mengasuh anak-anak mereka. Maka ketika anak belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruk), yang paling berhak atas kewajiban hadhanah  jatuh kepada keluarga dari pihak ibu, misalnya nenek dari ibu. Kemudian jika nenek tidak mampu akan jatuh kepada pihak yang lebih dekat lagi, seperti bibi dari ibu yang tampak nyata menyayangi anak tersebut dan seterusnya.

Ketika pihak dari keluarga ibu tidak bersedia atau tidak layak dalam persoalan hadhanah. Maka hak dan kewajiban hadhanah jatuh kepada pihak keluarga dari ayah, seperti nenek atau kakek dari ayah, ibu dari kakek, saudara perempuan kandung dari ayah, saudara seibu atau seayah, bibi dari ayah dan seterusnya. Sampai kemudian anak tumbuh besar mencapai usia tujuh tahun dan sudah mumayyiz, maka anak berhak memilih dengan siapa dia ingin tinggal sampai dia dewasa.

Namun jika ternyata seluruh keluarga menolak atau bahkan mereka ternyata secara hukum dipandang tidak layak untuk memegang otoritas pengasuhan. Maka kewajiban mereka menjadi gugur. Sebab anak hanya boleh diasuh oleh orang-orang yang bisa menyayangi, menjaga dan memberikan kebaikan pada anak. Oleh karena itu kewajiban hadhanah akan beralih kepada negara.

Negara wajib menyelenggarakan pengasuhan bagi seluruh anak-anak yang terlantar yang membutuhkan hadhanah (pengasuhan) hingga anak mandiri dan tidak lagi butuh hadhanah (tergantung kondisi anak). Negara akan memastikan terpeliharanya jiwa dari setiap warga negaranya. Terutama saat ada anak masih dalam tanggungan hadhanah tetapi terabaikan, diperebutkan, diperselisihkan yang akan mengancam pada kerusakan, kebinasaan pada anak.

Karena salah satu fungsi dan tujuan dari ditegakkannya negara dalam Islam adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh manusia. Termasuk dalam menunaikan kewajibannya yaitu memelihara, melindungi dan menjaga seluruh warga negaranya termasuk dalam menyelesaikan perkara mengasuh dan memelihara anak-anak yang terlantar. Wallahu a’lam bishshawab.

[SM/Ln]