Oleh Endah Siti Muwahidah (Aktivis Muslimah)
Suaramubalighah.com, Mubalighah Bicara_ Putusan MK 2017 yang diperkuat SE Mendagri 2018 membuka ruang legal bagi penghayat kepercayaan mencantumkan “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” di kolom agama KTP. Tren perubahan ini meningkat di berbagai daerah: Blitar mencatat 79 warga dari 26 organisasi penghayat, (blitarraya.com/2025/07/29). Bantul 41 warga,( harianjogja.com 2025/08/05) Kediri 234 warga sejak 2019 (radarkediri.jawapos.com). Tuban 161 warga dari tiga aliran besar, (ronggo.id) dan Jombang 19 warga. (jombangbanget.jawapos.com)
Fenomena ini bukan sekadar prosedur administrasi kependudukan. Ia adalah potret nyata arah ideologi negara yang secara sadar menganut asas sekularisme demokrasi, memosisikan seluruh agama dan kepercayaan sama derajatnya di hadapan hukum, tanpa mempertimbangkan kebenaran atau kebatilan akidah. Dalam bingkai ini, keyakinan lokal, ajaran sinkretis, bahkan sistem kepercayaan yang menyalahi prinsip tauhid, semuanya diberi pengakuan dan perlakuan hukum setara dengan agama wahyu.
Secara politis, kebijakan ini bukanlah langkah yang berdiri sendiri. Ia sejalan dengan agenda global Hak Asasi Manusia versi Barat yang, dalam dua dekade terakhir, gencar mendorong pengakuan terhadap indigenous beliefs, no religion, dan pluralisme keyakinan. Dikemas dengan jargon toleransi dan kebebasan beragama, strategi ini sejatinya merupakan bagian dari proyek global untuk membentuk tatanan dunia sekuler, di mana peran agama di ranah publik dilemahkan, lalu digantikan oleh seperangkat nilai universal buatan manusia. Akibatnya, Islam sebagai agama wahyu berpotensi semakin dipinggirkan dari pengaturan sosial-politik, sementara kebenaran diposisikan relatif, bergantung pada produk kompromi politik serta konsensus manusia, bukan lagi ketetapan mutlak dari Allah SWT.
Secara sosial, kebijakan ini mempercepat proses normalisasi sinkretisme di tengah masyarakat. Kepercayaan yang mencampuradukkan unsur berbagai agama, bahkan yang secara terang bertentangan dengan tauhid, perlahan akan dipandang wajar dan diterima tanpa kritis. Dampaknya paling terasa pada generasi muda Muslim, yang berpotensi kehilangan ghirah untuk membedakan antara yang haq dan yang batil. Ketika negara menempatkan semua keyakinan pada derajat yang sama, secara afektif akan tumbuh sikap apatis terhadap kewajiban membela kemurnian akidah. Lebih berbahaya lagi, relativisme agama bisa merasuki pola pikir umat, menggeser pemahaman bahwa perbedaan aqidah adalah masalah prinsip keselamatan akhirat, menjadi sekadar preferensi pribadi yang tidak memiliki konsekuensi hakiki. Dalam iklim ini, umat akan semakin jauh dari semangat amar ma’ruf nahi munkar, dan ruang publik akan menjadi arena bebas bagi ideologi apa pun untuk berkembang tanpa kendali.
Lebih jauh, fenomena ini membuka ruang lahirnya politik identitas baru. Kelompok penghayat kepercayaan, setelah memperoleh legitimasi formal, akan memiliki basis politik untuk menuntut berbagai hak: mulai dari akses dana publik, pengaruh dalam perumusan kurikulum pendidikan, hingga keterlibatan dalam pengambilan keputusan strategis negara. Perubahan ini akan menggeser lanskap politik identitas di Indonesia, dari sebelumnya berbasis agama resmi menjadi lebih cair, plural, dan semakin menafikan kedudukan Islam sebagai satu-satunya sumber kebenaran, pedoman hidup, serta asas tunggal dalam pengaturan seluruh urusan masyarakat dan negara.
Dari perspektif Islam, arah kebijakan ini jelas bertentangan dengan asas syariat. Dalam sistem Khilafah, negara berdiri di atas akidah Islam sebagai asas tunggal, dan seluruh hukum publik, perundangan, serta kebijakan dijalankan sepenuhnya berdasarkan syariat Islam. Non-muslim yang tinggal di wilayah Khilafah berstatus kafir dzimmi—yaitu warga negara yang mendapatkan perlindungan penuh dari negara Islam. Mereka aman dalam beribadah sesuai keyakinannya, terjamin kehormatan, harta, dan jiwa mereka, serta berhak memperoleh pelayanan publik yang sama dengan muslim. Namun, seluruh hak tersebut berada dalam bingkai syariat, sehingga mereka wajib membayar jizyah sebagai bentuk pengakuan kedaulatan dan perlindungan negara Khilafah, tidak diberi kewenangan menentukan hukum publik, mengubah asas negara, atau mensyiarkan agama mereka di ruang publik. Aktivitas keagamaan mereka dibatasi di lingkungan internal komunitasnya tanpa mengganggu aqidah umum. Dalam sejarah Khilafah, komunitas Yahudi, Nasrani, dan penganut agama lain hidup damai sebagai dzimmi; mereka bebas mengatur urusan internal agamanya, tetapi negara tidak memberi legalitas yang menyamakan kesyirikan dengan tauhid atau menjadikan keyakinan mereka dasar kebijakan publik. Prinsip ini menjaga kemurnian akidah Islam sekaligus memastikan keadilan, keamanan, dan perlindungan bagi seluruh warga.
Paradigma sekularisme demokrasi memisahkan agama dari urusan negara, menempatkan akidah hanya sebagai urusan privat, sehingga negara tidak berwenang menilai kebenaran keyakinan. Dalam Islam, negara wajib menjadikan akidah Islam sebagai asas tunggal yang mengatur seluruh aspek kehidupan dan menjaga keteraturan masyarakat. Menyetarakan tauhid dengan kesyirikan bukan sekadar penyimpangan teologis, tetapi pengkhianatan ideologis yang menimbulkan kerancuan arah perjuangan umat, membuka dominasi nilai sekuler, dan melemahkan identitas politik Islam. Jika tren ini berlanjut, umat Islam menghadapi ancaman serius: pudarnya kesadaran politik Islam, dominasi nilai universal sekuler, generasi yang memandang agama relatif dan opsional, dan marginalisasi ajaran Islam dari ruang publik. Dampaknya merembet ke hukum keluarga, pendidikan, kebijakan sosial-politik, bahkan dakwah, karena semua tunduk pada standar pluralisme buatan manusia, bukan wahyu Allah.
Solusi Islam tegas: memperkuat pendidikan akidah kolektif, mengendalikan administrasi publik agar selaras syariat, dan menegakkan pemerintahan Islam (Khilafah) yang melindungi tauhid dan seluruh warga. Non-muslim diakui dalam batas yang tidak mengancam akidah, dan semua kebijakan berlandaskan hukum Allah. Tanpa strategi ini, relativisme, sinkretisme, dan sekularisasi global akan terus merajalela. [SM/Ln]
Sumber: Muslimah.net

