Laksanakan Fatwa Ulama tentang Sound Horeg dan Sejenisnya

  • Opini

Oleh: Idea Suciati, M.A.P

SuaraMubalighah.com, Opini_ Sound Horeg bukan istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Pasuruan, Probolinggo, dan sekitarnya. Istilah “sound horeg” merujuk pada konvoi kendaraan yang dilengkapi sound system berdaya tinggi, lampu kelap-kelip, dan sering diiringi musik keras hingga larut malam.

Aksi ini awalnya dianggap sebagai hiburan jalanan, namun mulai menimbulkan keresahan sosial. Sebagian masyarakat mengeluhkan kebisingan, kemacetan, hingga potensi perilaku negatif di ruang publik saat ada parade sound horeg.

Tak hanya warga biasa yang merasa terganggu, para ulama pun angkat bicara. Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, lewat forum Bahtsul Masail, secara tegas mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik sound horeg. Alasannya, selain mengganggu ketertiban umum, fenomena ini dinilai sarat unsur maksiat, seperti joget vulgar, pergaulan bebas, hingga konsumsi minuman keras.

Dijelaskan, penggunaan sound horeg menimbulkan mudarat. Yaitu, kebisingan melebihi batas wajar dan berpotensi tabdzir dan idho’atul mal (menyia-nyiakan harta). Hal ini ditegaskan hukumnya haram secara mutlak.

Keputusan Bahtsul Masail Ponpes Besuk tersebut mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kedua lembaga keagamaan terbesar di Indonesia ini menilai bahwa sound horeg bukan hanya persoalan kebisingan, tetapi juga menyangkut nilai moral, kesehatan masyarakat, serta potensi kerusakan sosial yang lebih luas.

Harus Dilaksanakan

MUI Jawa Timur mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg.

Dalam poin ketiga fatwa tersebut, penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar (tertera dalam konsideran) sehingga dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan, dan atau merusak fasilitas umum atau barang milik orang lain. Kemudian, memutar musik diiringi joget pria wanita dengan membuka aurat dan kemungkaran lain, baik dilokalisir pada tempat tertentu maupun dibawa berkeliling pemukiman warga hukumnya haram.

Fatwa ulama tentang haramnya sound horeg patut diapresiasi namun jika sebatas fatwa dan tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk menindak tegas hiburan yang mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat maka fatwa ulama tersebut tidak akan ada artinya.

Akhirnya, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum (Kemenkum) 

DJKI menyoroti sound horeg perlu diatur dengan regulasi khusus, seperti Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Pemerintah (PP) guna mengatur perizinan dan pelaksanaan kegiatannya. Termasuk soal perlindungan hak cipta lagu, perizinan atau pembayaran royalti.

Sangat disayangkan Pemerintah menanggapi fatwa MUI sebatas melakukan upaya pengendalian agar tidak merugikan masyarakat, bukan secara tegas melarang aktivitas sound horeg yang menjadi wasilah kemaksiatan atau keharaman. Padahal MUI menyatakan aktivitas sound horeg itu haram. Seharusnya pemerintah memberi sanksi tegas kepada setiap pelaku kemaksiatan.

Memang di Indonesia, secara hukum fatwa MUI tidak mengikat. Namun, sudah seharusnya Pemerintah mendengar dan melaksanakan fatwa ulama. Terlebih Indonesia adalah negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.Hanya saja, Indonesia menerapkan sekularisme, sehingga walaupun penduduknya mayoritas beragama Islam, namun fatwa ulama maupun syariat Islam tidak dijadikan sebagai hukum positif yang sah.

Hubungan Ulama dan Penguasa

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2019, KH Ma’ruf Amin pernah mengingatkan bahwa tujuan dari MUI adalah melayani umat (khadimul ummah) dan menjadi mitra pemerintah (shadiqul hukumah).

Mitra pemerintah disana berarti ulama berperan sebagai pengawal sekaligus pengoreksi penguasa. Tujuannya agar penguasa dan kekuasaannya selalu dalam koridor syariat Islam dan tidak menyimpang dari syariat Islam.

Allah SWT berfirman:

إِنَّمَايَخْشَىاللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sungguh yang takut kepada Allah di kalangan para hamba-Nya hanyalah para ulama (TQS Fathir [35]: 28)

Ayat ini menunjukkan kedudukan istimewa para ulama diantara hamba Allah. Dikarenakan rasa takut mereka kepada Allah SWT. Ulama yang sebenarnya akan menjadi pihak terdepan dalam membela agama, menjaga kemurnian Islam, mendidik umat, tidak rida terhadap kemaksiatan, lantang terhadap setiap kezaliman.Maka, MUI sudah tepat dengan mengeluarkan tentang haramnya sound horeg. Karena didalamnya terdapat dharar dan kemaksiatan.

Disisi lain, penguasa pun seharusnya menempatkan ulama dalam kedudukan yang utama, menghormati dan bekerja sama. Penguasa seharusnya memandang ulama sebagai penasihat dan mitra dalam menjalankan roda pemerintahan, serta memanfaatkan ilmu dan kebijaksanaan mereka untuk kemaslahatan umat.

Sebagai contoh, Khalifah Umar bin Abdul Aziz sering meminta fatwa dan pendapat ulama sebelum mengambil kebijakan. Ia pernah membatalkan beberapa kebijakan administratif setelah diberi tahu oleh ulama bahwa itu bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Ia juga menolak gaya hidup mewah karena nasihat para ulama tentang kezuhudan.

Khalifah Harun Al-Rasyid pernah mengunjungi Fudhail bin Iyadh yang menasehatinya dengan keras tentang tanggung jawab sebagai pemimpin. Ia menangis dan menerima nasihat tersebut dengan hati terbuka. Ia banyak mendukung kegiatan ilmiah dan fiqih, serta membiayai pembangunan lembaga keilmuan atas rekomendasi para ulama.

Jelas sebetulnya, saat ini penguasa di negeri-negeri kaum muslim tidak ada yang menerapkan Islam secara kaffah. Akibatnya, kerusakan dan kemaksiatan merajalela. Sound horeg, hanya salah satu saja dari fakta kerusakan. Tidak diterapkan Islam secara kaffah itu adalah kemaksiatan yang paling utama.

Tentu bencana bagi umat jika para ulama diam melihat fakta ini. Apalagi jika ulama malah menjadi stempel kebijakan zalim penguasa atau malah menjadi bemper penguasa untuk menghadapi umat. Baginda Nabi saw. mengingatkan bahwa golongan yang menjadi penyebab terbesar kerusakan umat adalah para ulama yang menjadi fasik. Sabda beliau,

‌هَلَاكُ ‌أُمَّتِي ‌عَالِمٌ ‌فَاجِرٌ وَعَابِدٌ جَاهِلٌ، وَشَرُّ الشِّرَارِ أَشْرَارُ الْعُلَمَاءِ،

Kerusakan umatku adalah oleh ulama yang jahat dan orang bodoh yang beribadah (tanpa ilmu). Seburuk-buruknya kejahatan adalah kejahatan ulama.”(HR Ahmad)

Oleh karena itu, saat ini, para ulama, termasuk da’i, mubaligh/mubaligah, harus betul-betul melaksanakan peran yang dibebankan Allah SWT pada mereka. Ulama harus  memberikan loyalitas hanya pada Islam. Tidak pernah gentar menyuarakan Islam di hadapan penguasa sekalipun. Walau risikonya amat besar.

Imam Abu Hanifah misalnya, pernah menolak jabatan sebagai hakim (qadhi) dari pemerintah karena tidak ingin menjadi alat kekuasaan. Ia pun dihukum dan dipenjara karena sikapnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkali-kali dipenjara karena fatwa-fatwanya yang keras terhadap penguasa dan praktik yang menyimpang.

Khatimah

Sound horeg dan sejenisnya, seperti hiburan malam/diskotik, dan kegiatan-kegiatan yang jelas terdapat kemaksiatan wajib ditindak tegas sebab menjadi ajang kemaksiatan dan merusak khususnya bagi generasi muda.

Oleh karena itu harus ada sinergi antara ulama dan penguasa dalam menjaga kehidupan masyarakat tetap berjalan sesuai ketentuan syariat Islam. Pemerintah harus memberlakukan syariat Islam secara formal dan menutup semua pintu kemaksiatan dan memberi sanksi yang tegas bagi pelakunya.

Ulama wajib peduli dengan urusan umat dan melakukan amar makruf nahi mungkar sehingga masyarakat hidup dalam ketaatan dan keberkahan. Wallahu ‘alam bishshawab. [SM/Ln]