Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Baru-baru ini, Kementerian Kesehatan RI merilis hasil skrining kesehatan jiwa 12.121 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal pendidikan Indonesia pada akhir Maret 2024 lalu. Skrining itu menunjukkan bahwa 22,4 persen peserta PPDS tercatat mengalami gejala depresi, dengan kategori depresi sedang-berat dan depresi berat. Bahkan sebagiannya ada yang mengaku ingin mengakhiri hidupnya.
Kondisi ini seolah makin menguatkan sinyalemen bahwa masyarakat negeri ini tengah mengalami stres sosial yang kian meluas. Dilaporkan bahwa semenjak COVID-19, tingkat stres di Indonesia paling tinggi di Asia. Ada 55 persen penduduk Indonesia dikonfirmasi mengalami stres (halodoc.com). Bahkan Jakarta termasuk 10 besar kota dengaan tingkat stres tinggi, sebagaimana laporan riset The Least and Most Stressful Cities Index 2021 oleh salah satu produsen minyak esensial dan suplemen CBD asal Berlin, Jerman bernama Vaay (cnnindonesia.com).
Menurut KBBI, stres adalah gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan oleh faktor luar. Sementara Kementerian Kesehatan RI menjelaskan bahwa stres adalah reaksi seseorang baik secara fisik maupun emosional (mental/psikis) apabila ada perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan diri. Meski stres adalah bagian alami dan penting dari kehidupan, tapi apabila berat dan berlangsung lama, akan dapat merusak kesehatan seseorang. Stres yang kadarnya berlebihan pun dapat menyebabkan seseorang tidak mampu lagi menggunakan pikiran rasionalnya, hingga tak jarang muncul keinginan untuk mengakhiri hidupnya.
Metode Tapping untuk Atasi Stres
Selain berkonsultasi ke psikiater dan melalui jalan praktik spiritual keagamaan, kini ada cara praktis dan mudah yang diklaim dapat digunakan untuk mengelola stres agar tidak berdampak buruk yang lebih parah, yaitu metode “Emotional Freedom Technique” (EFT) atau yang dikenal dengan metode tapping. Hal ini telah dijelaskan dalam buku berjudul “The Tapping Solution for Parents, Children and Teenagers” karya Nicolas (Nick) Ortner.
Dalam buku tersebut, digambarkan bahwa dengan metode tapping ini, seseorang bisa berdamai dengan stres dan tekanan jiwa yang dihadapinya, hanya dengan meluangkan waktu sekitar 15 menit untuk mengetuk-ngetuk (tapping) beberapa bagian tubuhnya. Praktiknya mirip akupunktur, namun metode tapping ini berupa tindakan mengetuk-ngetuk beberapa titik meridian, mirip dengan tindakan akupresur.
Metode tapping tersebut dilaporkan mampu menurunkan rata-rata 24-50 persen kortisol sebagai hormon penting yang memengaruhi hampir setiap organ dalam jaringan tubuh manusia, termasuk yang mengatur respon stres. Oleh karena itu, kortisol dikenal juga sebagai hormon stres. Maka, metode tapping ini dianggap sangat bagus dan layak dipraktikkan oleh semua lapisan masyarakat untuk membantu mengatasi stres dan untuk memudahkan membangun rumah yang bahagia, sehat dan tangguh.
Hanya Solusi Sementara
Harus diakui bahwa pembicaraan seputar kesehatan mental kini makin masif. Banyak orang di negeri ini menjadikan kesehatan sebagai resolusi tahun 2024. Hal ini ditemukan dalam hasil survey terbaru yang digagas Health Collaborative Center (HCC). Mayoritas responden (terutama perempuan) mempunyai motivasi dua kali lipat untuk mengurangi tingkat stres pada 2024. Sedangkan Survei Kesehatan Jiwa Remaja Nasional (I-NAMHS) terhadap remaja usia 10-17 tahun di Indonesia, menyatakan bahwa lebih dari 17 juta remaja Indonesia memiliki masalah dengan kesehatan mental.
Hal ini senada dengan hasil survey Ipsos di 31 negara yang menyatakan bahwa generasi z paling banyak mengalami stres dibandingkan generasi lainnya. Bahkan muncul pandangan bahwa generasi y dan z adalah generasi yang paling membutuhkan healing, sebagai salah satu upaya menenangkan diri dengan arah mendapatkan ketenangan, kebahagian dan meredakan stres. Bentuknya bisa berupa rekreasi atau aktivitas lainnya yang menyenangkan, menghibur dan meredakan stres. Dan selain healing, metode tapping pun kini diklaim dapat meredakan stres yang menimpa seseorang.
Namun jika menelaah secara detil, sesungguhnya healing atau metode tapping, hanyalah solusi jangka pendek yang bersifat sementara. Artinya, jika ingin menjauhkan generasi bangsa ini dari stres, tidak cukup dengan healing atau metode tapping saja. Butuh pembahasan lebih detil hingga menemukan akar persoalannya.
Stres, Buah Peradaban Sampah
Negeri ini sesungguhnya sedang sakit. Masyarakatnya banyak yang mengalami stres, depresi, atau penyakit mental lainnya. Buktinya, kasus kekerasan dan kriminalitas kian marak. Kekerasan dan penganiayaan dalam keluarga, pembunuhan anak oleh orang tua (filisida), KDRT, kasus bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya terus terjadi.
Kehidupan sosial yang penuh tekanan dan kemiskinan diduga kuat sebagai pemicu stres, depresi, dan gangguan kesehataan mental lainnya. Semua itu dapat mendorong terjadinya berbagai tindakan buruk, percobaan bunuh diri, kekerasan serta aksi kejahatan lainnya. Karena memang orang yang sedang mengalami gangguan mental emosional akan cenderung kehilangan spirit hidup bahkan bisa melakukan perkara yang di luar kendali akal sehatnya.
Inilah gambaran kehidupan masyarakat sekuler, yang mengerdilkan peran agama dalam kehidupan. Secara individu, nilai-nilai agama tidak lagi diperhatikan. Hidup dengan sikap takwa seolah hanya pilihan bagi yang mau saja. Sedangkan yang enggan, ia bebas berpikir, berpendapat dan berbuat apapun sesuai hawa nafsunya. Benar-benar liberal. Visi hidup untuk ibadah tidak dipahami dengan benar. Konsep rezeki dalam jaminan Allah pun tidak diyakini seutuhnya. Sabar dalam ketaatan tidak lagi diperjuangkan. Rakyat yang rapuh imannya, tentu cenderung mudah stres dalam hidupnya.
Di ranah keluarga juga begitu. Eksistensi keluarga bertakwa kian melemah, tergerus oleh derasnya arus sekularisme yang membanjiri kehidupan masyarakat bahkan hingga ke rumah-rumah keluarga muslim. Kurikulum pendidikan yang ada juga tidak mampu membentuk kepribadian yang tangguh, karena memang asasnya sekuler, bukan Islam. Bahkan kurikulum yang berlaku justru menguatkan nilai-nilai sekuler dan kebebasan yang kebablasan atas nama HAM dan toleransi. Sementara penerapan sistem ekonomi kapitalisme, telah meniscayakan perampokan SDA secara brutal di negeri ini, namun legal atas nama investasi dan proyek strategis nasional. Itulah yang melahirkan kemiskinan sistemik yang makin menguatkan tingkat stres masyarakat.
Terlebih di masyarakat, relasi muamalah yang berlangsung di berbagai bidang pun makin sekuler. Standar perbuatan tidak lagi didasarkan pada halal haram secara utuh. Nilai-nilai hidup tentang baik-buruk terpuji-tercela tidak lagi berdasarkan hukum syarak, tergantikan oleh asas manfaat menurut hawa nafsu manusia. Standar bahagia juga bergeser, dari semula mencari rida Allah, kini tergantikan oleh uang, materi, jabatan, popularitas dan kesenangan fisik semata serta abai pada panduan syariat Islam.
Sementara negara, kian abai pada tugas utamanya sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Berbagai tayangan dan konten media sosial dibiarkan bebas tanpa filter, meski sarat dengan pemikiran dan ide-ide rusak, berbahaya serta bertentangan dengan Islam. Semua itu berpadu dengan makin cueknya masyarakat terhadap urusan saudaranya, akibat sikap individualistik yang melemahkan kontrol sosial masyarakat berupa amar makruf nahi munkar. Wajar jika arus sekularisme kapitalistik makin tak terbendung, dan bangsa ini terus terseret pada kehidupan yang liberal. Masyarakatnya pun rapuh, rentan terdampak stres akibat berbagai tekanan hidup sistemik, yang jauh dari kehidupan yang tenang dan berkah.
Keadaan inilah yang sejatinya menjadi sebab utama tingginya tingkat stres masyarakat dan mewabahnya gangguan mental di negeri ini. Corak kehidupan sekuler kapitalistik liberal, yang dipaksakan berjalan di negeri ini. Negeri yang meskipun mayoritas penduduknya muslim, tapi ironisnya Islam justru dicampakkan begitu saja, tak diberi ruang untuk mengatur kehidupan masyarakat dan negara ini. Bangsa ini malah memilih hidup dengan asas sekularisme yang fasad. Padahal, sekularisme inilah yang melahirkan kapitalisme liberal, sebuah peradaban sampah yang tidak pernah memberikan kebaikan apapun bagi dunia dan penduduknya. Peradaban fasad yang gagal men-support kejernihan akal dan kesucian fitrah manusia sebagai hamba. Peradaban rapuh yang tak pernah mampu membangun ketahanan ideologis individu dan keluarganya. Peradaban usang yang sungguh tak pantas dipertahankan, karena ia tak kan pernah bisa menghadirkan kehidupan tenang, mulia dan berkah bagi bangsa dan negara ini.
Butuh Peradaban Islam
Sebagai negeri yang mayoritas penduduknya muslim, negeri ini memiliki potensi besar untuk bisa segera mengakhiri stres sosial yang telah menimpa masyarakatnya, asalkan mau segera kembali pada jalan kemuliaan dan keberkahan yang telah ditunjukkan oleh Islam. Karena sesungguhnya, Allah SWT telah memuliakan umat Islam sebagai umat terbaik (khairu ummah), yaitu umat yang sempurna imannya pada Allah, menyeru pada Islam (Al-Khair) dan selalu ber-amar makruf nahi munkar (QS Ali Imran: 110).
Allah SWT juga telah menjanjikan keberkahan hidup bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman-Nya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al–A’raf: 96)
Dan mengancam bagi siapa saja yang berpaling dari syariat-Nya akan menjalani kehidupan yang sempit, sebagaimana firman-Nya, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaha: 124)
Dari beberapa ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kunci teraihnya kemuliaan dan keberkahan, serta dijauhkannya dari kehidupan yang sempit adalah keimanan yang sempurna, ketakwaan yang benar, yang melahirkan rasa takut untuk bermaksiat pada Allah, yaitu keimanan yang berpengaruh pada kesiapan untuk taat pada seluruh syariat Islam secara kaffah.
Ketaatan yang sempurna inilah yang akan melahirkan masyarakat bertakwa, jauh dari kehidupan stres dan berbagai penyakit mental lainnya. Rakyatnya bertakwa dan berkepribadian Islam (bersyakhshiyyah Islamiyyah), sabar dalam ketaatan, qanaah dan pandai bersyukur, sehingga jauh dari sikap stres yang melemahkan. Masyarakatnya dinamis melakukan kontrol sosial, dengan amar makruf nahi munkar, mengawal pelaksanaan Islam di masyarakat, serta siap melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) agar penguasa selalu on the track dalam menjalankan Islam kaffah. Karena pelaksanaan Islam kaffah itulah yang menjadi jaminan kehidupan yang lapang dan berkah, jauh dari kehidupan penuh stres. Dan negara pun benar-benar menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengatur urusan) dan junnah (pelindung) bagi seluruh rakyatnya, termasuk memastikan semua rakyatnya dapat hidup aman dan tenang tanpa stres akibat kesempitan hidup yang dialaminya.
Itulah gambaran masyarakat yang hidup dalam naungan peradaban Islam. Peradaban yang tegak di atas asas ideologi Islam, yang menerapkan Islam secara kaffah di seluruh aspek hidupnya. Dan untuk menghadirkan kembali peradaban Islam yang mulia, tinggi dan penuh berkah itu, umat harus bahu-membahu menyempurnakan amal dakwahnya secara politis, dengan terus membesarkan opini Islam kaffah ke seluruh dunia, hingga Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya dengan tegaknya kembali peradaban Islam dalam naungan institusi Khilafah yang akan memimpin dunia dengan syariat-Nya yang rahmatan lil alamin.