Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini – Beberapa waktu lalu, viral di media sosial, video jemaah shalat Idulfitri meninggalkan lapangan saat khatib Idulfitri menyinggung persoalan politik. Banyak netizen yang menyesalkan isi ceramah Idulfitri sang khatib. Dalam video tersebut, tampak jamaah beramai-ramai meninggalkan lapangan tempat shalat saat khatib masih berkhutbah di mimbar. Namun sang khatib tetap saja berceramah menyinggung masalah politik, dan mengkritisi dugaan terjadinya pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif, yang dikaitkan dengan kondisi pemimpin negeri. Disinyalir, bubarnya jemaaah shalat Idulfitri tersebut, karena masyarakat sudah bosan dijejali berita soal politik setiap hari di media sosial (Liputan6.com)
Secara hukum agama, khutbah dalam shalat Idulfitri berbeda dengan khutbah salat Jumat. Pada salat Jumat, khutbah merupakan salah satu syarat sah shalat, sedangkan pada shalat Idulfitri, khutbah bukan syarat sah atau rukun. Jadi hukumnya sunnah. Artinya, seseorang yang meninggalkan lapangan tempat shalat Idulfitri saat khutbah belum selesai, hukumnya boleh dan tidak berdosa. Namun ia kehilangan pahala sunnah.
Namun ada perkara lain yang patut dikritisi terkait peristiwa bubarnya jemaah shalat Idulfitri saat khutbah belum selesai, dikarenakan sang khatib menyinggung masalah politik dalam ceramahnya. Sebagaimana diberitakan bahwa selepas itu, sang khatib dimintai keterangan oleh pihak berwajib tentang isi khutbahnya yang dianggap membuat kegaduhan di masyarakat. Panitia penyelenggara shalat Idulfitri pun menyayangkan sikap sang khatib yang memasukkan bahasan politik dalam bahan ceramahnya. Hal itu dianggap menyalahi himbauan pihak panitia sebelumnya agar tidak menyinggung politik dalam khutbahnya. Sementara Kepala Kantor Kementerian Agama setempat menegaskan, bahwa dirinya telah membuat pengumuman dan sosialisasi terkait dengan panduan penyelenggaraan salat Idulfitri, yang salah satu poinnya melarang memasukkan materi politik dalam isi khutbah. Hal itu menurutnya, sebagai tindak lanjut Surat Edaran (SE) Menag No.1 tahun 2024 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah Ramadan dan Hari Raya Idulfitri Tahun 1445 H/2024 M.
Mengukuhkan Sekulerisme
Larangan memasukkan materi politik dalam ceramah agama, makin menegaskan bahwa negeri ini telah mengadopsi akidah sekularisme. Akidah yang memisahkan agama dari kehidupan dan politik. Dalam masyarakat sekuler, agama memang tidak berperan penuh. Agama hanya boleh berperan dalam mengatur ibadah mahdhoh saja. Sementara dalam menjalankan berbagai relasi kehidupan, agama tidak diberi ruang untuk memandu masyarakat. Demikian juga dalam kehidupan politik, agama sama sekali tidak punya peran. Semua relasi kehidupan masyarakat, berjalan dengan standar manfaat yang dinilai oleh akal manusia belaka. Panduan agama berupa halal-haram, standar baik-buruk dan terpuji-tercela, tidak lagi merujuk pada penetapan Islam. Tapi dikembalikan pada ukuran manfaat dan akal manusia secara liberal.
Inilah yang tengah terjadi di negeri ini. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim, namun Islam sebagai ideologi, didistorsi perannya. Islam tidak lagi dijadikan satu-satunya asas dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Islam politik harus absen dari perannya untuk mengatur urusan rakyat dan negara. Hingga konten ceramah agama pun harus dijauhkan dari pembahasan politik. Walhasil, rakyat negeri ini benar-benar apolitis, bahkan merasa takut untuk membahas politik. Jauh dari karakter mukmin sebagai khairu ummah (umat terbaik) yang cerdas politik sebagaimana yang dikehendaki hukum syarak.
Padahal, politik adalah bagian dari ajaran Islam yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap muslim. Dan tentu saja yang dimaksudkan adalah politik Islam yang hakiki. Bukan politik praktis pragmatis ala demokrasi yang sekuleristik dan menghalalkan segala cara dengan bebas, tanpa memperhatikan halal-haram. Karena politik dalam Islam adalah mekanisme syariat dalam mengatur urusan umat (ri’aayatu as-su’uunil al-ummah) baik dalam negeri maupun luar negeri.
Maka, tidak sepatutnya ada pelarangan memasukkan konten terkait politik dalam ceramah atau khutbah. Sepanjang semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah saw. hal itu sah dan boleh. Bahkan sebagai bagian dari implementasi dakwah Islam yang wajib hukumnya. Dan mengoreksi penguasa (muhaasabah lil hukkam) serta berbagai kebijakannya yang tidak sesuai dengan hukum syarak, juga bagian dari kewajiban dakwah. Tentu saja para da’i dan khatib wajib memperhatikan teladan dakwah Rasulullah saw serta berbagai teknik (uslub) dakwah terbaik menurut tuntunan syariat Islam. Dakwah yang dapat mencerdaskan serta membangkitkan kesadaran umat, bukan yang bersifat provokatif dan meresahkan. Itulah rambu-rambu Islam tentang dakwah.
Islam dan Politik Tidak Dapat Dipisahkan
Sebagai sebuah ideologi, Islam bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual saja. Tapi Islam juga menata kehidupan manusia di seluruh aspeknya, termasuk bidang politik. Oleh karenanya, Islam dan politik adalah dua perkara yang tidak bisa dipisahkan. Layaknya sebuah bangunan, agama (Islam) adalah pondasinya, sedangkan kekuasaan (politik) adalah penjaganya. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali rahimahullah, “Agama adalah pondasi (asas), dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi, niscaya akan runtuh, dan segala sesuatu yang tanpa penjaga niscaya akan hilang” (Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi Al-I’tikad, hlm.199).
Dan ketika Islam dipisahkan dari politik sebagaimana yang tengah berlangsung di negeri ini, maka berbagai kerusakan dan kezaliman pun terus terjadi. Seperti yang pernah ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Jika kekuasaan (as-sulthan) terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 28/394)
Oleh karena itu, dakwah Islam tidak boleh dibatasi secara sempit hanya pada urusan ibadah ritual saja, dan minus pembahasan politik. Dakwah Islam juga mencakup seruan pada Islam kaffah, mengkritisi pemikiran, ajaran dan opini yang bertentangan dengan akidah Islam, menghadirkan solusi Islam terhadap berbagai persoalan hidup manusia dengan solusi yang sahih dan menenteramkan jiwa, menyeru pada yang makruf (amr ma’ruf) serta mencegah dari yang munkar (nahiy munkar). Dan aktivitas muhaasabah lil hukkam termasuk di dalamnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi munkar, dan mengimani Allah…” (QS Ali Imran: 110)
Penting untuk diperhatikan bahwa aktivitas dakwah politik itu harus selalu terwujud dalam kehidupan umat. Karena dakwah Islam kaffah secara politis itu dapat mencegah meluasnya kerusakan dan kezaliman, serta menghindari tertolaknya doa orang-orang baik. Didorong oleh rasa sayang dan empati antar sesama muslim, kepedulian terhadap keselamatan akhirat sang penguasa, serta terwujudnya keberkahan hidup masyarakat, menjadikan dakwah Islam kaffah terus diemban oleh para pengemban dakwah Islam yang ikhlas. Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahiy munkar atau (jika tidak) Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa dan doa mereka tidak dikabulkan.” (HR Al-Bazzar)
Upaya Mencegah Kebangkitan Islam Politik
Harus diakui bahwa kini dunia masih dalam genggaman kekuatan kapitalisme global. Ideologi yang lahir dari akidah sekulerisme inilah yang sedang mengendalikan seluruh pergerakan opini dunia. Setelah kehancuran kekuatan sosialisme komunisme, kapitalisme menjadikan Islam sebagai musuh utamanya. Barat sebagai pengemban utama kapitalisme sekuler, sangat takut terhadap bangkitnya kembali Islam politik. Maka barat secara serius mencegah kemunculan Islam politik, meski baru sebatas ghirah (semangat) politik Islam, yang mungkin terjadi di negeri-negeri muslim di dunia, termasuk di negeri ini.
Hal ini dapat dipahami, karena Islam memang musuh kapitalisme sekuler. Sehingga barat terus menghalangi kebangkitan Islam. Karena kebangkitan Islam politik akan menjadi lonceng kematian bagi kapitalisme barat yang sekuler. Hegemoni penjajahan barat yang menyengsarakan dunia akan segera terhenti, dan akan digantikan oleh kepemimpinan Islam politik yang rahmatan lil alamin. Saat itu, kapitalisme barat akan kehilangan posisi kepemimpinannya di dunia, serta semua peluangnya untuk merampok SDA dunia. Inilah yang sangat ditakuti oleh Barat.
Karenanya, Barat berusaha dengan segala cara dan sarana untuk mencegah kebangkitan Islam politik. Barat membuat narasi dusta tentang kejahatan Islam politik melalui proyek war on terrorism dan war on radicalism. Mereka juga mengaruskannya secara paksa pada dunia termasuk ke negeri-negeri muslim, atas nama proyek Islam moderat atau moderasi beragama. Padahal sejatinya inti dari moderasi beragama itu adalah sekularisme dalam wajah yang lain.
Ketakutan Barat akan kebangkitan Islam politik inilah yang sesungguhnya ikut mendorong dan memaksa dunia dan berbagai negeri muslim untuk ikut mengopinikan Islam versi Barat. Islam moderat yang steril dari politik. Islam yang hanya membahas seputar ibadah ritual saja. Islam yang tidak akan memberi pengaruh nyata pada kemuliaan dan keistimewaan umatnya sebagai khairu ummah. Islam yang tidak akan pernah mencerdaskan pemeluknya, apalagi kritis terhadap berbagai kezaliman dan penjajahan.
Maka, adanya peraturan yang melarang masuknya konten politik pada ceramah dan khutbah, patut diduga sebagai bentuk implementasi pencegahan kebangkitan Islam politik yang dikendalikan oleh kapitalisme global. Kebijakan salah kaprah ini benar-benar in line dengan kepentingan negara penjajah pengusung kapitalisme global, yang memang tidak pernah suka jika Islam bangkit.
Hal ini harusnya dapat disadari sepenuhnya oleh para pemimpin umat negeri mayoritas muslim ini. Membiarkan berlangsungnya kebijakan-kebijakan yang tidak berasal dari ketentuan syariat Islam, apalagi mendukungnya, adalah sebuah kekeliruan yang harus disudahi. Seharusnya negeri ini paham, bahwa letak kemajuan, kewibawaan dan kemuliannya terletak pada kesanggupannya untuk lepas dari pengaruh dan kendali kapitalisme global yang sekuler, dan segera kembali pada Islam. Negeri ini harus kembali mengeksiskan politik Islam dalam penataan seluruh urusan rakyatnya, dan segera mencampakkan semua kebijakan yang sekuler kapitalistik. Untuk itu dibutuhkan aktivitas dakwah politik yang diemban secara serius dan terarah oleh partai politik Islam ideologis, demi hadirnya kembali kehidupan Islam kaffah dalam naungan Khilafah. [SM/Ln]