Oleh: Siti Murlina, S.Ag
Suaramubalighah.com, Telaah Hadis – Hari raya IdulFitri (1 Syawal) dan Iduladha (10 Dzulhijjah), merupakan dua hari raya yang besar bagi kaum muslimin. Persoalan dalam menentukan hari raya (‘Ied) kaum muslimin membutuhkan dalil, baik itu dari Al-Qur’an maupun As-Sunah. Makanya dia hari raya ini merupakan bagian dari syariat. Hal ini didasarkan hadis Rasulullah saw. dari Anas ra., beliau saw. bersabda:
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Artinya:
“Ketika Rasulullah saw. datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa Jahiliyah. Maka beliau berkata, ‘Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idulfitri dan Iduladha (hari Nahr).” (HR An-Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178)
Hadis di atas disahihkan oleh Bukhari dan Muslim, karena memenuhi syarat dari jalur sanadnya. Berkenaan dengan hadis di atas, Imam As-Suyuthi ra. menegaskan bahwa dua hari raya ini (Idulfitri dan Iduladha) merupakan kekhususan bagi umat Rasulullah saw. Dan pensyariatannya merupakan rahmat dari Allah SWT.
Karena di hari tersebut Allâh SWT memiliki banyak kebaikan yang berulang, berupa berbuka setelah dilarang makan minum, mengeluarkan zakat fitrah, penyempurnaan haji dengan thawaf dan daging kurban. Juga karena biasanya pada hari itu berisi kebahagiaan, kesenangan dan semangat serta ditumpahkannya segala rasa suka cita. Dan dalam hadis yang lain Rasulullah saw bersabda :
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمَ
Artinya:
“Wahai Abu Bakar sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita“.
Sebelum Islam datang orang-orang jahiliah menjadikan hari raya mereka sebagai hari yang khusus, secara turun temurun. Bagi mereka hari raya merupakan momentum ibadah kepada tuhan berhala mereka, yang tentu saja bercampur dengan tradisi kesyirikan dan kejahilan. Yang diisi dengan bersenang-senang dengan perbuatan fasik dan permainan yang batil dan melalaikan.
Setelah Islam datang, jejak-jejak peribadatan jahiliah tersebut dihapus. Diganti dan diarahkan seluruhnya menjadi momentum peribadatan hanya untuk pengagungan kepada Al-Khalik semata yakni Allah SWT. Maka dihadirkan dua hari raya tersebut yakni Idulfitri dan Iduladha.
Pada dua hari raya tersebut terdapat ibadah agung yang disyariatkan. Pertama, Idulfitri merupakan hari raya untuk berbuka. Mereka diperbolehkan kembali makan, minum dan jimak pada siang hari, setelah sebulan penuh mereka dilarang melakukannya. Fitrah mereka yang terkekang pada siang hari selama bulan Ramadan, oleh Allah SWT dihalalkan dan dikembalikan sesuai dengan kodratnya. Sudah sepantasnya mereka bergembira dan bersuka cita atas hadiah tersebut.
Kedua, Iduladha, yaitu hari raya ketika seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan syariat penyembelihan hewan kurban, sebagai tanda ketundukannya kepada Allah SWT dan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya. Mereka bersuka cita untuk menikmatinya dan membagikannya kepada kaum fakir miskin di antara mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Tidaklah anak Adam melakukan sesuatu amalan pada hari Nahr (Iduladha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirnya darah (kurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.“ (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Allah SWT sebagai Al-Khalik dan Al-Mudabbir telah menganugerahkan kepada manusia sejumlah naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani (hajatul udhawiyah). Naluri jika tidak diatur oleh syariat pasti menimbulkan kegelisahan, kerusakan dan malapetaka.
Sedangkan kebutuhan jasmani ketika tidak diatur syariat dan tidak terpenuhi maka juga akan mengakibatkan kerusakan dan kematian. Maka sudah tabiatnya manusia menyenangi pada hal-hal yang untuk menyalurkan gharizahnya dan memenuhi kebutuhan jasmaninya. Pada dua hari raya tersebut penyaluran dan pemenuhan kedua hal tersebut diperbolehkan, bahkan diharamkan untuk berpuasa. Sungguh ini merupakan rahmat dan karunia dari Allah SWT kepada kita, umat Muhammad saw. yang sangat agung dan besar serta patut disyukuri.
Sudah sepantasnya kaum muslimin memahami kembali hakikat hari raya dengan visi dan misi yang sama dan sesuai dengan kehendak dan tujuan dari Al-Khaliq. Hendaknya selain bersuka cita juga menjadi ajang muhasabah diri, dari mana berasal, untuk apa keberadaan dirinya di dunia dan kemana setelah matinya.
Karena, dua hari raya tersebut hanya pantas bagi orang yang berhasil dalam memahami hakikat hidupnya di dunia dan keimanan yang kuat dan tinggi kepada Allah SWT. Dan diaplikasikannya dalam seluruh aspek kehidupannya baik hubungan dengan Penciptanya, hubungan dengan dirinya dan hubungan dengan sesama manusia lainnya.
Mereka adalah orang-orang yang menang melawan hawa nafsunya dan setan. Menang melawan setiap kecenderungan dan perilaku menyimpang pada jalan kesesatan dan kesyirikan. Mereka itulah orang-orang yang keimanan, ketaatan dan ketakwaannya diperbaharui atau bertambah.
Sebab, hakikat dari peribadatan yang dilakukan setelah puasa Ramadan adalah hasilnya adalah takwa. Dan sudah selayaknya disandang oleh seorang muslim. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ –
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah (2):183)
Berkenaan dengan ayat di atas, Ibnu Taimiyah, dalam kitab Al-Majmu’ul Fatawa menjelaskan mengenai pengertian takwa, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah.”
Sistem kapitalis sekuler yang berjalan saat ini, telah mengaburkan dan menyimpangkan hakikat makna hari raya itu sendiri. Momen Idulfitri dijadikan ajang untuk mengokohkan sekularisme melalui penguatan moderasi beragama melalui isu toleransi bagi umat beragama. Slogan “Hari Raya Idulfitri untuk Semua” atas nama keberagaman, umat digiring pada persatuan yang semu dalam bingkai kebangsaan (negara bangsa) yang justru telah mengoyak ukhuwah Islamiah.
Padahal seharusnya, bagi setiap muslim momen puasa Ramadan dan hari raya Idulfitri merupakan satu rangkaian yang mendorong pada ketakwaan yang hakiki. Takwa yang tidak hanya pada level individu tapi meluas pada level masyarakat dan terutama serta terpenting adalah sampai pada level negara. Atas dasar Akidah Islam akan terwujud ukhuwah islamiah yang hakiki.
Jadi, makna dari takwa adalah menerapkan seluruh aturan Allah dan membuang jauh-jauh ideologi kufur demokrasi sekuler yang berkedok moderasi dan toleransi dengan isu kebangsaan dan persatuan.
Setiap momen hari raya, kaum muslimin dapat terus meningkatkan ketaatan dan ketakwaan yang paripurna kepada Allah SWT, yakni dengan memahami Islam yang kaffah dan mendakwahkannya agar diterapkan seluruh syariat Islam dalam naungan Daulah Khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]