Gilbert Lumoindong Hina Islam, Haruskah Dimaafkan?

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab – Tanya: Baru-baru ini beredar video yang menggambarkan seorang pendeta menghina ajaran agama Islam (salat dan wudu yang dikaitkan dengan kecilnya zakat yang dikeluarkan). Setelah viral di media sosial, beredar pula video yang menunjukkan bahwa sang pendeta meminta maaf kepada mantan Wakil Presiden (Wapres) yang dianggap sebagai perwakilan umat Islam. Yang jadi pertanyaan, haruskah penghina ajaran Islam dimaafkan?

 (Rina)

Jawab:

Menghina Islam termasuk perkara yang diharamkan Allah SWT. Bentuk penghinaan itu bisa bermacam-macam seperti mencaci Allah dan Rasul-Nya, mengolok-olok ajaran Islam, memperlakukan kitab suci dengan cara-cara yang tidak beradab dan lain sebagainya.

Penghinaan, pelecehan atau penistaan merupakan istihza, yang secara bahasa berarti as-sukhriyyah (ejekan, cemoohan atau olok-olok) atau menyatakan kurang (tanaaqush).  Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisanul Arab (hal. 58 jilid 15) mengatakan bahwa kata ha-za-a  yahzau huz-an wa huzuan wa mahza-atan wa tahazan wa istahza-a bihi bermakna sakhira. Sehingga al-huz-u wa al huzu-u bermakna as-sukhriyyah.

Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali di dalam Kitab Ihyâ‘ ‘Ulûm ad-Dîn (3/131) menyatakan, makna as-sukhriyyah adalah merendahkan dan meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan. Pengharaman  melakukan penghinaan terhadap Islam telah disampaikan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,

وَإِن نَّكَثُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُم مِّنۢ بَعۡدِ عَهۡدِهِمۡ وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمۡ فَقَٰتِلُوٓاْ أَئِمَّةَ ٱلۡكُفۡرِ إِنَّهُمۡ لَآ أَيۡمَٰنَ لَهُمۡ لَعَلَّهُمۡ يَنتَهُونَ ١٢

Mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji. Mereka pun mencerca agamamu. Karena itu perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu. Sungguh mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti (QS At-Taubah [9]: 12)

Di dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir menggambarkan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian gencatan senjata dalam masa tertentu dan merusak perjanjiannya. Mereka mencela dan mengecam agama Islam. Sehingga berdasarkan ayat ini ditetapkan hukuman mati terhadap orang yang mencaci Rasulullah saw., mencerca agama Islam, dan mendiskreditkannya. Karena itulah dalam firman Allah SWT selanjutnya disebutkan,

فَقَٰتِلُوٓاْ أَئِمَّةَ ٱلۡكُفۡرِ إِنَّهُمۡ لَآ أَيۡمَٰنَ لَهُمۡ لَعَلَّهُمۡ يَنتَهُونَ

Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, supaya mereka berhenti. (QS At-Taubah: 12)

Maksudnya agar mereka sadar akan kekufuran, keingkaran dan kesesatannya, lalu menghentikannya. (Tafsir Ibnu Katsir Juz ke-10)

Di dalam ayat lain Allah SWT berfirman,

وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦

Jika kamu bertanya kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, “Sungguh kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At-Taubah [9]: 65-66)

Dari dua ayat ini dapat disimpulkan bahwa melakukan istihza (mengolok-olok, menghina, mengejek) ajaran Islam termasuk perkara yang diharamkan Allah SWT, bagi para pelakunya tidak ada pemberian maaf, bahkan mereka berhak untuk mendapatkan hukuman mati.

Al-’Allamah Al-Qadhi Iyadh di dalam Kitab Asy-Syifa mengutip riwayat:

وروى ابن وهب عن مالك: من قال إن رداء النبي صلى الله عليه وسلم -ويروى: زرَّ النبي صلى الله عليه وسلم- وسخ؛ أراد به عيبه قُتِل.

Ibnu Wahb meriwayatkan Imam Malik berkata: Siapa saja yang berkata bahwa selendang Nabi kotor, dengan bermaksud menghina, maka dia harus dibunuh.

Dari sini nampak jelas, jangankan mengolok-ngolok gerakan salat atau kecilnya besaran zakat (2,5 %), sehingga pemeluk Islam harus beribadah lima kali sehari (salat) dan selalu harus bersih-bersih (wudu) sebagaimana dikatakan pendeta GL, yang semua itu merupakan ajaran yang disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Mengatakan bahwa selendang Nabi kotor dengan bermaksud menghina saja, merupakan perkara yang terlarang, bahkan pelakunya harus dibunuh.

Pemberian hukuman mati terhadap orang-orang yang melakukan istihza, dan ditolaknya permintaan maaf mereka merupakan bentuk hukuman yang akan menjadikan para pelaku yang selama ini dibiarkan harus berpikir ulang  bahkan hingga ribuan kali untuk melakukan kembali. Hal ini menunjukkan bahwa sanksi di dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir).

Sebaliknya dibiarkannya para pelaku istihza, bahkan mereka diberikan maaf hanya akan menambah panjang daftar para pelaku penista agama. Dan ini hanya terjadi di dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi-sekuler yang menjunjung tinggi kebebasan (liberalisme), termasuk di dalamnya kebebasan berbicara. Semua pihak berhak untuk berbicara apapun hatta perkataan yang dapat menyinggung pemeluk agama lainnya. Jikapun ada di antara mereka yang mendapatkan hukuman, maka hukumannya tidak sebanding dengan kesalahannya dan tidak memberikan efek jera. Sehingga wajar jika penistaan terhadap ajaran agama Islam terus terjadi.

Dari sinilah kita melihat urgensi penerapan Islam secara kaffah dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara, sehingga umat tidak dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang berlarut-larut yang berujung pada terhinanya umat Islam dan ajarannya. Allah SWT berfirman,

 وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعۡضِ ذُنُوبِهِمۡۗ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ ٤٩

Dan hendaklah engkau memutuskan di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakanmu  terhadap apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan Sebagian dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan Manusia adalah orang-orang yang fasik (QS Al-Maidah: 49)

Hanya saja penerapan syariat Islam hanya bisa diwujudkan oleh institusi  warisan Rasulullah saw., yaitu Khilafah. Tanpa Khilafah, syariat Islam hanya akan kehilangan fungsinya sebagai problem solver bagi masalah yang dihadapi umat Islam di dunia. Tanpa Khilafah, penistaan demi penistaan terus datang silih berganti dalam beragam bentuknya. Dan ini merupakan musibah yang menimpa umat Nabi Muhammad saw. saat ini.

Wallahu a’lam bi ash-shawab. [SM/Ln]