Oleh: Idea Suciati, M.AP
Suaramubalighah.com, Opini – Lebaran usai, pernikahan pun usai. Silaturahmi ramai, pengajuan perceraian pun ramai. Fenomena ini banyak ditemukan di beberapa tempat. Seperti di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Palembang mengalami peningkatan pasca-Idulfitri 1445 H. Pengadilan Agama Palembang mencatat ada 91 kasus perceraiannya yang masuk dalam sepekan. Penyebab kasus perceraian diajukan di Palembang ini beragam mulai dari masalah ekonomi, perselingkuhan yang menyebabkan KDRT dan lain sebagainya. (Detik.com, 24-4-2024)
Hal serupa terjadi di Bandung. Angka gugatan perceraian di Kota Bandung Jawa Barat pasca-Lebaran mengalami peningkatan. Kenaikan angka perceraian di Kota Bandung tersebut naik sekitar 5 hingga 10 persen dari biasanya. Tercatat dari Januari hingga April 2024 ini sudah ada sekitar 1.600 kasus perceraian yang dipicu karena faktor ekonomi, perselisihan, sudah tidak cocok, pihak ketiga hingga permasalahan judi online. (tvonenews.com, 20 April 2024)
Tren peningkatan angka perceraian pada bulan Syawal ternyata juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya di beberapa tempat. Misalnya pada pasca lebaran tahun 2023, di pengadilan agama Pangkalpinang Padang. Sebelum Hari Raya Idul Fitri, rata-rata terdapat 60 kasus perceraian per bulan. Namun, setelah itu, Pengadilan Agama Kelas I A Padang menghadapi beban yang lebih berat, dengan penanganan rata-rata 100 kasus perceraian setiap harinya. (Utamanews.com, 4-06-2023)
Terjadi pula di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dari data di Pengadilan Agama Pulang Pisau, pasca-Lebaran kasus perceraian terus meningkat. Pada bulan Januari hingga bulan Mei tercatat ada 42 perkara yang masuk di Pengadilan Agama Pulang Pisau. Kemudian hingga bulan Juni ini menjadi sebanyak 58 perkara telah masuk padahal baru beberapa hari setelah Lebaran.
Meningkatnya angka perceraian di bulan Syawal pasca-Ramadan khususnya diperkirakan karena dipicu banyak persoalan.
Menurut Nursal, Kepala Pengadilan Agama Kelas I A Padang misalnya, Banyak persoalan yang menjadi pemicu terjadinya perceraian tersebut, antara lain adalah acara reuni, pengaruh telepon pintar, dan chatting yang melibatkan pihak ketiga.
Selama bulan Ramadan memang hal yang banyak diadakan adalah acara-acara buka bersama sekaligus reuni. Di acara reuni semacam itu terjadi pertemuan, campur baur laki-laki dan perempuan. Tak sedikit kemudian berujung dengan fenomena cinta lama bersemi kembali. Dilanjutkan dengan interaksi yang tidak terjaga di sosial media, sampai berujung perselingkuhan dan akhirnya menjadi pemicu perceraian.
Selain itu, penyebab meningkatnya angka perceraian di bulan Syawal adalah karena banyak pihak yang menunda proses perceraian di bulan Ramadan, dan baru memprosesnya setelah Ramadan berakhir. Fenomena ini sangat disayangkan, mengingat seharusnya momen Ramadan menjadi momen penuh berkah khususnya di tengah keluarga untuk membangun ketakwaan dan keharmonisan yang lebih baik. Bulan Syawal pun seharusnya menjadi momentum untuk saling memaafkan khususnya pasangan suami dan istri, sehingga bisa mempertahankan keutuhan rumah tangga. Bukan malah sebaliknya, dengan peningkatan angka perceraian.
Di luar fenomena meningkatnya angka perceraian setiap pasca-Lebaran, kasus perceraian di Indonesia memang terbilang tinggi. Data tahun 2023, setidaknya ada 516.000 pasangan yang bercerai setiap tahun. Mirisnya, angka ini berbanding terbalik dengan angka pernikahan. Angka pernikahan justru terus mengalami penurunan. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof.Dr.Kamaruddin Amin menjelaskan, jumlah perceraian terbilang fantastis. Kenaikan angka perceraian di Indonesia, katanya, menjadi 516 ribu setiap tahun. Sementara, angka pernikahan semakin menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun. (Republika, 22-9-2023).
Hal ini tentu perlu menjadi perhatian berbagai pihak dan harus dicari akar permasalahan dan solusinya. Pasalnya, ketahanan keluarga yang merupakan institusi terkecil di negara ini sedang dalam masalah yang cukup serius, yang ditandai dengan meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya.
Multi Faktor
Ada banyak faktor penyebab pasangan suami istri mengakhiri pernikahan dengan perceraian. Di Indonesia setidaknya ada lima faktor tertinggi penyebab perceraian, yaitu perselisihan dan pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mabuk. (Databoks.katadata.co.id, 2023)
Ketua Umum Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar, menjelaskan, penyebab utama perceraian hingga 55% jumlahnya adalah karena percekcokan. Sementara itu, lanjutnya, perceraian akibat KDRT hanya 6.000-an kasus, tetapi angkanya semakin meningkat dari tahun ke tahun. 93% di antara kasus perceraian adalah cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan oleh istri. (Kemenag, 14/06/2022)
Jika kita dalami, faktor-faktor penyebab di atas tidaklah berdiri sendiri, melainkan disebabkan oleh faktor yang lebih besar dan mendasar yakni sistem hidup yang diterapkan hari ini, sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme ini tegak atas asas sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Pemahaman agama dikebiri hanya untuk urusan individu, sementara dalam urusan antar individu, termasuk antara suami istri tidak sepenuhnya diatur oleh agama atau syariat. Permasalahan yang sebetulnya biasa terjadi dalam rumah tangga sering timbul karena pelanggaran terhadap syariat, juga tidak diselesaikan sesuai dengan syariat.
Seperti dalam fenomena CLBK yang dipicu acara reuni atau grup-grup WA, terjadi dikarenakan tidak sesuai dengan syariat Islam yang melarang adanya yang campur baur antara laki-laki dan perempuan, juga melarang interaksi khusus antara laki-lali dan perempuan tanpa hajat syar’i. Sekularisme dalam pendidikan menjadikan umat Islam, khususnya pasangan suami istri, minim dari pemahaman Islam berkaitan dengan hak dan kewajiban suami dan istri. Tak sedikit suami yang melalaikan kewajiban nafkah lahir dan batin akhirnya memicu perceraian. Atau dari pihak istri yang melakukan pembangkangan atau nusyuz terhadap suami.
Sistem kapitalisme menjadikan standar kebahagiaan pada tercapainya sebanyak-banyaknya materi. Rumah mewah, perhiasan, tas branded, handphone mahal dan sebagainya, menjadi standar kebahagiaan yang dikejar. Ketika dalam pernikahan hal-hal semacam itu tidak terpenuhi, dianggap pernikahannya tidak bahagia, akhirnya memicu konflik dan berujung perceraian.
Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalis gagal memberikan kesejahteraan. Pengangguran tinggi, kebutuhan pokok mahal, pendidikan dan kesehatan mahal, menjadikan beban rumah tangga amat berat. Faktor kemiskinan dan tak terpenuhinya kebutuhan memicu perceraian. Kesempatan bekerja bagi para lelaki terbatas, sementara lebih terbuka untuk perempuan. Terciptalah ketimpangan penghasilan antara istri dan suami. Tak sedikit berujung perceraian dari gugat cerai karena kondisi ini.
Sistem pergaulan pun berasaskan liberalisme, yaitu paham bebas. Tidak terjaganya pergaulan laki-laki dan perempuan, mudahnya akses pornografi dan pornoaksi, banyak menimbulkan kasus perselingkuhan sampai perzinahan berujung perceraian. Fenomena meningkatnya perceraian pasca-Lebaran dengan multi faktor penyebabnya menjadi indikasi bahwa ketakwaan individu yang menjadi target ibadah Ramadan ternyata tak mampu membendung arus sekulerisasi dan liberalisasi yang begitu dahsyat di sistem kapitalisme saat ini.
Bukankah seharusnya jika ketakwaan individu makin kuat, maka suami istri akan lebih baik dalam menjalani kehidupan pasca-Ramadan? Ini membuktikan bahwa ketakwaan individu akan berpengaruh nyata bagi tatanan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara jika ditopang oleh ketakwaan negara. Ketakwaan negara sendiri akan bergantung kepada sistem hidup yang diterapkannya. Selama yang diterapkan adalah sistem kapitalisme, fenomena ini akan terus terjadi dan semakin parah.
Islam Mengatasi Persoalan Perceraian
Perceraian adalah perkara yang diatur oleh syariat Islam. Jumhur ulama menyebutkan bahwa hukum perceraian adalah mubah. Dalam kondisi tertentu, perceraian bisa menjadi solusi bagi pasangan suami istri yang bermasalah. Namun, jika perceraian menjadi fenomena umum dengan angka yang tinggi, maka ini masalah serius yang harus diatasi. Untuk itu, Islam sebagai sebuah sistem aturan hidup memiliki mekanisme untuk mencegahnya.
Faktor yang banyak memicu perceraian diselesaikan Islam secara sistemik. Dari sisi faktor ekonomi, sistem ekonomi Islam akan menjamin kesejahteraan masyarakat, dengan jaminan kebutuhan pokok. Negara akan menjamin setiap laki-laki (suami) bisa bekerja dan menafkahi keluarga. Pendidikan dan kesehatan pun gratis, memastikan harga-harga kebutuhan pokok terjangkau. Dengan begitu meminimalisir permasalahan pernikahan yang dipicu masalah ekonomi.
Di sisi lain, standar kebahagiaan dalam Islam bukanlah meraih sebanyak-banyaknya materi. Dengan begitu akan tercipta keluarga-keluarga yang qana‘ah, baik dalam kondisi cukup atau sederhana. Pernikahan bertahan karena ikatan akidah, ibadah dan untuk meraih ketakwaan bersama-sama, bukan mengejar materi.
Dari faktor pergaulan, maka Islam jelas melarang adanya khalwat, ikhtilat antara laki-laki dan perempuan yang bisa memicu perselingkuhan. Negara melarang pornografi dan pornoaksi, mewajibkan laki-laki dan perempuan menutup aurat dan menjaga kehormatan. Menerapkan sanksi tegas bagi yang melanggar, apalagi yang sampai berzina. Dengan begitu mencegah orang bermaksiat dan memberikan efek jera.
Sistem pendidikan dirancang untuk membekali setiap muslim muslimah memahami syariat, khususnya yang berkaitan dengan rumah tangga. Suami maupun istri paham dalam menunaikan kewajiban dan haknya. Momen-momen seperti Ramadan dan Syawal akan dikondisikan oleh negara dengan syiar-syiar Islam untuk memperkuat ketakwaan umat, sehingga tidak terjadi fenomena angka perceraian meningkat justru di momen baik seperti bulan Syawal.
Ketika masih terjadi permasalahan antara suami dan istri, maka Islam pun memberikan tata cara penyelesaiannya. Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, wajib memperlakukan istri dengan makruf. Istri pun wajib taat terhadap suami. Jika kasusnya disebabkan istri yang membangkang (nusyuz) maka suami dapat menempuh langkah-langkah yang telah disyariatkan.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرً
Artinya: “Kaum lelaki merupakan pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan atas perempuan kepada lelaki, dan karena lelaki telah menafkahkan kepada perempuan sebagian harta dari mereka. Karenanya perempuan solehah adalah perempuan yang tunduk atas perintah Allah, perempuan yang memelihara diri mereka ketika tidak ada suami mereka, karena Allah telah memelihara mereka. Dikhawatirkan bagi kamu perempuan-perempuan yang akan nusyuznya, maka nasehatilah perempuan-perempuan itu dan mereka pisahkanlah dari tempat tidurnya, dan jika tetap maka pukullah mereka. Jika kemudian mereka telah taat kembali, maka jangan sekali-kali kamu untuk mencari jalan yang akan menyusahkan mereka. Karena sungguh-sungguh Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.” (QS An-Nisa :34)
Diharapkan dengan langkah-langkah di atas, istri bisa bertaubat dan suami pun memaafkan. Sehingga bisa kembali dalam hubungan yang harmonis. Artinya, suami tidak boleh mudah menjatuhkan talak ketika terjadi perselisihan. Begitupun istri, tidak boleh dengan mudah mengajukan cerai tanpa alasan syari. Melainkan berusaha diselesaikan dengan baik dengan penuh makruf.
Seandainya dengan langkah-langkah di atas tidak berhasil ataupun masih terjadi perselisihan dan hubungan yang tidak harmonis, Islam tidak menjadikan perceraian sebagai langkah berikutnya. Namun, Islam mensyariatkan mendatangkan hakam atau wakil untuk membantu menyelesaikan.
Allah SWT berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisa’: 35)
Hakam didatangkan untuk menjadi penengah dan mendamaikan. Jikalau tidak berhasil juga, maka jalan terakhir adalah perceraian. Dengan langkah -langkah yang sesuai syariat walaupun tetap berujung pada perceraian, diharapkan perceraian berakhir dengan makruf.
Inilah mekanisme Islam untuk mencegah terjadinya banyak angka perceraian. Ketakwaan individu yang dibentuk selama Ramadan atau dengan ibadah lainnya harus ditopang dengan ketakwaan negara yang tercermin dengan penerapan Islam kaffah oleh negara. Di sinilah esensi keberadaan Khilafah Islamiyah. Khilafah akan mampu mewujudkan institusi rumah tangga yang kokoh, harmonis, bertakwa. Dari sana kemudian akan lahir generasi-generasi yang kuat dan bertakwa, juga masyarakat yang harmonis, sejahtera dan bahagia dalam ketakwaan, bersama-sama membentuk peradaban cemerlang.
Wallahu a’lam bishshawab
[SM/Ln]