PKUMI: Pembajakan Potensi Ulama dan Proyek Asimilasi Islam

  • Opini

Oleh: Mahganipatra

SuaraMubalighah.com, Opini_Kementerian Agama RI resmi melepas 19 mahasiswa Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) untuk mengikuti program short course di Amerika Serikat. Program ini bertujuan untuk melahirkan kader ulama yang berakhlak mulia dan berpandangan moderat, sehingga dapat menjadi rujukan umat, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. Serta menguasai khazanah Islam klasik dan ilmu pengetahuan modern dari berbagai disiplin ilmu yang mampu menjawab isu-isu kontemporer. (Kemenag.(dot).id, 11-9-2025) 

Di atas kertas, program tersebut tampak indah, mengeklaim demi menaikkan kualitas kader ulama muda agar dapat memperluas pemahaman lintas agama dan budaya, membangun jejaring global yang lebih inklusif untuk mewujudkan Islam yang moderat dan perdamaian di mata dunia.

Padahal program PKUMI ini sangat berbahaya, racun yang terselubung manis: sebuah proyek sekularisasi akademik berkedok integrasi ilmu yang dibungkus oleh legitimasi religius. Dibalik agenda membentuk kader ulama muda yang menguasai khazanah Islam klasik dan ilmu pengetahuan modern. Sesungguhnya, bagi rezim sekuler program ini adalah upaya untuk membajak potensi ulama muda agar jinak, tunduk, dan menjadi corong penjajahan kapitalisme global.

Karena sebenarnya langkah ini selaras dengan promosi “Islam moderat dan inklusif” yang sedang gencar disuarakan oleh banyak lembaga internasional.

PKUMI: Ilusi Semu Integrasi Ilmu

Konsep program PKUMI yang digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi isu-isu kontemporer malah hanya menjadi jargon dan ilusi semata. Bahkan proses integrasi khazanah Islam klasik dengan ilmu modern kontemporer hanya akan berujung pada kompromi ideologis yang menipu.

Sejak awal, khazanah Islam klasik sesungguhnya dibangun dan bertumpu pada asas yang shahih berdasarkan pada wahyu. Sekaligus menjadi landasan akidah dalam mengambil sumber syariat, ilmu pengetahuan dan panduan kehidupan. Sementara ilmu modern seperti sains sosial, teknologi, filsafat modern, dan metodologi riset dibentuk dan lahir dari rahim sekularisme Barat yang berdasarkan pada worldview materialistik dan relativistik.

Ini berarti ada upaya asimilasi ideologi Islam. Apalagi jika merujuk pada fakta bahwa program PKUMI dalam short course berorientasi pada dialog lintas agama, resolusi konflik berbasis standar HAM internasional, serta nilai-nilai pluralisme global. Sehingga program pembentukan kader ulama muda yang mampu menguasai khazanah Islam klasik, yang terintegrasi ke dalam ilmu pengetahuan modern dari berbagai disiplin ilmu. Hanya jadi pelengkap dan legitimasi moral agar tampak adanya integrasi ilmu padahal hanya ilusi semu.

Sebab realitasnya, mustahil terjadi integrasi (penggabungan) Islam klasik  dengan ilmu modern. Selain keduanya memiliki fondasi yang bertolak belakang, penggabungan ini juga bukan bentuk kemajuan intelektual demi kebangkitan Islam. Melainkan hanya ilusi yang diciptakan oleh Barat ke dalam proyek ideologis yang dikemas dengan bahasa akademik dan moderat. Sementara tujuan sesungguhnya adalah untuk membonsai warisan intelektual Islam, agar sesuai dan tunduk pada kerangka berpikir modern yang lahir dari rahim sekularisme Barat.

PKUMI: Proyek Sekularisasi dan Kolonialisasi Akademik 

Lebih dari itu, upaya asimilasi ideologi Islam dalam program PKUMI adalah strategi halus untuk menyesuaikan Islam dengan nilai-nilai sekuler-liberal melalui jalur pendidikan ulama. Sehingga Islam bukan hanya bisa melebur dan menyesuaikan pemikirannya agar bisa hidup berdampingan dengan nilai-nilai sekuler dan liberal, serta menjadi dasar modernitas Barat.

Akan tetapi Islam juga menjadi jinak, netral, dan kehilangan kekuatan politiknya. Artinya, Islam tidak lagi tampil sebagai ideologi yang independen yang menentang sekularisme, tetapi justru menjadi mitra kompromi bagi sistem global kapitalisme sekuler. Melalui program PKUMI, pendidikan Islam dikemas menjadi laboratorium ideologis untuk menanamkan paradigma sekuler. Dengan narasi “integrasi ilmu” kader ulama muda di giring ke dalam proyek sekularisasi dan kolonialisasi akademik tanpa mereka sadari.

Para ulama muda telah masuk ke dalam jebakan ideologis, menjadi ulama yang diproyeksikan sebagai penyokong moderasi beragama ala Barat yang berjuang bukan untuk Islam. Namun, mereka malah berjuang demi mengokohkan penjajahan di negeri ini. Alhasil, perlahan tapi pasti proses sekulerisasi makin masif di negeri ini. Tradisi rujukan kepada syariah Islam berganti menjadi pengarusan Islam moderat dan inklusif, pemahaman lintas agama dan budaya, serta perdamaian versi sekuler.

PKUMI dan Krisis Orientasi Ideologis Ulama Muda

Islam adalah risalah sempurna yang tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, namun juga mengatur aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti aspek politik, pendidikan, hukum, ekonomi, militer, budaya, dan lain-lain. Oleh karena itu, Islam tidak butuh ide tambahan dari moderasi. Apalagi moderasi merupakan wajah lain dari sekularisme, bukan dari Islam.

Penegasan kesempurnaan Islam serta tidak butuhnya umat Islam terhadap segala bentuk apapun untuk menambah maupun menguranginya, telah Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya:

 ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ }

Artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.(QS Al-Ma’idah: 3)

Jadi sesungguhnya tidak ada urgensitasnya untuk belajar beragam agama maupun budaya di dunia. Islam telah sangat memadai sebagai problem solving (mualajah musykilah), termasuk konsep tentang toleransi dan perdamaian. Perdamaian dalam Islam bukanlah kompromi dengan nilai sekuler, tetapi hasil dari tegaknya hukum Allah.

Demikian pula dalam masalah toleransi. Di dalam Islam, toleransi bukan relativisme agama, tetapi adil dalam aturan syariah. Maka jelas, short course ini bukan untuk Islam, tapi untuk mengokohkan penjajahan. Lewat short course yang kental dengan corak sekulerisme liberal, ada tendensi pembajakan potensi kader ulama muda yang diarahkan untuk mendukung agenda penjajah sekuler. Peran strategis para ulama dibatasi bahkan dijauhkan dan diarahkan menjadi aktivis sosial yang jinak.

Padahal Rasulullah Saw. sudah mengingatkan bahwa sesungguhnya:

                                                                                                                                                            إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

Artinya: “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Pewaris nabi bukanlah agen toleransi maupun agen moderasi beragama, tetapi pengawal syariah Islam. Tugas mereka mendidik umat dengan sistem Islam kaffah, menjaga akidah, dan berani melakukan muhasabah lil hukkam di hadapan penguasa zalim.

Peran Ulama dalam Sistem Islam Kaffah

Dalam kerangka sistem Islam kaffah, kader ulama muda akan dikokohkan peran strategisnya sebagai waratsatul anbiya (pewaris nabi) yang ideologis sekaligus politis. Artinya peran ulama bukan sekadar pengajar moral yang disibukkan dengan membaca kitab klasik saja. Namun, ulama akan menjadi garda terdepan untuk membangun dan melindungi peradaban Islam dari segala bentuk distorsi dan upaya sekularisasi terselubung.

Dalam sistem Islam kaffah, fungsi ulama selain menjaga kemurnian akidah umat dari segala bentuk pemikiran kufur. Peran politis ulama adalah membina dan mendidik kesadaran umat untuk menjadi  pemimpin perubahan yang bertugas untuk menyeru dan menuntun umat agar bersegera menegakkan syariah Islam secara kaffah dalam sistem kehidupan. Menjadikan para ulama sebagai rujukan umat untuk memberi solusi dalam menyelesaikan setiap persoalan kehidupan mereka.

Selain itu, ulama juga memiliki tanggung jawab sebagai subyek utama dalam melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi kebijakan) para penguasa. Ketika mereka terlibat dalam aktivitas menyebarluaskan ideologi sekuler-liberal yang akan merusak pemikiran umat. Tentu saja peran strategis dan politis ulama ini, hanya bisa dilaksanakan secara sempurna tatkala Islam ditegakkan dalam sebuah sistem pemerintahan Islam yakni sistem Khilafah Islamiah. Wallahu’alam bishshawab. [SM/Ln