Penguatan Feminisme di Balik Rutinitas Peringatan Hari Kartini

  • Opini

Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T

Suaramubalighah.com, Opini – April menjadi bulan rutinitas peringatan Hari Kartini dengan berbagai seremonial. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964 yang ditandatangani oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Sukarno pada 2 Mei 1964, tanggal 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini.

Secara politis, rutinitas peringatan hari Kartini ini dijadikan momentum untuk mengokohkan perjuangan feminisme di Indonesia. Pemerhati masalah gender dan anak dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Tri Wuryaningsih, menilai Hari Kartini tiap 21 April merupakan momentum refleksi bahwa masih banyak persoalan yang berkaitan dengan kaum perempuan dan anak.   

Sehingga harapannya, memasuki tahapan Pilkada 2024, sudah semestinya calon-calon yang akan dimunculkan dalam pilkada merupakan sosok yang mampu merespon isu-isu perlindungan perempuan dan anak  di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Ahad (21-4-2024) dilansir Antara.

Begitu juga masalah keterwakilan perempuan hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR). Karena salah satu komposit indeks pembangunan gender adalah perempuan di lembaga manajerial, lembaga-lembaga yang memang kemudian punya kewenangan untuk membuat keputusan. Selain itu, ada anggapan  sumbangan pendapatan perempuan untuk keluarga juga relatif jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sehingga  hal itu berarti kontribusi ekonomi perempuan untuk pendapatan keluarga masih rendah.

Partisipasi dan kepemimpinan perempuan tidak pernah sepi dari bahasan kesetaraan gender. Setidaknya ada empat indikator untuk mengukur baik tidaknya kesetaraan gender di suatu negara, yaitu (1) partisipasi ekonomi, (2) pencapaian pendidikan, (3) kesehatan dan survivability, serta (4) political empowerment atau pemberdayaan politik.

Berdasarkan data World Bank pada 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Saat ini, partisipasi perempuan masih di bawah 30%. Bagi kaum feminis, peningkatan partisipasi perempuan sangat penting agar kesetaraan perempuan di ranah publik dapat tercapai.

Memang benar perempuan harus bangkit mengubah keadaan yang buruk menjadi baik. Akan tetapi, ini tidak cukup hanya perempuan, sebab masalah yang ada tidak hanya menimpa perempuan, baik individu maupun kelompok, melainkan menimpa seluruh umat Islam. Begitu pula problem yang ada, tidak hanya perempuan yang mengalami masalah kekerasan, ketakadilan, dan diskriminasi, melainkan juga menimpa kehidupan umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan.

Padahal seseungguhnya persoalan besar atau penyebabnya adalah kehidupan yang jauh dari aturan Allah, jauh dari keberkahan hidup. Sebagaimana firman Allah SWT pada QS Thaha: 124,

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى

 “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”

Feminis atau pejuang kesetaraan gender beranggapan bahwa penindasan, kekerasan, dan penderitaan perempuan terjadi karena tidak adanya keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, mereka membangkitkan perempuan berdasarkan keadilan dan kesetaraan gender. Artinya, jika laki-laki dan perempuan itu mencapai keadilan dan kesetaraan gender, perempuan akan terbebas dari penindasan, kekerasan, dan diskriminasi.

Pejuang kesetaraan gender juga menilai bahwa feminisme dan kebangkitan perempuan (nahdhatunnisa’) memiliki tujuan yang sama, yaitu menegakkan keadilan hakiki pada setiap manusia. Keduanya memandang perempuan sebagai manusia yang utuh sehingga hak dan kewajiban harus melekat secara adil terhadap perempuan. Mereka juga menjelaskan bahwa kebangkitan perempuan yang digagas tetap memerhatikan ajaran Islam atau feminisme Islam, bukan feminisme liberal. (Mubadalah).

Kalaulah mereka berhasil dan mendapat pengakuan, harus lihat dulu paradigma apa yang dipakai dalam menentukan keberhasilan seorang perempuan di ranah publik. Jika masih menggunakan kacamata kapitalisme sekuler, pujian dan peringkat yang diberikan tidak lepas dari target global yang hendak mewujudkan kesetaraan gender.

Umat Islam Butuh Islam Kaffah Bukan Feminisme

Perempuan di hadapan syariat Islam sangat dimuliakan dan dijaga. Perempuan sebagai hamba Allah SWT, sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota masyarakat aktivitasnya akan bernilai ibadah jika sesuai denga syariat Islam.

Sebagai bagian dari anggota masyarakat, perempuan memiliki peran strategis. Peran tersebut tercakup dalam dua hal, yaitu peran domestik dan publik. Di ranah domestik, peran perempuan adalah sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Peran ini sangat krusial mengingat di tangan perempuanlah kualitas generasi ini dipertaruhkan. Generasi rusak atau baik bergantung pada pendidikan kaum ibu dalam keluarga. Oleh karenanya, Allah memuliakan perempuan sebagai ibu karena pentingnya posisi dan kehadiran mereka dalam kehidupan rumah tangga, yaitu sebagai al-umm warabatul bayt.

Di ranah publik, Islam membolehkan perempuan berpartisipasi dalam politik dengan batasan yang syariat tetapkan. Islam membolehkan perempuan menjadi anggota partai politik, melakukan kritik dan koreksi kepada penguasa, memilih pemimpin, dan menjadi anggota Majelis Umat. Islam juga membolehkan perempuan bekerja sebagai guru, dokter, kepala sekolah, direktur rumah sakit, kepala departemen pendidikan, pimpinan perusahaan, ataupun jabatan strategis di lembaga pemerintahan yang sifatnya administratif selain wilayah kekuasaan.

Dalam kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah, Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa perempuan boleh menjadi pegawai atau pimpinan swasta atau pemerintahan yang tidak termasuk wilayah al-hukm. Perempuan boleh menjadi kepala Baitulmal, anggota Majelis Wilayah, anggota Majelis Umat, qadhi hisbah (hakim dalam urusan pengurangan hak rakyat), atau qadhi khushumat (hakim dalam urusan sengketa antarrakyat).

Islam melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.”(HR Bukhari no 4225).

Larangan perempuan menduduki jabatan dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan antara lain, yaitu khalifah (kepala negara Khilafah), mu’awin (pembantu khalifah), wali (gubernur), qadhi qudhat (pemimpin para kadi atau hakim), qadhi mazhalim (kadi atau hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat khalifah jika melakukan kezaliman kepada rakyat atau menyalahi Al-Qur’an dan Hadis).

Imam Mawardi dalam kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah menyebutkan pendapat Abu Hanifah bahwa perempuan tidak boleh menjabat semua jabatan pemerintahan, tetapi perempuan boleh menjabat sebagai hakim yang memutus perkara-perkara yang ia dibenarkan menjadi saksi di dalamnya. Sebaliknya, ia tidak boleh menjadi hakim yang memutus perkara-perkara yang ia tidak boleh menjadi saksi di dalamnya.

Menurut Muhammad bin Ahmad Ismail al-Qadir dalam Al-Mar’ah bayna Takrîm al-Islâm wa Ihânah al-Jâhiliyah, perempuan tidak dibolehkan menjabat sebagai khalifah (kepala negara). Alasannya, kepala negara dalam Islam adalah pemimpin masyarakat, pemimpin para intelektual dan cendekiawan, baik muslim ataupun muslimah. Khalifah pun mempunyai wewenang mengumumkan perang kepada musuh, memimpin pasukan di medan perang, dan memutuskan perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara masyarakat.

Allah SWT telah menetapkan aturan terbaik untuk umat manusia. Dialah yang paling mengetahui segala yang terbaik untuk hamba-Nya. Dengan demikian, para muslimah harus mewaspadai bahaya femenisme  kesetaraan gender yang akan mengacak-acak pengaturan syariat yang sudah Allah beri. Perempuan saat ini butuh pemahaman yang utuh tentang Islam kaffah dan penting untuk memperjuangkannya. Ingatlah, jangan tertipu dengan propaganda dan rencana jahat kaum kafir untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam yang sempurna.

Dengan Islam kaffah, persoalan perempuan dan generasi akan terselesaikan. Negara Khilafah akan menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan. Bahkan negara mensupport penuh fungsi utama perempuan sebagai ummu wa rabbatul baiyt (nilai tertinggi perempuan tanpa membebaninya sebagai penopang ekonomi keluarga apalagi penopang ekonomi negara).

Dengan sistem ekonomi dan politik Islam yang sempurna dan paripurna perempuan sejahtera dan bahagia tanpa harus memperjuangkan kesetaraan gender.

Wallahu ‘alam. [SM/Ln]