Relasi Ulama dan Umara dalam Mewujudkan Kepemimpinan Islam Sejati

  • Opini

Oleh: Bunda Nurul Husna

Suaramubalighah.com, Opini —Beberapa media mengunggah kabar kunjungan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur pada Rabu (20/8/2025) lalu. Di antaranya adalah kunjungan silaturahmi Kapolri ke Ponpes Langitan Tuban dan Ponpes Majma’al Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah Ploso Jombang. Kunjungan itu disinyalir bertujuan mempererat sinergi ulama dan umara dalam menjaga kamtibmas serta merawat persaudaraan, kesatuan, dan persatuan bangsa. Kapolri juga menyampaikan amanat Presiden untuk menjaga kerukunan, sekaligus mengajak para ulama berperan aktif dalam pembangunan. Mulai dari penguatan ketahanan pangan, swasembada, hingga pengembangan SDM unggul menuju generasi emas 2045, seraya meminta doa dan masukan agar Polri dapat bekerja lebih baik sesuai harapan masyarakat.

Kunjungan Kapolri ke beberapa ponpes di Jawa Timur dengan membawa pesan menjaga kerukunan dan memperkuat sinergi ulama dan umara, sekilas tampak positif. Karena memang demikianlah seharusnya. Umara atau para pemimpin pemerintahanlah yang mendatangi ulama sebagai ahli ilmu agar kepemimpinannya sesuai syariat, amanah, dan tidak zalim pada rakyatnya.

Namun dalam bingkai politik demokrasi sekularistik seperti hari ini, perlu sikap kritis dalam memaknai kunjungan umarapada ulama. Demokrasi tidak peduli halal-haram. Agama tidak diberi ruang untuk mengelola masyarakat dan negara. Sepak terjang dan kebijakan politik apa pun sah dilakukan, meski bertentangan dengan agama. Oleh karena itu, penting untuk menyikapi fakta yang ada secara mendalam dengan kacamata Islam.

Terkait hal ini, ulama tidak boleh diposisikan sebagai legitimator bagi kebijakan politik penguasa (umara). Karena ulama adalah pemberi koreksi ideologis terdepan, mengawal umaraagar sesuai dengan tuntunan syariat. Ulama tidak boleh berkata sesuai selera umara, tapi hendaknya berkata-kata sesuai dengan hukum syarak.

Adapun tentang kebutuhan mewujudkan persaudaraan dan kerukunan, serta menguatkan persatuan dan kesatuan, Islam telah memberikan panduannya. Sesungguhnya ikatan persaudaraan dan persatuan yang paling kokoh adalah yang didasari oleh akidah Islam. Bukan sekadar persatuan karena maslahat tertentu atau fanatisme ashabiyah yang sempit dan lemah seperti nasionalisme. Dan dalam hal ini tentu ulama memiliki posisi strategis. Di samping sebagai pembimbing umat dengan Islam, ulama pun menjadi perekat yang mengokohkan persatuan umat atas dasar akidah Islam.

Ulama dan Umara

Secara bahasa (lughah), ulama berasal dari kata berbahasa Arab,‘ulama, bentuk jamak (plural) dari ‘alim, artinya orang yang berilmu, ilmuwan atau peneliti dalam disiplin ilmu apa pun. Lalu kata ulama diserap dalam bahasa Indonesia dan mengalami pergeseran makna menjadi orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ulama diartikan sebagai orang yang ahli dalam hal pengetahuan agama Islam.Sedangkan umara bermakna pemimpin pemerintahan.

Islam menyebut orang-orang yang khusus mendalami syariat Islam dengan sebutan fuqaha dan ulama. Sebutan fuqaha disandarkan pada firman Allah Ta’ala, “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka (liyatafaqqahuu fii ad-diini) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.”(QS. At-Taubah/9: 122). Sedangkan sebutan ulama disandarkan pada firman Allah Ta’ala, “.. Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(QS. Fathir/35: 28).

Penting untuk dipahami bahwa Islam tidak mendikotomi antara negara dan agama, antara ulama dan umara, atau antara kekuasaan negara dan kekuasaan agama sebagaimana praktik negara sekuler. Karena dalam Islam, agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Negara dan umara adalah pihak yang wajib dan berwenang melaksanakan seluruh syariat Islam, serta mengurusi urusan rakyatnya dengan Islam. Sedangkan ulama berposisi sebagai pembina umat dengan Islam, dan melakukan muhaasabah lilhukkam (mengoreksi penguasa) agar umaramemimpin sesuai syariat.

Keutamaan Ulama

Ulama memiliki keutamaan karena ilmu mereka, sebagaimana pujian Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu di antara kalian ke beberapa derajat. Allah Mahatau atas apa saja yang kalian kerjakan.(QS. Al-Mujadalah/58: 11). Kemudian sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya segala makhluk yang ada di langit dan di bumi, hingga ikan di air, memintakan ampunan untuk orang alim. Keutamaan orang alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.”(HR. Tirmidzi).

Ulama juga disebut sebagai pewaris nabi (warasatul anbiya). Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.(HR. Tirmidzi dalam Sunannya no. 2681, dan Imam Ahmad dalam Musnadnya 5/169).

Ulama adalah sebaik-baik manusia di hadapan Allah, hamba yang paling takut pada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”(QS. Fathir/35: 28). Tentang ayat ini, Imam Ibnu Jama’ah dalam kitabnya Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim hal 83 menjelaskan bahwa ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Dan orang-orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik manusia.

Peran Ulama

Ulama dapat memengaruhi baik-buruknya umara (penguasa) dan kondisi rakyat suatu negeri. Sebagaimana yang diperingatkan oleh Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin, II/ 381, “Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barangsiapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala persoalan”

Kerusakan itu kini telah nyata. Berbagai kesempitan hidup yang ada di negeri ini, akibatkezaliman dan kemungkaran yang masih berjalan. Dan kemungkaran terbesarnya adalah dicampakkannya Al-Qur’an dan hadisdari kehidupan masyarakat. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini justru dijalankan dengan pola kepemimpinan demokrasi sekuler hingga terseret jauh dari ketaatan dan keberkahan hidup.Maka peran ulama sebagai pembimbing umat dan umara sangat dibutuhkan, untuk membawa negeri ini kembali pada tuntunan syariat Islam.

Mirisnya, ada saja perilaku ulama su’ yang menyalahi peran muliaulama. Alih-alih menjadi yang terdepan dalam perjuangan Islam, justru tega mengkhianati dan menyelewengkanIslam demi secuil materi dan kenikmatan dunia. Mengopinikan Islam secara keliru, membolak-balikkan hukum syarak, menakwilkan Al-Qur’an, mendistorsi ajaran Islam, dan mengkriminalisasi ajaran Islam seperti tentang jihad, Khilafah, dan syariat lainnya.

Bahkan ada yangturut menopang ideologi penjajah, melalui propaganda pemikiran sekuler. Seperti paham kebebasan (liberalisme) atas nama HAM, pluralisme, toleransi kebablasan atas nama moderasi beragama (wasathiyah), perjuangan hak-hak perempuan atas nama feminisme gender dan konsep kesalingan (mubadalah), kespro kebablasan dan salah arah atas nama jaminan hak-hak anak, dan sebagainya. Padahal semua itu adalah pemikiran dan opini berbahaya bagi umat dan bangsa ini.

Maka penting bagi ulama untuk menunjukkan kesalahan ide-ide tersebut serta pertentangannya dengan Islam. Karena disamping mengoreksi umara, ulama juga wajibmendidik umat dengan Islam kaffah, meninggikan kepekaan mereka pada problematika umat, menguatkan kecerdasan politik umat, dan membangkitkan kesadaran umat untuk segera kembali pada kehidupan Islam.

Karenanya, negeri ini membutuhkan hadirnya kembali para ulama (termasuk muballighah) yang hanif dan adil, ulama warasatul anbiyahakiki. Ulama yang ikhlas membersamai perjuangan dakwah politik umat, demi meraih pertolongan Allah, berupa kemenangan Islam dengan terwujudnya kepemimpinan politik Islam sejati dalam naungan Khilafah Rasyidah.[SM/Ah]