Oleh Idea Suciati
Suaramubalighah.com, Opini – DR. KH. M Soleh Hapudin, M.Si. Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Kota Tangerang dalam khotbah Jum’at 18 April 2025 menyampaikan bahwa, jihad Palestina adalah bentuk pembelaan terhadap tanah wakaf umat Islam, yakni Baitul Maqdis yang menjadi kiblat pertama umat ini, tempat isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad saw. dan merupakan tanah yang diberkahi Allah SWT.
Solidaritas terhadap Palestina adalah kewajiban keimanan dan kemanusiaan. Bukan sekadar empati, tetapi bentuk nyata dari ukhuwah Islamiyyah, tanggung jawab kolektif umat, dan implementasi jihad dalam konteks global. Jihad bukan semata-mata pertempuran bersenjata, melainkan juga, jihad dengan doa, harta, advokasi, pengetahuan, dan sikap politik yang tegas.
Menurutnya, jika saudara kita di Palestina hari ini dizalimi, maka kewajiban kita adalah menolong dengan doa, harta, advokasi, media, dan sikap nyata. Menyuarakan kebenaran, mendidik umat tentang realitas Palestina, dan menolak segala bentuk normalisasi terhadap penjajahan adalah bagian dari jihad kultural dan politik yang harus diteguhkan. Kita bukan sekadar penonton sejarah, melainkan seharusnya menjadi pelaku dalam babak peradaban ini yaitu peradaban yang menolak kezaliman, membela kemanusiaan, dan menegakkan tauhid dengan sepenuh keimanan. (www.mui.or.id, 18-04-2025)
Respon Berbeda-Beda
Khotbah di atas adalah salah satu respon ulama di Indonesia terhadap seruan jihad yang difatwakan persatuan ulama muslim internasional (IUMS) pada Kamis, 10 April 2025. Fatwa dikeluarkan oleh Komite Ijtihad dan Fatwa IUMS yang dipimpin Prof. Ali Mohieddin Al-Qaradaghi dan Prof. Fadl Abdullah Murad. Jihad terhadap entitas Zionis dan seluruh pihak yang bekerja sama dengannya adalah wajib fardhu ‘ain atas setiap muslim yang mampu,” tegas fatwa tersebut.
Sebagai penjabaran dari seruan jihad yang telah ditegaskan sebelumnya, fatwa ini menegaskan bahwa keterlibatan langsung, termasuk dalam bentuk intervensi militer dan dukungan kepada para mujahidin, baik melalui penyediaan senjata, keahlian, maupun intelijen, merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan.
Fatwa tersebut diterjemahkan berbeda termasuk sebagian pengurus MUI. Secara kelembagaan Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Prof. Sudarnoto Abdul Hakim menegaskan bahwa pengiriman pasukan bersenjata untuk melindungi warga Gaza telah direkomendasikan dalam ijtimak MUI.
Namun, belum semua ulama yang tergabung dalam MUI memiliki pandangan yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Dr. KH. M Soleh, beliau dalam khotbah Jum’at mengatakan bahwa jihad bukan semata perang atau mengirimkan pasukan bersenjata melainkan dengan doa, harta, advokasi, pengetahuan, dan sikap politik.
Selain MUI, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pun merespon terkait isu ini. Dalam wawancara daring pada Kamis (10-4-2025), Ketua PP Muhammadiyah, Syafiq Mughni menyampaikan bahwa dalam konteks konflik Israel-Palestina saat ini, Muhammadiyah memandang jihad sebagai upaya memberdayakan rakyat Palestina, menyerukan simpati global, serta mempromosikan pembebasan dan kedaulatan Palestina. Ia pun menekankan bahwa jihad tidak selalu identik dengan peperangan, “Jihad bisa dimaknai dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan,” ujarnya. (Suaraaisiyah.com, 11-04-2025)
Sangat disayangkan jika fatwa jihad yang diserukan ulama internasional masih direspon dengan membatasi makna jihad pada secara bantuan ekonomi, pendidikan, doa, harta, advokasi, pengetahuan, dan sikap politik saja. Maka, Diperlukan pemahaman yang benar tentang makna jihad secara syar’i sebagai solusi tuntas persoalan Palestina.
Makna Syar’i Jihad
Jihad menurut pengertian bahasa (ma’na lughawi), artinya adalah
الْجِهَادُ لُغَةً بَذْلُ وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِي الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
“Jihad menurut pengertian bahasa adalah mengerahkan atau mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan berupa perkataan atau perbuatan.” (Ibnul Atsīr, An-Nihāyah fī Gharīb Al-Hadīts, 1/319; Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-Fayūmi, Al-Mishbāh Al-Munīr fī Gharīb Al-Syarah Al-Kabīr, 1/112)
Sedangkan, menurut pengertian syariah (ma’na syar’i), definisi jihad adalah :
الْجِهَادُ هُوَ بَذْلُ الْوُسْعِ فِي الْقِتَالِ فِي سَبِيْلِ اللهِ مُبَاشَرَةً أَوْ مُعَاوَنَةً بِمَالٍ أَوْ رَأْيٍ أَوْ تَكْثِيْرِ سَوَادٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِك
“Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung berperang, maupun dengan memberikan bantuan untuk perang, misalnya bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak pasukan perang, dan lain-lain.” (Taqiyuddīn An-Nabhāni, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/145; Ibnu ‘Ābidīn, Raddul Muhtār ‘Alā Al-Durr Al-Mukhtār (Hāsyiyah Ibnu Ābidīn), 3/336)
Pengertian jihad dalam arti berperang (al-qitāl) di jalan Allah, sesungguhnya adalah pemahaman umumnya para ulama dari berbagai mazhab fiqih dalam Islam, termasuk mazhab yang empat (mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali).
Ingatlah bahwa definisi jihad sesungguhnya sudah pernah dijelaskan sendiri oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang shahih. Dari ‘Amr bin ‘Abasah ra., bahwa seorang laki-laki pernah menanyakan beberapa pertanyaan kepada Rasulullah saw. Salah satu pertanyaan itu, laki-laki itu bertanya tentang jihad kepada Rasulullah saw.
وَمَا الْجِهَادُ؟ قَالَ: أَنْ تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيتَهُمْ
“Apa itu jihad?” Rasulullah saw. menjawab,”Jihad itu adalah kamu memerangi kaum kafir jika kamu menjumpai mereka (dalam peperangan).” (HR Ibnu Majah, no. 2794; Ahmad, no. 17.027. Hadis ini sahih menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnā`ūth dalam Kitab Takhrīj Al-Musnad, hadits no. 17.027)
Jadi, Jihad dalam makna syar’i-nya memang khusus hanya digunakan untuk perang dan segala sesuatu yang terkait dengan perang secara langsung. (al-jihād huwa al-qitāl wa kullu mā yata’allaqu bil qitāli mubāsyaratan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/145)
Jikapun ada upaya berupa bantuan, baik ekonomi, harta, obat-obatan atau advokasi dan lainnya haruslah bantuan yang memang diperlukan untuk kebutuhan perang. Kalau seorang muslim menginfakkan hartanya untuk membentuk lembaga keuangan syariah, atau memberi santunan kepada fakir dan miskin, dan semisalnya, tidak dapat disebut berjihad dengan harta, karena menginfakkan harta tersebut tidak berkaitan langsung dengan perang yang sedang terjadi di suatu tempat dan waktu yang tertentu. Karena, tidak boleh makna jihad tidak boleh dibatasi atau dikurangi atau di re-interpretasi yang tidak sesuai dengan makna syar’inya.
Hanya saja, harus dipahami bahwa aktivitas jihad dalam makna syar’i ini, bukanlah aktivitas individual dengan mengirim para sukarelawan atau menjadi sukarelawan, misalnya, ataupun mengirim senjata-senjata. Aktivitas jihad haruslah dimotori atau dikomandoi oleh seorang pemimpin kaum muslim yang menyerukan jihad ke seluruh alam.
Terlebih lagi, jihad hukumnya fardhu (wajib) berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Al-Hadits. Nash-nash Al-Qur’an yang mewajibkan jihad antara lain: QS Al-Anfaal: 39; QS Al-Baqarah: 193; QS At-Taubah: 29; QS Al-Baqarah: 216; QS At-Taubah: 39; QS At-Taubah: 122. Demikianlah sejumlah nash-nash yang mewajibkan jihad, sebagaimana disebutkan oleh Syeikh Dr. Muhammad Khair Haikal, dalam kitabnya Al-Jihād wa Al-Qitāl fī As-Siyāsah Al-Syar’iyyah, pada juz yang pertama.
Jihad Solusi Masalah Palestina
Fatwa Ulama Internasional yang menyerukan jihad bagi kaum muslimin sudah tepat. Karena yang terjadi di Palestina adalah kezaliman global, penjajahan dan genosida oleh Zionis Yahudi. Mereka membumihanguskan Palestina, membantai orang-orang tak terkecuali anak-anak hingga bayi-bayi yang tidak berdosa. Maka untuk menghentikannya tidak ada cara lain, kecuali dilawan dengan kekuatan fisik atau militer, yakni jihad. Jihad dalam arti syar’i tadi, yakni berperang.
Tanah Palestina adalah tanah kharajiyah yaitu tanah milik kaum muslimin yang diperoleh melalui proses jihad dan penaklukan. Palestina pertama dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. pada 15 H. Beliau yang menerima tanah tersebut dari Safruniyus di atas sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian ‘Umariyah.
Setelahnya tanah Palestina berulang kali lepas dari kaum muslimin dan selalu diambil lagi dengan satu metode, yakni jihad fi sabilillah. Palestina tetap di tangan kaum muslimin selama Kekhilafahan Islam. Dan ketika Khilafah Ustmani runtuh maka Palestina pun dengan mudah dirampas oleh Zionis Yahudi sampai hari ini. Karena, tidak ada lagi kekuatan negara yang berani melawan Zionis dengan militernya.
Negeri-negeri muslim seolah diam, karena para penguasanya takut karena Zionis dibekingi oleh adidaya AS. Padahal, mereka memiliki tentara dan sumber daya untuk bisa dikerahkan untuk melawan Zionis. Para penguasa negeri-negeri muslim malah membebek dengan solusi dua negara yang ditawarkan Barat. Atau lewat jalur perjanjian. Padahal, sudah ratusan perjanjian dibuat, tapi ratusan kali juga diingkari Zionis. PBB pun seolah tak berguna melawan kepongahan Zionis. Tak bisa dan tak layak umat Islam berharap kepada lembaga-lembaga internasional itu. Oleh karena itu, penjajahan, genosida dan kezaliman global ini hanya pantas dilawan dengan bahasa perang lagi, satu kata yakni jihad.
Perlu Khilafah
Salah satu fatwa IUMS menyebutkan bahwa jihad adalah kewajiban, dimulai dari rakyat Palestina sendiri, kemudian negara-negara tetangga seperti Mesir, Yordania, dan Lebanon, dan selanjutnya menjadi tanggung jawab seluruh Bangsa Arab dan umat Islam. Jihad melawan penjajahan ditegaskan kembali sebagai kewajiban individu (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan.
Tapi, Dewan Fatwa Mesir ini menolak Fatwa IUMS dengan alasan bahwa jihad tidak dapat dilakukan tanpa izin penguasa (ulil amri) yang sah. Ketua Lakpesdam PBNU K.H. Ulil Abshar Abdalla mendukung fatwa ini. Menurut Ulil, reasoning fatwa dari Darul Ifta Mesir lebih tepat dan kuat bahwa jihad tidak bisa dilaksanakan oleh otoritas nonnegara. “Jihad harus diotorisasi oleh imam alias pemerintah yang sah”
Memang, tidak dimungkiri bahwa jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya otoritas pemerintah yang menjalankannya. Sesungguhnya jihad bisa dilakukan para penguasa negeri muslim, karena mereka punya otoritas yang sah. Hanya saja, faktanya tidak ada satupun yang berani. Oleh karena itu kita membutuhkan satu kepemimpinan yakni negara Khilafah yang dipimpin seorang khalifah yang akan menyatukan negeri-negeri muslim, dan mengerahkan tentaranya untuk berjihad membebaskan palestina.
Semestinya para penguasa muslim dan umat Islam secara keseluruhan mengangkat seorang amir atau pemimpin kaum muslim, yakni seorang khalifah untuk bisa menjalankan fatwa jihad ini dan membebaskan Palestina dari penjajahan Zionis. Inilah yang seharusnya difatwakan dan dijalankan terlebih dahulu, yakni wajib adanya pemimpin atas kaum muslim sedunia yang mampu melindungi umat di mana pun berada.
Sabda Rasulullah saw. dalam masalah ini telah jelas :
الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيْرٍ بَرّاً كَانَ أَوْ فَاجِراً
“Jihad itu wajib atas kalian bersama setiap pemimpin (amir), entah dia pemimpin yang baik ataupun pemimpin yang fājir (fāsiq).” (HR Abu Dawud, no. 2533; Al-Daraqutni, 2/56; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, no 5401)
Khatimah
Demikianlah, bahwa persoalan Palestina hanya bisa diselesaikan dengan jihad fi sabilillah, yakni berperang. Jihad ini wajib hukumnya bagi kaum muslim, baik bagi penduduk Palestina, dan juga bagi umat Islam di wilayah-wilayah lainnya. Hanya saja, perlu seorang khalifah yang menyatukan umat Islam dengan ikatan akidah Islam. Kemudian menghimpun dan menyatukan tentara kaum muslim untuk membebaskan Palestina.
“Para ulama tidak boleh diam. Mereka wajib menyeru jihad, menolak pengkhianatan, dan menekan pemerintah serta institusi agar bertindak sesuai tanggung jawab agama,”demikian salah satu poin fatwa IUMS.
Betul sekali, di sinilah para ulama, mubalighah, para da’i memegang peranan penting wajib menyerukan dan mengingatkan para penguasa untuk mau mengerahkan tentaranya berjihad melawan zionis. Selain itu, juga berdakwah menyeru umat dan ahlu nushrah untuk bersama-sama segera menegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Karena, hanya dalam satu komando khalifah, kewajiban jihad bisa dilaksanakan secara sempurna.
Rasulullah saw. bersabda,
وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرَ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرٌ جَائِرٌ، وَلَا عَدْلٌ عَادِلٌ
“Jihad akan terus berlangsung sejak aku diutus oleh Allah hingga umatku yang terakhir berperang melawan Dajjal. Jihad tidak dapat dibatalkan oleh kezaliman orang yang zalim atau oleh keadilan orang yang adil…” (HR Abu Dawud, no. 2532)
Wallahu ‘alam bishshawab. [SM/Ln]

