Game Online, Tsunami Digital Perusak Generasi

  • Opini

Oleh: Mutiara Aini

Suaramubalighah.com, Opini – Di era digital hari ini, kemajuan teknologi makin berkembang hingga kita disuguhkan pada fenomena yang menyerupai tsunami, yaitu sebuah gelombang besar dari game online yang siap menggulung para generasi muda, terutama para remaja dan mahasiswa yang masih labil dan belum memiliki kontrol diri yang kuat, sehingga membuat resah masyarakat terutama para orang tua terhadap anak-anaknya. Tentunya, hal ini menjadi tanggung jawab besar bagi kita sebagai umat yang beriman dalam melindungi generasi muda dari bahaya tersebut.

Berdasarkan data yang dirilis Sukirno (2020) melalui Aline.id, jumlah pemain game online tahun 2020 diprediksi naik dari 23,7 juta orang pada tahun 2019 menjadi 28,1 juta orang pada tahun 2020. Sementara data yang ditulis oleh Vika Azkiya Dihni (Januari 2022) melalui We Are Social, Filipina berada pada urutan pertama di dunia dengan persentase pengguna internet bermain video game sebesar 96,4% atau 964.000.000 orang. Indonesia menjadi urutan ketiga di dunia dengan peresentase pengguna internet bermain video gim sebesar 94,5% atau 263.420.981 orang. Di Indonesia remaja usia 15-18 tahun yang mengalami kecanduan game online sebesar 77,5% atau 887.003 remaja putra dan 22,5% atau 241.989 remaja putri (Gurusinga, 2021). Sementara menurut data yang diungkapkan Michael (2021) melalui merdeka.com, dilihat dari Esport (sebuah kompetisi gim), sekitar 58% atau 12.876.174 orang berasal dari anak muda berusia di bawah 18 tahun.
Melansir dari laman Antara, 17-4-2024, demi merespon maraknya tindak kriminalitas seperti kekerasan, pornografi, pelecehan seksual, dan perundungan yang dilakukan anak-anak akibat pengaruh game online, pihak pemerintah akan segera merampungkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang perlindungan anak dari game online.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar menjelaskan, gim yang mengandung unsur kekerasan sangat berdampak buruk pada perkembangan mental dan perilaku anak dan remaja. Untuk itu, pemerintah akan terus mengawasi konten atau game online yang mengandung kekerasan, termasuk adanya kemungkinan pemblokiran gim seperti Free Fire.

Bahkan MPU Provinsi Aceh pada Juni 2019 lalu telah mengeluarkan fatwa haram memainkan permainan daring Player Unknown’s Battlegrounds(PUBG) dan sejenisnya. Namun upaya ini belum mampu menyelesaikan persoalan ini, bahkan semakin canggih. Sebab solusi nya belum mendasar dan bahkan kontradiksi dengan program program yang secara langsung atau tidak langsung justru mengarahkan game online dengan berbagai motivasi terutama motif ekonomi.

Kapitalisme Penyebab Maraknya Game Online

Adiksi game online sudah dirasakan langsung oleh masyarakat, di antaranya dapat menimbulkan kerugian signifikan, yaitu timbulnya sikap dan perilaku kompulsif, agresif, dan acuh pada kegiatan lain.

Keresahan ini tentu sangat beralasan, mengingat anak-anak sebagai kelompok yang aktif pengguna digital utamanya TikTok yang dampaknya sangat luar biasa. Meski sebelumnya masyarakat telah melaporkan tentang dampak dari game dengan konten negatif tersebut, akan tetapi pihak TikTok tidak melakukan banned dengan alasan tidak melanggar komunitas, justru hari ini konten-konten negatif kian menjadi.

Dalam sistem kapitalisme sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) prinsip kebebasan menjadi spirit dalam kehidupan sosial, bahkan menjadi angin segar yang menjamin keberlangsungan bisnis tersebut. Mereka tidak peduli halal-haram dan seberapa rusak generasi hari in, karena keuntungan materi yang menjadi prioritasi. Bagi mereka, urusan moral menjadi nomor sekian, yang terpenting adalah bagaimana meraup keuntungan dan materi dengan mudah dan berlimpah. Hari ini, perkembangan teknologi seakan menjadi rona dalam interaksi sosial masyarakat. Bahkan tanpa disadari impor gaya hidup telah melenggang ke ranah privat sehingga memudahkan Barat mengimpor nilai dan prinsip kebebasan melalui dunia digital.

Di sisi lain, game online telah menjadi corong untuk menirukan tata hidup rusak mereka ke negeri-negeri muslim sehingga sistem pendidikan pun menjadi tak jelas arahnya dan kental dengan aroma bisnis berbasis proyek digitalisasi. Bahkan game online kini bukan lagi sebatas hiburan, tetapi menjadi gaya hidup kekinian.

Sungguh memprihatinkan melihat kondisi generasi muda saat ini. Seharusnya, generasi muda mampu memanfaatkan waktu luangnya bukan untuk kegiatan yang sia-sia seperti bermain game. Akan tetapi mereka justru lebih dekat dengan gadget daripada dengan Al-Qur’an dan terlena dengan perbuatan mubah dan unfaedah. Padahal Nabi saw. bersabda,

“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR Imam Tirmidzi)

Beberapa pakar menjelaskan bahwa game online dilihat dari aspek kesehatan dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan fisik bagi anak-anak dan pancaran radiasinya akan mengganggu kesehatan mata, mudah marah, kurang konsentrasi, susah tidur, dan gangguan kesehatan lainnya.

Begitu juga dari aspek moral, game online dapat menyebabkan perilaku brutal dan radikal dalam diri anak-anak. Mereka terinspirasi dari kekerasan yang mereka mainkan hingga merasa terbiasa dengan kekerasan di dunia maya akan menganggap biasa di dunia nyata bahkan dianggap sepele dan akhirnya menjadi pelaku kekerasan.

Dilihat dari dampak psikis akibat game online membuat susah bersosialisasi, kurang peduli terhadap lingkungan, dan malas belajar. Selain itu, dampak yang paling memperhatikan game online akan melalaikan kewajiban, waktunya sia-sia tidak produktif, silaturahmi dan keakraban memudar, bahkan memicu perbuatan asusila dan kriminal.

Butuh Solusi Islam


Berbeda dengan peradaban Islam, keberadaan teknologi akan digunakan untuk memfasilitasi dan menunjang pendidikan yang akan membawa manfaat dan keberkahan disertai dengan landasan keimanan sehingga akan tercipta kesalehan generasi dengan sistem pendidikan yang bermutu tinggi hingga mampu membangun peradaban yang cemerlang. Begitu juga peran negara dengan kekuatannya dapat memberantas konten-konten negatif di dunia maya entah itu yang hadir dalam gim, film, maupun iklan yang berseliweran di media masa. Maka, negara wajib hadir sebagai perisai yang membentengi generasi dari paparan konten negatif.

Di samping itu, masyarakat pun harus memiliki fungsi kontrol penting dengan menghidupkan amar makruf nahi mungkar, saling mengingatkan dan menasihati. Inilah ciri masyarakat Islam yang diikat oleh perasaan, pemikiran, dan aturan yang sama. Jauh berbeda dengan sistem sosial masyarakat hari ini yang cenderung individualistis, yakni kebebasan individu tetap dijamin meski melanggar hukum syarak.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah individu bertakwa yang di dalam dirinya tertanam ketaatan dan ketundukan kepada Sang Pencipta. Sehingga ketakwaan inilah yang akan menjadi benteng seseorang agar tidak terjerumus dalam dosa yang hadir di dunia nyata, maupun visualisasi di dunia maya.

Anak -anak muda dalam peradaban Islam dalam naungan khilafah, akan disibukkan dengan ketaatan kepada Allah SWT dan aktivitas yang bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Dijauhkan dari hal hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allâh dibawah naungan ‘Arsynya pada hari tidak ada naungan selain naungan Allâh Azza wa Jalla (yaitu) : imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla, seorang laki-laki yang mengingat Allâh dalam kesunyian (kesendirian) kemudian dia menangis (karena takut kepada adzab Allâh); seorang laki-laki yang hatinya selalu bergantung dengan masjid-masjid Allâh; dua orang yang saling mencintai, mereka berkumpul dan berpisah karena Allâh Azza wa Jalla ; dan seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang permpuan yang memilki kedudukan dan cantik akan tetapi dia menolak dan berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan sesuatu yang ia sembunyikan, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya. (HR Al-Bukhâri dan Muslim)

Dengan demikian, keberadaan game online dan problem konten-konten negatif yang membanjiri berbagai kanal di dunia digital bukanlah keresahan individu orang tua semata, tetapi merupakan sebuah keresahan sistemis yang membutuhkan solusi tuntas, yakni syariat Islam yang kaffah yang diterapkan oleh pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahu ‘alam bishshawab. [SM/Ln]