Fatherless, Hilangnya Peran Ayah dalam Pendidikan Anak

  • Opini

Oleh: Idea Suciati

Suaramubalighah.com, Opini – Apa jadinya jika negeri ini menjadi negeri tanpa ayah atau fatherless country? Istilah fatherless diartikan pada absennya ayah dalam proses pengasuhan, baik secara fisik maupun emosional.  Kondisi ini tidak selalu menimpa anak dalam kondisi yatim, melainkan juga menimpa anak-anak yang secara biologis memiliki ayah, namun tidak merasakan kehadirannya baik secara fisik maupun psikologis.

Adapun Fatherless Country adalah masyarakat, bangsa, atau negara dengan prevalensi tinggi terkait ketidakhadiran atau kurangnya peran ayah atau figur pria dalam kehidupan anak maupun keluarga. Berdasarkan data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada 2021 lalu, Indonesia masuk golongan negara dengan tingkat fatherless yang cukup tinggi, yakni 9 persen. (cnnindonesia.com, 15-05-2024)

Terdapat sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ataupun peran ayah, baik karena perceraian, kematian, ataupun ayah bekerja jauh. Ini berarti dari 30,83 juta anak usia dini di Indonesia, sekitar 2.999.577 anak, kehilangan sosok ayah. Survei BPS pada tahun 2021, menemukan hanya 37,17% anak-anak usia 0-5 tahun yang diasuh oleh ayah dan ibu kandungnya secara bersamaan. (Kumparan.com, 13-5-2024)

Secara global, Menurut riset U.S. Census Bureau pada tahun 2022 menyatakan bahwa 1 dari 4 anak di dunia, tinggal tumbuh dan kembang tanpa kehadiran atau peran seorang ayah. Fenomena fatherless ini telah banyak terjadi di banyak negara di dunia seperti di Inggris, Portugal, Afrika, Beldana, Finlandia, Amerika dan Australia, menjadikan fatherless termasuk ke dalam permasalahan global. (Wendi dan Kusmiati, 2022)

Fenomena fatherless tidak boleh dibiarkan. Sebab, Ketiadaan ayah dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap anak-anak dalam berbagai aspek kehidupannya, mulai dari sisi psikologis, emosional, hingga kehidupan sosial sang anak. Fatherless membuat anak tidak dekat dengan sosok ayah. Padahal, sosok ayah sangat penting dalam pertumbuhan anak. Anak yang harus hidup fatherless berisiko mengalami berbagai perilaku yang berkaitan dengan emosionalnya. Sebut saja dari sikap agresif, kenakalan, hingga penggunaan zat-zat terlarang. Anak yang hidup fatherless juga berisiko mengalami depresi, cemas, hingga memiliki masalah harga diri dan merasa dirinya tidak diinginkan siapa pun. Kondisi ini jelas mengancam masa depan generasi.

Korban Sistem Hidup Kapitalis

Fenomena fatherless sangat dipengaruhi sistem dan pola kehidupan kapitalis-liberal hari ini. Dengan tuntutan dan permasalahan ekonomi, waktu ayah lebih banyak habis untuk mencari nafkah, sehingga tidak ada waktu kebersamaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Problem ekonomi pun banyak menjadi penyebab utama perceraian. Dampaknya anak broken home jauh lebih minim mendapatkan pendidikan dan pengasuhan dari ayah.

Di sisi lain, banyak para ayah yang minim pengetahuan dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Baik karena pola pengasuhan sebelumnya, maupun pendidikan formal yang tidak membekali dan membentuk karakter yang dibutuhkan untuk menjadi ayah. Sehingga status ayah hanya menjadi status otomatis dengan kehadiran anak, bukan status pilihan sadar yang disertai tanggung jawab. Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman agama Islam berkaitan dengan hak dan kewajiban Islam para ayah.

Banyak ayah yang tidak bersungguh-sungguh melaksanakan kewajiban dalam menafkahi keluarganya. Juga tidak memahami apa saja pendidikan yang harus dibekalkan kepada anak, karena para ayahnya pun minim ilmu agama. Tidak juga ada kerja sama yang baik antara ayah dan Ibu dalam pendidikan anak. Masih banyak ayah yang cenderung melimpahkan kewajiban pendidikan anak kepada Ibunya karena merasa sudah cukup dengan mencari nafkah.

Rusaknya sistem pergaulan antara pria dan wanita dalam sistem kapitalis liberal melahirkan generasi yang lebih cepat ‘dewasa’ secara seksual daripada dewasa mental. Pergaulan bebas banyak berakhir dengan perzinaan, berujung memiliki anak tak diinginkan. Kebanyak laki-laki kabur tidak bertanggung jawab, meninggalkan perempuan menanggung beban anak. Terjadilah banyak fenomena single mom karena memiliki anak di luar pernikahan.

Inilah kondisi buruk sistem kapitalisme liberal mengakibatkan terjadinya fenomena fatherless. Bukan hanya anak yang menjadi korban, hakikatnya, para ayah pun adalah korban sistem.

Peran Ayah Menurut Islam

Dalam Islam, tanggung jawab pendidikan dan pengasuhan anak adalah tanggung jawab kedua orang tua. Bukan hanya ibu saja, ataupun ayah saja. Keduanya harus bekerja sama untuk mengasuh dan mendidik anaknya menjadi hamba Allah yang bertakwa.

Bagi ayah, terdapat tanggung jawab yang lebih berat, dikarenakan ayah adalah qawwam, yakni pemimpin dalam rumah tangga. Ayah bertanggung jawab menyelamatkan diri dan keluarganya dari api neraka. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS al-Tahrim : 6)

Kuatnya kepemimpinan ayah sangat menentukan arah pendidikan anak. Keteladanan sikap dan pemikiran ayah akan ditiru oleh anak. Nasihat-nasihat ayah akan lebih berwibawa dan membekas pada diri anak. Dalam Al-Qur’an banyak terdapat kisah para nabi dengan anaknya yang bisa menjadi teladan. Misalnya kisah Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail. Nabi Yakub dengan Nabi Yusuf. Juga kisah Luqman Al-Hakim dengan nasihat luar biasanya kepada anaknya. Kisah-kisah tersebut harus menjadi suri teladan para ayah untuk mendidik anak-anaknya.

Ayah wajib menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya, termasuk istri dan anak-anaknya, haram menelantarkan istri dan anak-anaknya. Allah SWT berfirman,

…وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ …

“Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah: 233)

Selain nafkah secara materi, ayah pun wajib memberikan ‘nafkah’ adab. Dalam hadis yang diriwayatkan Ayyub bin Musa, dari bapaknya, dari kakeknya:

Rasulullah saw. bersabda “Tiada pemberian orang tua terhadap anaknya yang lebih baik dari adab yang baik.” (HR At-Tirmidzi)

Setelah mengajarkan anak soal pentingnya adab, seorang ayah juga dituntut untuk memberikan anak-anak pengajaran ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 13:

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya ”Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. ”

Allah SWT juga berfirman,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS: Thaha: 132)

Ayah pun wajib hadir untuk memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Ayah harus meluangkan waktu untuk bisa melakukan aktivitas-aktivitas menyenangkan bersama anak, seperti bermain, melakukan perjalanan, mengerjakan pekerjaan rumah bersama, mencuci mobil, dsb. Sekilas sederhana, namun bermakna, dan sangat bermanfaat untuk menguatkan bonding dengan anak. Jika bonding sudah terbangun kuat, anak akan nyaman dan percaya kepada ayah. Jika ada permasalahan-permasalahan, anak akan lebih terbuka dan meminta nasihat dari ayah.

Dalam kondisi ayah dan ibu sudah bercerai, peran ayah menjadi penanggung jawab, menafkahi dan terlibat dalam pendidikan tetap berjalan. Dengan begini, anak tidak kehilangan. Karena pada dasarnya, anaknya adalah tanggung jawabnya.

Sebaik-baik contoh ayah adalah Rasulullah Muhammad saw. membersamai keluarganya. Meskipun Rasulullah saw. demikian sibuk dengan tugasnya sebagai kepala negara Daulah Islam, beliau masih punya waktu untuk keluarganya, melayani bercanda dengan istri-istrinya, bermain bersama cucu-cucunya.

Sahabat Rasul, Abu Bakar Ash-Shiddiq pun teladan ayah yang berhasil menjadikan istri dan anak-anaknya para pejuang dan penolong dakwah Rasulullah saw. Beserta kisah-kisah lainnya yang perlu banyak para ayah ketahui dan teladani.

Support Negara

Dalam Islam negara bertanggung jawab untuk mengentaskan kondisi fatherless. Negara Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang memastikan setiap laki-laki khususnya ayah dapat bekerja untuk memenuhi nafkah keluarganya. Sistem kerja akan dirancang agar tidak membebani ayah baik secara waktu dan tenaga, sehingga masih banyak waktu membersamai keluarga.

Negara melalui sistem pendidikan Islam, mendidik para laki-laki calon ayah untuk memahami Islam dan berkepribadian Islam. Hal ini menjadi bekal utama bagi para ayah untuk memiliki sifat-sifat qawwamah keluarga, sifat-sifat akhlakul karimah untuk diteladani anak-anak, serta memiliki ilmu dan tsaqafah Islam diajarkan kembali kepada anak-anaknya. Pendidikan Islam bagi anak-anak di sekolah pun akan selaras dan mendukung pendidikan ayah ibu di rumah.

Negara pun memastikan sistem pergaulan Islam yang menjaga interaksi laki-laki dan perempuan, melarang media atau tayangan yang bisa merusak hubungan suami istri. Hal ini akan meminimalisir kasus perceraian yang menjadi faktor penyebab fatherless. Di sisi lain, negara akan memaksa ayah yang meski sudah bercerai untuk melaksanakan kewajiban terhadap anak-anaknya, baik nafkah maupun pendidikan dan kasih sayang. Bagi anak-anak yang yatim, negara memastikan ada wali yang menafkahi, jika tidak maka menjadi tanggung jawab negara untuk mengurusnya.

Demikianlah, sistem kehidupan Islam yang ditegakkan oleh negara akan menjadikan rida Allah sebagai tujuan hidup dan standar kebahagiaan, bukan materi. Sehingga ayah akan memahami bahwa kebahagiaan bagi keluarganya terletak pada ketakwaan kepada Allah, bukan sekedar mengejar berbagai materi.  Ayah bekerja sama dengan ibu, mendidik anak-anak dengan Islam, bersama-sama dalam kebaikan, saling menasihati, hidup rukun, qanaah dalam keluarga. Dengan mekanisme ini, fenomena fatherless pun akan loss (hilang). Niscaya, kemudian akan lahir generasi-generasi yang tangguh dan bertakwa, meneruskan estafet perjuangan dan membangun peradaban cemerlang. Wallahu a’lam bish shawab

[SM/Ln]