Oleh : Idea Suciati
SuaraMubalighah.com, Opini_ Hari Santri bukan sekadar seremoni, tapi momentum menakar sejauh mana pesantren tetap menjadi benteng Islam di tengah arus sekularisme global. Di tengah derasnya modernisasi dan gempuran nilai-nilai liberal, pesantren ditantang bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk kembali tampil sebagai poros peradaban Islam.
Cita-cita mengaitkan kembali pesantren dan peradaban nampak pada tema besar yang diusung pada peringatan Hari Santri 2025. Bertajuk “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Tema ini terdengar megah dan visioner, menyiratkan harapan agar santri dan pesantren kembali memainkan peran strategis di panggung global.
Menteri Agama Nasaruddin Umar bahkan menegaskan, pesantren memiliki potensi besar menjadikan Indonesia sebagai kiblat peradaban Islam dunia. Ia mengajak dunia pesantren meneladani kejayaan Islam di masa Harun Ar-Rasyid, ketika Baghdad menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia.
Namun di balik semangat besar itu, kita patut bertanya: apakah visi ini sungguh bermuara pada penguatan pesantren sebagai penjaga kemurnian Islam kaffah dan penggerak peradaban berbasis wahyu? Ataukah justru mengarahkan pesantren kepada arus global yang berhaluan sekuler-liberal?
Distorsi Peran Pesantren
Pesantren adalah benteng ideologis umat. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan tradisional, melainkan wadah pembentukan mukmin yang memahami Islam secara menyeluruh (kaffah) dan siap memperjuangkannya. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, arah pembinaan pesantren mulai mengalami distorsi.
Kini, banyak pesantren beralih menjadi inkubator wirausaha muda atau agen moderasi beragama. Sementara peran ideologisnya semakin kabur. Para santri pun didorong menjadi agen budaya, penggerak ekonomi, atau duta Islam moderat.
Santri moderat digambarkan sebagai individu toleran, pluralis, dan ramah terhadap perbedaan. Namun sebenarnya sedang dijauhkan dari semangat dakwah yang berani menyeru pada penerapan Islam kaffah, yakni penerapan hukum Allah secara menyeluruh, bukan hanya ibadah ritual. Padahal pesantren bukanlah pabrik pekerja sosial atau pusat pelatihan wirausaha, melainkan tempat mencetak ulama mujahid, pewaris perjuangan Rasulullah saw.
Inilah bentuk distorsi dan pesantren yang harus diwaspadai: memisahkan pesantren dari tugas sucinya sebagai penjaga ideologi dan pencetak ulama pejuang Islam kaffah.
Pesantren: Pusat Lahirnya Pemimpin Peradaban
Dalam sejarah Islam, pesantren atau lembaga pendidikan Islam telah memainkan peran strategis dalam membangun peradaban. Di masa keemasan Islam, ribath, madrasah, dan majelis ilmu menjadi pusat penggemblengan akal dan ruhiyah umat. Dari sana lahir ulama, ilmuwan, dan negarawan yang memadukan ilmu dan iman.
Begitu pula di Indonesia, pesantren bukan sekadar tempat mengaji kitab kuning. Ia adalah kawah candradimuka perjuangan umat. Dari pesantren lahir tokoh-tokoh besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainal Musthafa, dan banyak lagi. Mereka bukan hanya pengajar ilmu, tetapi pemimpin perlawanan terhadap penjajahan dan ketidakadilan.
Ulama dan santri pesantren memahami bahwa ilmu tidak berhenti pada hafalan, tetapi harus bermuara pada amal dakwah dan perubahan sosial berdasarkan syariat.
Santri sejati tidak puas menjadi cendekiawan religius, tetapi harus menjadi mujahid intelektual yang mampu mengarahkan umat menuju rida Allah.
Santri bukan duta budaya, tetapi duta dakwah. Bukan motor ekonomi pragmatis, tetapi motor peradaban Islam kaffah. Inilah ciri khas pesantren yang seharusnya menjadi pembeda dari lembaga pendidikan modern sekuler.
Maka, menginginkan kebangkitan pesantren menjadi pusat peradaban seharusnya dengan mengembalikan ruh perjuangan islam pada Pesantren. Menjadikan pesantren sebagai pusat lahirnya ulama pejuang, pembimbing umat, dan pemimpin peradaban Islam. Bukan sekadar menghasilkan santri yang pandai teknologi, mahir bisnis, atau terampil dalam budaya populer.
Butuh Dukungan Negara
Potensi besar pesantren tidak akan pernah terwujud dalam sistem yang sekuler. Karena, sistem ini menolak keterlibatan agama dalam ranah publik dan hanya menempatkannya di ruang privat. Akibatnya, pesantren dibiarkan hidup, tetapi dimatikan fungsinya. Seharusnya Pesantren tumbuh dari akar sistem Islam bukan sekular, yakni negara yang menerapkan syariat Islam secara secara kaffah.
Mendorong pesantren sebagai pembangun peradaban tanpa dukungan negara adalah fatamorgana. Membicarakan kebangkitan pesantren tanpa sistem Islam, ibarat ingin menumbuhkan pohon tanpa akar. Beban yang terlalu berat untuk dipikul.
Bayangkan beratnya bagaimana para santri harus bekerja lebih keras untuk bisa tetap berada dalam pemahaman yang benar ketika realita kehidupan di luar lingkungan pesantrennya berbanding terbalik dengan apa yang mereka pelajari.
Hal ini tidak bisa hanya dibebankan kepada Pesantren. Tapi dibutuhkan dulu, institusi politik negara yang menegakkan syariat secara kaffah, yakni Khilafah.
Sejarah membuktikan: kejayaan ilmu, ekonomi, dan budaya Islam di masa lalu tumbuh karena tegaknya sistem Khilafah, sistem pemerintahan yang menjadikan akidah Islam sebagai asas negara dan syariat sebagai hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Peradaban emas islam selama masa kekhilafahan menjadi sejarah yang tak terbantahkan.
Khatimah
Tema besar dan visioner pada momen Hari Santri harus diwujudkan dalam kerangka Islam kaffah. Agar momen Hari Santri tidak terhenti sebatas seremonial. Justru harus menjadi momentum pesantren kembali menjadi benteng akidah, penjaga syariat, dan pusat kebangkitan peradaban Islam.
Saatnya pesantren menjadi episentrum lahirnya ulama waratsatul anbiya, baik sebagai rujukan umat tentang Islam, maupun sebagai subjek utama muhasabah lil hukam, memastikan pemerintahan berjalan sesuai dengan islam. Hingga terwujud Khilafah yang akan menjadi pusat peradaban Islam yang hakiki.
Wallahu ‘alam. [SM/Ln]

