Oleh: Idea Suciati
Suaramubalighah.com, Opini – Gaya hidup modern dianggap cenderung berjalan demikian cepat, sibuk dalam rutinitas, berlari mengejar kesuksesan. Munculah gaya hidup slow living yang mulai dilirik generasi muda, karena dianggap bertolak belakang dengan gaya hidup modern. Slow living diartikan sebagai menjalani hidup dengan lebih lambat dan santai. Fokus kepada hal-hal kecil yang sering diabaikan. Gaya hidup ini tengah tren karena disebut-sebut dapat membebaskan diri dari stres.
Melansir dari cnnindonesia.com, menjalani hidup slow living berarti lebih fokus pada rutinitas, menyediakan waktu untuk melakukan hobi yang benar-benar disukai, bahkan menikmati alam tanpa harus bersama telepon genggam, menjauh dari smartphone sementara waktu.
Menurut CNBCIndonesia, slow living adalah sebuah gerakan yang awalnya berkembang di Italia pada tahun 80-an sebagai bentuk penentangan terhadap budaya fast food dan industri makanan besar melalui Slow Food Movement. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi konsep slow living yang lebih luas dengan menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan. Tren slow living dianggap menjadi solusi bagi seseorang yang merasakan stres atau ingin keluar dari rutinitas sibuk di sistem hari ini.
Beberapa praktik slow living adalah seperti hal-hal berikut: orang yang melakukan slow living akan mencoba menjauhi pekerjaan yang terikat dengan waktu dan tempat; lebih banyak waktu dengan alam, meditasi, jalan-jalan. Kemudian mencoba banyak berkata ‘tidak’ untuk menolak hal-hal yang tidak diinginkan; menjauhi media sosial yang dianggap sumber stres; banyak menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa, seperti berjalan-jalan tanpa tujuan; serta beraktivitas dengan lebih santai tidak terburu-buru, misalnya saat makan, menikmati setiap gigitan, juga dimulai saat memilih dan memasak makanannya dengan santai. Gaya hidup ini disebut mirip dengan gaya hidup para lansia (pensiunan) yang hidup dengan lebih santai dan menekankan pada hal-hal kecil dan bermakna.
Tekanan Hidup di Sistem Kapitalisme
Tidak dapat dipungkiri, sistem kehidupan kapitalisme liberal yang diterapkan saat ini, membuat manusia hidup sibuk tapi kosong makna. Penuh dengan tekanan hidup dan ketidakpastian. Sistem ini menciptakan kondisi sosial dan ekonomi yang penuh tekanan. Nampak dalam persaingan kerja yang ketat, kerja yang tidak stabil, tekanan finansial karena gaya hidup hedonis atau perangkap utang. Sistem kapitalisme menjadikan standar kebahagiaan ada pada teraih sebanyak-banyaknya materi. Sehingga mendorong individu untuk terus meningkatkan produktivitas mengejar kesuksesan materi finansial, mengabaikan hal-hal spiritual bahkan kesehatan mental. Ekspektasi tinggi untuk sukses secara materi mengakibatkan orang mudah stres, cemas, hingga depresi.
Globalisasi, perkembangan teknologi, produksi yang amat cepat sesuai tren pasar membuat hidup seseorang mesti bersiap menghadapi segala perubahan dan harus belajar untuk hidup dalam kondisi ketidakstabilan total. Inilah yang berujung pada tingginya kasus gangguan kesehatan mental pada individu dan masyarakat.
Mark Fisher, seorang filsuf sekaligus kritikus budaya kontemporer asal Inggris, melalui bukunya Capitalist Realism: There is no Alternative? (2009), ia secara lugas menyatakan bahwa sistem kapitalisme, memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental individu dan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Fisher, sistem kapitalis kontemporer memang membutuhkan bentuk kegilaan bipolar dan schizofrenia. Perubahan mood secara tiba-tiba (bipolar) dan kesadaran yang tidak terstruktur, tidak stabil, dan kompleks (Schizofrenia), adalah sesuatu hal yang amat cocok dengan kompleksitas ekonomi kapitalisme kontemporer.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat setidaknya lebih dari 800.000 kasus bunuh diri setiap tahunnya, dan yang tertinggi adalah pada usia muda (data 2019). Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Organisasi Riset Kesehatan – BRIN, Yurika Fauzai Wardhani, dari 2.112 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang tahun 2012 sampai 2023, ada 985 kasus yang terjadi pada remaja atau sekitar 46,63% dari keseluruhan jumlah. (www.brin.id, 21-11-2023)
Kegagalan negara mengurus rakyat membuat rakyat tidak sejahtera. Kebutuhan sandang, pangan, papan, termasuk kesehatan dan pendidikan harus dibiayai rakyat dari kantongnya sendiri. Karena tidak ada jaminan apapun dari negara. Padahal harga-harga kebutuhan pokok kian mahal, pendidikan dan juga kesehatan makin tak terjangkau. Hal ini menambah tekanan hidup pada rakyat di sistem ini.
Kapitalisme membuat atmosfer kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Rakyat sulit mendapat pekerjaan, jikapun dapat pekerjaan tidak sebanding dengan biaya hidup yang tinggi. Sementara itu, sistem struktur pekerjaan yang fleksibel, pekerja lepas, kontrak sementara yang tidak pasti menjadi aturan yang mau tidak mau harus diterima. Masyarakat dibuat tidak mampu merencanakan masa depan secara pasti.
Keterkaitan kesehatan mental dengan ekonomi suatu negara ditunjukkan data, bahwa lebih dari 79 persen kasus bunuh diri global terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah (WHO, 2016).
Demikianlah sistem kapitalisme dengan carut marutnya perpolitikan, buruknya ekonomi masyarakat, krisis iklim, krisis moral, tingkat kriminalitas dll berdampak pada kehidupan manusia yang penuh dengan krisis dan permasalahan. Maka wajar, muncul tren-tren gaya hidup yang dicoba-coba untuk bisa mengatasi atau setidaknya memperkecil efek kerusakan kapitalisme. Salah satunya slow living. Namun, apakah bisa gaya hidup ini diambil oleh generasi Islam?
Dynamic Living Gaya Hidup Pemuda Islam
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, slow living digambarkan seperti kehidupan yang sangat santai dan membahagiakan, jauh dari rutinitas yang melelahkan. Hanya melakukan hal-hal yang disukai, memaknai setiap hal kecil dan menjauhi hingar bingar kehidupan atau permasalahan, menjauhi masalah dan lebih fokus pada kebahagiaan pribadi.
Hanya saja, slowliving bukanlah gaya hidup pemuda muslim yang hidupnya senantiasa dinamis dan produktif. Pemuda muslim menyadari permasalahan dan ikut menjadi korban buruknya penerapan sistem kapitalisme, namun ia tidak lari dengan menyelamatkan diri demi kebahagiaan sendiri, melainkan ikut aktif dalam gerakan untuk mengubah kondisi yang ada.
Bagi pemuda Islam, gaya hidup berkaitan dengan cara pandang manusia terhadap kehidupan itu sendiri, yakni berkaitan dengan akidah. Seorang muslim yang berakidah Islam memandang kehidupan dunia adalah waktu untuk beribadah kepada Al-Khaliq yang Maha Menciptakan dan Maha Mengatur. Beribadah artinya melakukan segala sesuatu berstandarkan perintah-Nya dan larangan-Nya dan menjalani kehidupan dengan tujuan meraih rida Allah. Allah SWT berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku,” (QS Adz Dzariyat: 56)
Karena dorongan akidahlah, pemuda muslim senantiasa resah memikirkan dirinya serta umat yang belum bisa terikat dengan Islam secara kaffah, menyadari bahwa segala kerusakan dan krisis yang dialami umat adalah karena tidak diterapkannya syariat Islam dalam kehidupan. Dengan demikian ia akan senantiasa mengikatkan diri kepada syariat serta berjuang agar aturan Islam bisa diterapkan.
Hal ini sebagaimana yang dikisahkan dalam sirah, bagaimana Nabi Muhammad saw. sebelum diangkat menjadi Rasul sangat gelisah dengan kondisi jahiliyah masyarakat Makkah, menyembah berhala, judi, riba, membunuh bayi perempuan dan kebiasaan jahiliyah lainnya. Padahal jika melihat kondisi beliau, beliau dalam kondisi yang berkecukupan, istri yang kaya dengan anak-anak yang banyak, namun beliau tidak merasa tenang dan bahagia. Beliau kemudian tahanust, berdiam diri mengasingkan diri demi mendapat petunjuk bagaimana agar bisa merubah masyarakatnya. Ternyata itu cara yang tidak tepat. Karena kemudian Allah SWT memberinya petunjuk sekaligus risalah. Beliau diangkat menjadi Rasul-Nya yang terakhir untuk menyeru manusia kepada Allah dan meninggalkan segala aturan selain dari-Nya.
Ketika Nabi saw. mulai diperintah menyebarkan dakwah secara terang-terangan, Khadijah menyuruhnya istirahat sejenak. Lantas Nabi berkata padanya, “Wahai Khadijah, waktu tidur dan istirahat telah habis.” (Muhammad Husain Haikal, Hayāt Muhammad, 97). Memang betul, bahwa hari-hari selanjutnya penuh dengan ujian, rintangan, peperangan, kesibukan mengurusi negara dan umat, serta penuh darah dan air mata. Itulah kehidupan yang dijalani Nabi saw. hingga akhir hayatnya.
Pemuda Islam juga perlu mencontoh gaya hidup salah pemuda terbaik, sahabat Nabi saw. yang bernama Mush’ab bin Umair. Sebelum masuk Islam ia adalah pemuda tampan kaya di Makkah, hidup nyaman dan penuh kasih sayang dari ibunya. Namun, setelah masuk Islam, ia harus meninggalkan segala kenyamanan dan kemewahannya, siap diutus oleh Nabi dengan misi berat, yaitu menyiapkan satu kota Yatsrib untuk menerima Islam. Sendirian! Dan Musha’b berhasil. Bisa dibayangkan bagaimana perjuangannya, tidak sempat untuk bersantai demi kebahagiaan pribadi. Akhir hayatnya, Mushab mendapatkan kebahagiaan sejatinya, syahid fii sabilillah, dengan hanya selembar kain yang tak bisa menutupi seluruh tubuhnya.
Kisah-kisah di atas hanya satu contoh dari ribuan kisah hidup para sahabat lainnya, yang kehidupannya penuh dengan dinamika perjuangan demi dakwah dan Islam. Pemuda muslim hidup bukan untuk mengejar kebahagiaan duniawi, namun mengisinya dengan perjuangan. Terlebih hari ini, umat menanti generasi muda untuk berperan dalam tegaknya Islam dan terbangunnya peradaban Islam yang mulia dalam naungan Khilafah.
Maka, pemuda muslim sudah seharusnya memilih gaya hidup pejuang, bergerak cepat untuk berubah dan melakukan perubahan. Berdakwah menyeru umat agar mencampakkan sistem hidup kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam. Sembari menghadapi kesempitan hidup hari ini dengan penuh sabar dan tawakal. Bukan berarti tidak boleh merasa bahagia, menikmati hidup, menjalani hobi, aktif sosial media atau hal-hal yang menyenangkan. Tetapi, semua hal itu tidak terlepas dari misi perjuangan.
Berjuang tentu melelahkan, tapi tentu tetap dapat dinikmati sehingga merasakan kebahagiaan. Begitu pula ketika mengajak orang lain kepada kebaikan namun ditolak, juga sebagai bagian dari proses pembelajaran. Bersungguh-sungguh mencari nafkah adalah bagian dari ibadah, namun, tidak menjadi alasan meninggalkan perjuangan. Pemuda Islam akan selalu berupaya meraih sukses, tapi bukan kesuksesan yang diukur dengan pencapaian materi, melainkan sejauh apa ketaatan kepada Allah SWT.
Hobi-hobi dijalankan sekadarnya bukan untuk melalaikan. Bersosial media tetap diperbolehkan, selama terikat dengan syariat dan digunakan untuk dakwah. Healing puntidak ada salahnya, selama tidak melalaikan, sekedar rehat untuk kemudian berlari kembali berjuang. Ketika lelah melanda, ada tempat berkhalwat dengan Sang Khalik di dua pertiga malam.
Pemuda Islam seperti ini mungkin dianggap asing karena antimainstream. Tapi seharusnya merasa bangga. Ia menjadi ghuraba (yang terasing) tetapi tetap berpegang teguh pada syariat. Bukan pula uzlah (mengasingkan diri) lari dari permasalahan umat. Dalam perjuangan itulah para pemuda akan menemukan kebahagiaannya.
Demikianlah, pemuda muslim sudah seharusnya mencontoh gaya hidup para nabi dan rasul, serta para sahabat yang mengikutinya. Memiliki tujuan hidup yang jelas untuk beribadah kepada Allah SWT, menjalani hidup bahagia selama melakukan yang Allah ridai walau penuh dengan perjuangan, kelelahan, kesulitan-kesulitan. Tidak lambat dan berleha-leha tetapi bergerak cepat, bersegera meraih surga, sebagai sebaik-baik balasan dan tempat kembali. Ingatlah firman Allah SWT,
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ١٣٣
Artinya: “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3] ayat 133).
Wallahu’alam bishshawab. [SM/Ln]