Oleh Mahganipatra
SuaraMubalighah.com, Opini_Sejak kelahirannya di Kongres 2021, Resolusi Jihad Ekonomi terus dikembangkan dan diperkuat setiap tahunnya, termasuk pada penyelenggaraan Sidang Tahunan Ekonomi Umat MUI 2025. Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat (KPEU) Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyelenggarakan Sidang Tahunan Ekonomi Umat 2025 di Hotel Sultan, Jakarta, 8–10 Agustus 2025.
Tema besar yang diusung oleh sidang adalah “Kedaulatan Pangan dan Energi”. Fokus utama sidang di antaranya membahas tentang pengelolaan pangan dan energi sumber daya alam yang belum sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan rakyat. Bahkan mekanisme pengelolaan keduanya tidak sesuai dengan semangat konstitusi, khususnya pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. (mui.or.id, 11-8-2025)
Jadi, apakah benar gagasan MUI melalui Resolusi Jihad Ekonomi 2025, akan mampu membangkitkan ekonomi umat Islam sehingga mampu mandiri, berkeadilan, dan berkelanjutan?
Fakta di Balik Seruan Resolusi Jihad Ekonomi
MUI telah merumuskan 5 poin utama dalam Resolusi Jihad Ekonomi 2025 yang diharapkan mampu membangkitkan ekonomi umat Islam di Indonesia. MUI juga berkomitmen melaksanakan strategi komprehensif untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan energi serta memberdayakan ekonomi umat melalui penguatan koperasi, UMKM syariah, dan optimalisasi zakat dan wakaf.
Adapun langkah strategis yang paling relevan dan mendesak dari resolusi ini menurut MUI, adalah implementasinya harus serius. Agar umat makin kuat dan tangguh dalam menjawab problem kesenjangan yang seringkali memicu keresahan sosial dan radikalisme. Karena perjuangan umat melawan kemiskinan dan ketimpangan sosial melalui penguatan ekonomi umat adalah bagian dari jihad fisabilillah. Jihad bukan hanya dilakukan di medan perang, tetapi di medan ekonomi juga.
Resolusi Jihad Ekonomi Mengundang Konflik Kepentingan
Seiring dengan perkembangannya, resolusi ini kemudian menghadirkan beragam konflik kepentingan. Mulai dari kewajiban umat Islam menjadi pelaku utama ekonomi yang harus fokus membangun ekosistem ekonomi syariah yang terintegrasi dan modern. Sampai pada tuntutan agar masjid dan pesantren harus mengoptimalkan harta zakat dan wakaf untuk ikut berdaya, hingga menjadikan posisi Indonesia sebagai pusat produk halal dunia.
Akhirnya dari 5 poin rumusan Resolusi Jihad Ekonomi ini, kemudian muncul problem baru di tengah-tengah umat Islam. Rumusan 5 poin pokok Resolusi Jihad Ekonomi 2025, diantaranya:
Pertama, ketika MUI menyerukan agar melakukan penguatan koperasi dan UMKM berbasis masjid dan pesantren sebagai pusat kegiatan ekonomi umat. Dengan melakukan percepatan revisi UU No. 25 Tahun 1992 tentang peran koperasi untuk memperkuat ekosistem pemberdayaan ekonomi umat.
MUI merekomendasikan agar menghapus segala bentuk regulasi yang akan menghambat pengembangan koperasi, dan mendorong pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan bagi koperasi simpan pinjam dengan mengembangkan sinergi antara para pelaku usaha lokal dengan koperasi, baik Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), BUMDes, BMT/BTM, BPRS, dan KSPPS.
Kedua, kedaulatan pangan berbasis syariah melalui regulasi pro-rakyat dari hulu hingga hilir, melalui gerakan nasional tanam pangan di lahan tidak produktif.
Ketiga, kemandirian energi dengan menyusun roadmap energi terbarukan. Peran aktif Ulama dan MUI untuk mendukung program pemerintah dalam pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan dengan mengedukasi umat dan masyarakat luas.
Keempat, optimalisasi zakat dan wakaf yang akan dikumpulkan dan didistribusikan oleh masjid dan pesantren demi pemberdayaan ekonomi.
Kelima, distribusi aset produktif dengan mendorongan agar ormas Islam dapat mengelola lahan tambang, perkebunan, dan hutan untuk karbon kredit.
Mengkritisi Gagasan Resolusi Jihad Ekonomi dalam perspektif Islam Kaffah
Dalam perspektif Islam kaffah rekomendasi Resolusi Jihad Ekonomi ini, jelas bertentangan dengan hukum syarak. Pertama, seruan MUI untuk memperkuat ekonomi umat melalui koperasi, dan mendorong masjid dan pesantren sebagai pusat ekonomi.
Selain akad koperasi merupakan akad syirkah yang batil dan dilarang oleh sistem ekonomi Islam kaffah karena akad-akadnya yang tidak memenuhi syarat syirkah. Kemungkinan besar di dalam aktivitas KSPP (koperasi simpan pinjam dan pembiayaan) juga akan didukung dengan aktivitas ribawi.
Padahal haramnya riba telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 275, Allah berfirman;
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Demikian pula, ketika MUI mendorong masjid dan pesantren sebagai pusat ekonomi umat. Hal ini juga dianggap kurang tepat sebab akan mengalihkan fungsi masjid dan pesantren sebagai tempat ibadah dan belajar tsaqafah Islam, berubah menjadi tempat aktivitas ekonomi.
Kedua, gerakan tanam pangan di lahan tidak produktif. Hal ini justru menjadi kontraproduktif dengan kebijakan alih fungsi lahan produktif. Sehingga banyak lahan persawahan yang menjadi tempat hunian, pertokoan dan industri.
Padahal jika negara serius ingin mewujudkan kedaulatan pangan. Maka seharusnya tidak boleh ada alih fungsi lahan produktif, tidak ada kebijakan impor bahan pangan (beras) pada saat sedang panen raya. Demikian pula dengan seluruh kebutuhan pertanian/perkebunan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Semestinya, seluruhnya harus dipenuhi secara mandiri tanpa bergantung pada impor dari luar negeri atau dikendalikan oleh swasta seperti hari ini.
Ketiga, menggandeng ormas Islam menjadi mitra rezim untuk memenuhi energi kebutuhan rakyat. Dengan melibatkan koperasi dan ormas agar ikut andil mengembangkan energi terbarukan. Misalnya, dengan mengembangkan energi nuklir untuk kemaslahatan umat dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Padahal sumber energi fosil juga sangat berlimpah, tetapi justru diserahkan kepada asing. Bukankah hal ini jelas-jelas kebijakan aneh?
Keempat, pemberdayaan ekonomi dengan optimalisasi zakat dan wakaf. Konsep ini sangat tidak tepat karena zakat adalah bagian dari ibadah yang bersifat tauqifi. Hukum syarak telah menetapkan syarat dan rukun bagi setiap muzakki maupun mustahiknya. Sehingga tidak boleh digunakan untuk program pemberdayaan ekonomi umat. Demikian pula dengan harta wakaf hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan dari waqifnya.
Kelima, distribusi aset produktif melalui pemberian hak kepada ormas untuk mengelola milkiyah ammah (tambang, air, dan hutan) agar dikelola oleh mereka. Maka, jelas hal ini menyelisihi hukum syarak sebab milkiyah ammah (harta milik umum) tidak boleh diserahkan kepada individu maupun kelompok. Hanya negara yang boleh mengelolanya, dan hasilnya pun harus dikembalikan kepada rakyat dalam beragam bentuk pelayanan yang akan menyejahterakan rakyat.
Selain itu, ormas Islam seperti MUI seharusnya menjalankan fungsinya sebagai lembaga masyarakat yang mendorong dan menggerakkan pemerintah agar menjalankan peran dan fungsi kekuasaannya berdasarkan aturan sistem Islam kaffah. Tugas MUI adalah mengawal pemerintah melalui aktivitas muhasabah lil hukam dan dakwah amar makruf nahi mungkar. Bukan malah terlibat dalam aktivitas pertambangan, bukankah hal ini justru akan membuka jalan bagi upaya pembajakan fungsi ormas Islam?
Resolusi Jihad Bukan Solusi Problem Ekonomi
Resolusi Jihad Ekonomi adalah bagian dari upaya MUI sebagai lembaga pelayan umat, yang relevan untuk memberikan edukasi dan melindungi kepentingan keagamaan umat Islam. Agar umat Islam mampu menyelesaikan problem ekonomi sebab saat ini umat Islam sedang mengalami kondisi ketimpangan, ketergantungan, dan keterbatasan akses terhadap modal dan teknologi.
Namun, bila kita perhatikan dengan seksama sebenarnya kemiskinan dan ketidakadilan yang terjadi saat ini, sesungguhnya bukan bagian dari problem ekonomi, tetapi justru akibat dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-sekuler. Sistem ini hanya berpihak kepada para pemilik modal yang diberi kebebasan untuk menikmati akses modal dan teknologi. Sementara rakyat justru ditekan dengan beragam kebijakan ekonomi yang makin memberatkan.
Sehingga seruan Resolusi Jihad Ekonomi sesungguhnya bukanlah solusi bagi problem ekonomi umat Islam saat ini. Justru dengan resolusi ini rakyat makin terpuruk ke dalam jurang kesengsaraan yang lebih dalam. Apalagi semenjak MUI berperan sebagai mitra pemerintah yang dituntut harus membantu menjalankan kebijakan nasional.
Resolusi Jihad Ekonomi Mengaburkan Makna Jihad
Di dalam buku yang berjudul “Jihad dan Perang Menurut Syariat Islam”, Dr. Muhammad Khair Haekal menjelaskan bahwa secara etimologis makna Jihad bisa didefinisikan sebagai kekuatan untuk mengerahkan seluruh kemampuan antara kedua belah pihak untuk saling mempertahankan, meski hanya (berdasarkan) perkiraan. Maksud dari “perkiraan” di sini adalah jihad seseorang melawan dirinya, dengan perkiraan bahwa di dalam diri orang tersebut ada dua sisi, ketika dua kepentingan yang saling berlawanan dan saling bertarung. Masing-masing berperang agar memperoleh kemenangan atas yang lain.
Jadi, jika merujuk pada definisi jihad secara etimologis yang dibahas oleh beliau, maka Resolusi Jihad Ekonomi yang digagas oleh MUI memang bisa terkategori ke dalam makna jihad. Karena jihad disimpulkan berdasarkan definisi secara etimologis, yaitu kemampuan yang dikerahkan dalam bentuk aktivitas fisik, penggunaan senjata atau tanpa senjata, dengan mengeluarkan uang atau tidak, kadang berbentuk ucapan, kadangkala mencegah aktivitas tertentu disertai ucapan. Maka kedudukan seruan Resolusi Jihad Ekonomi memang tidak salah jika dianggap sebagai bagian dari jihad.
Namun, di dalam pandangan Islam setiap hal baik berupa perbuatan maupun pemikiran senantiasa memiliki definisi secara syar’i yang dibenarkan oleh hukum syarak. Jadi, apabila kita merujuk pada pendapat al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani makna jihad secara syar’i adalah mencurahkan segenap kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran (pandangan), memperbanyak perbekalan atau pun yang lainnya. Itu berarti, aktivitas jihad adalah aktivitas perang untuk meninggikan kalimat Allah. Sementara jihad dengan pemikiran jika tidak berkaitan langsung dengan perang maka tidak termasuk ke dalam jihad.
Oleh karena itu, gagasan Resolusi Jihad Ekonomi dari MUI tidak bisa dikategorikan ke dalam aktivitas jihad secara syar’i. Sebab, meskipun di sana ada berbagai kesulitan yang akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat Islam, tetapi hal tersebut tidak berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan peperangan.
Dengan demikian maka perjuangan politik MUI melalui Resolusi Jihad Ekonomi tidak termasuk ke dalam jihad. Malah justru berpotensi mengaburkan makna jihad karena umat teralihkan pada aktivitas ekonomi dibandingkan aktivitas politik jihad yang sesungguhnya.
Secara umum dalam ayat-ayat Madaniah juga telah menunjukkan pengertian/definisi jihad yang bermakna “keluar untuk berperang”. Di antaranya terdapat dalam surat an-Nisa ayat 95, Allah SWT. berfirman yang artinya: “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (Surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.”(QS an-Nisa: 95)
Khatimah
Jika saat ini umat Islam hanya fokus kepada seruan Resolusi Jihad Ekonomi saja. Bisa dipastikan kebangkitan umat Islam menuju kemandirian, kedaulatan pangan dan energi tidak mungkin dapat diraih. Kebangkitan umat Islam yang hakiki hanya bisa terwujud ketika umat didorong pada kesadaran tentang rusaknya sistem hari ini yang telah menyebabkan kemiskinan umat secara struktural.
Kemiskinan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh umat Islam hari ini hanya bisa musnah, bila umat bersegera untuk menerapkan seluruh sistem aturan kehidupan yang berasaskan pada syariat Islam secara kaffah. Sehingga umat dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan, dan hal itu hanya bisa diraih dengan tegaknya Khilafah Islamiah. Wallahualam bishawab. [][SM/Ln]

