Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T
Suaramubalighah.com, Opini – Momen rombongan biksu thudong singgah ke Masjid Baiturrohmah Bengkal pada Minggu (19/5) lalu menjadi salah satu berita terpopuler di DetikJateng dalam sepekan ini. Ketua Takmir Masjid Baiturrohmah, Fatkhulrohman (53) mengatakan rombongan biksu thudong itu tiba di Masjid Baiturrohmah Bengkal, pada Minggu, 19 Mei 2024, sekitar pukul 09.30 WIB.
Mereka lalu dipersilakan beristirahat di beranda masjid yang berada di pinggir jalan raya Magelang-Temanggung yang berbatasan dengan wilayah Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Kedatangan para biksu thudong itu disambut takmir masjid dan Kepala Desa Bengkal, Istiyanto.
Momen ini dianggap cerminan toleransi umat beragama ala moderasi beragama. Hal ini terlihat dari apresiasi yang dikatakan di Kelenteng Liong Hok Bio Magelang, Minggu (19/5), pimpinan rombongan biksu thudong, Bhante Kamsai Sumano Mahathera mengapresiasi penyambutan hangat di masjid tersebut. “Kami masuk (masjid) seperti keluarga sendiri karena sudah siap semuanya. Setelah kami minum, kami berdoa bersama,” ujar Bhante Kamsai saat itu.
Namun aksi ini pun menuai kritik dari Ketua MUI Cholil Nafis bahwa jamuan dan sambutan yang dibuat masyarakat dan takmir masjid terhadap 44 biksu thudong di Masjid Baiturrohmah, Bengkal, Temanggung, Minggu (19/5). “Ini kebablasan. Kalau mau terima tamu nonmuslim jangan di rumah ibadah. Kan masih ada ruangan pertemuan lain yang lebih tepat. Rumah masjid itu hanya untuk ibadah umat muslim bukan untuk lainnya,” kata Cholil dalam akun Instagram resminya, Jumat (24/5).
Bahaya Toleransi Menurut Moderasi Beragama
Toleransi dalam pandangan Islam sudah sangat jelas, yakni tidak boleh mengganggu ibadah agama lain, saling menghormati. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun: 1-6)
Namun seiring masifnya moderasi beragama yang ditawarkan oleh Islam moderat, telah merusak makna toleransi beragama menurut syariat Islam. Toleransi yang digencarkan oleh moderasi beragama justru berpotensi menistakan dan menghinakan Islam dan umat Islam. Atas nama toleransi beragama, Islam moderat telah berupaya mencampuradukkan hak dan batil.
Menjaga toleransi menjadi jurus andalan dalam menjajakan proyek moderasi beragama. Moderasi beragama masuk dalam RPJMN 2020—2024 dan di dalamnya terdapat program prioritas moderasi beragama. Narasi yang dibangun akan pentingnya moderasi beragama adalah karena Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk perlu melakukan penguatan pemahaman menghormati perbedaan, bersedia hidup bersama dalam sebuah komunitas yang beragam, serta mengedepankan nilai-nilai toleran dan inklusif.
Selanjutnya dikatakan bahwa moderasi beragama sebagai salah satu arah kebijakan program nasional revolusi mental dan pembangunan kebudayaan merupakan fondasi cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah guna terwujudnya masyarakat Indonesia yang berbudi luhur, berjati diri, bergotong royong, toleran, dan sejahtera.
“Praktik beragama jalan tengah” inilah yang jelas diusung dalam proyek moderasi beragama, bukan mengajak masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas muslim makin kuat dalam beragama. Praktik beragama jalan tengah jelas merupakan upaya mengikis jati diri muslim. Terbukti dalam kasus penerimaan biksu Thudong di masjid.
Bisa saja yang terjadi pada masyarakat di Bengkal, Temanggung, jika mereka ditanya keberatan atau tidak jika masjidnya didatangi para biksu, pasti jawabannya adalah “tidak”. Sebab jika mereka menjawab keberatan, bisa dipastikan cap “Desa Intoleran” akan disematkan pada desa mereka. Begitu pula pada Ketua MUI Cholil Nafis yang mengritisi para biksu yang masuk tempat ibadah umat Islam tersebut, harus siap dicap sebagai sosok intoleran.
Jika sungguh-sungguh ingin mewujudkan toleransi antar umat beragama, semestinya tidak akan menerima biksu thudong di masjid, yang akhirnya menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Sebab masih banyak tempat lain untuk menerima para biksu ini. Mengingat hukum tentang nonmuuslim di masjid bersifat khilafiyah, meski cenderung melarang. Pandangan keempat dari mazhab Maliki menyatakan bahwa nonmuslim dilarang masuk ke masjid kecuali untuk keperluan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh muslim. Ulama Maliki seperti Al-Shawi dan Al-Aby mengizinkan nonmuslim masuk masjid hanya jika ada kebutuhan mendesak, seperti pekerjaan konstruksi yang hanya bisa dilakukan oleh nonmuslim atau mereka yang lebih ahli dalam pekerjaan tersebut.
Pendapat lain tentang nonmuslim dilarang memasuki semua masjid adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya dan para ulama di Madinah, seperti yang dilaporkan oleh Al-Qurtubi, mendukung pandangan ini. Mereka berargumen bahwa hadits yang melarang orang junub dan haid masuk masjid berlaku juga untuk nonmuslim, karena mereka dianggap berada dalam keadaan hadats yang lebih besar.
Di antara resume RAND Corp. yang bocor (atau sengaja dibocorkan) adalah Komunitas Internasional menilai bahwa upaya umat Islam untuk kembali kepada kemurnian ajaran adalah suatu ancaman bagi peradaban dunia modern dan bisa mengantarkan pada hal yang mereka sebut clash of civilization (benturan peradaban).
Selanjutnya, Komunitas Internasional menginginkan dunia Islam yang ramah terhadap demokrasi dan modernitas, serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global. Komunitas Internasional perlu melakukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan, serta pengaturan strategi dengan pengolahan sumber daya yang ada di dunia Islam. Sungguh ini sangat berbahaya buat Islam dan umat Islam.
Hanya Sistem Khilafah yang Mampu Menjamin Terwujudnya Kerukunan
Jika Islam dinilai intoleran dan menjadi biang keladi perpecahan atau menghalangi kerukunan umat beragama, tentu saja pendapat ini salah besar. Fakta tidak terbantahkan, selama 14 abad Khilafah Islam menguasai hampir 2/3 wilayah di dunia, tidak pernah terjadi penjajahan ala kapitalis sekuler yang mengeksploitasi warga terjajahnya, memiskinkan dan menjadikan masyarakat terbelakang.
Hal ini sangat berbeda dengan futuhat (penaklukan) oleh Khilafah Islamiah yang menyejahterakan dan membawa kepada keberkahan bagi seluruh umat manusia dengan penerapan Islam kafah. Islam, saat pertama kali dibawa oleh kaum muslim dari Jazirah Arab, sama sekali tidak memperlihatkan arogansi keagamaan atau kesukuan. Islam malah membawa semangat persaudaraan dan persamaan.
Islam mengakui adanya keberadaan Nasrani dan Yahudi, serta adanya keragaman suku bangsa. Islam meletakkan kemuliaan manusia bukan pada agama, suku bangsa, pendatang atau warga asli, warna kulitnya; melainkan pada ketakwaannya kepada Allah Ta’ala (lihat QS Al-Hujurat [49]: 13).
Kaum muslim dengan beragam suku bangsa dan agama, hidup rukun dan damai hampir selama 14 abad sebagai satu umat. Wilayah kekuasaan Khilafah Islam yang terbentang dari Afrika sampai Asia berhasil menata persatuan dan kerukunan antarumat manusia. Persatuan dan kerukunan itu diawali dari persatuan dan kerukunan kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah. Berikutnya, di negeri-negeri lain, Islam berhasil melebur perbedaan suku bangsa, agama, warna kulit, maupun bahasa dalam ikatan akidah Islam.
Selama belasan abad, Islam berhasil mempersatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam. Di sisi lain, jiwa dan kehormatan warga nonmuslim senantiasa terpelihara dalam naungan syariat Islam. Beberapa riwayat sahih menceritakan bahwa para khalifah menegakkan hukum secara adil terhadap siapa saja. Ketika ada seorang warga Kristen Koptik di Mesir yang mengadu kepada Amirulmukminin Umar bin Khaththab ra. karena mendapat tindakan kekerasan dari Gubernur Mesir Amr bin ‘Ash ra. dan putranya, palu hukum yang adil pun dijatuhkan.
Khalifah Umar memanggil Gubernur Mesir beserta putranya lalu menjatuhkan sanksi kisasi atas mereka. Setelah sanksi dijalankan, Khalifah Umar ra. menegur keras Gubernur Mesir dengan perkataan, “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?” (Dr. Akram Diya al-‘Amri, ‘Ashr al-Khilafah ar-Rasyidah, 127).
Di bawah naungan Khilafah Islam pula, kaum muslim berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah umat manusia. Syariat Islam menata agar setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) mendapat jaminan kebutuhan pokok, semisal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berkat keadilan hukum-hukum Islam inilah, gejolak sosial dan konflik di tengah masyarakat dapat dihilangkan dan kerukunan pun tercipta.
Sungguh, berbagai upaya musuh-musuh Islam untuk menjauhkan umat dari hukum-hukum Islam (seperti seruan pluralisme, Islam moderat, dan sebagainya) harus dijauhkan dari umat Islam. Sebaliknya upaya menyeru umat untuk berjuang bersama menerapkan Islam kaffah harus terus digencarkan. [SM/Ln]